Cecep Darmawan saat menyampaikan presentasinya dalam mudzakarah ICMI Jabar |
Persoalan etika politik kerap mengemuka di tengah panggung politik bangsa ini. Etika politik kian mahal dalam praktiknya dewasa ini.
Bahkan, perilakunya seakan hanya diatur di dalam hukum tertulis semata. Akibatnya, banyak perilaku politisi yang secara hukum tidak melanggar, namun mencederai etika politik itu sendiri.
Hal itu ditegaskan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. Dr. Cecep Darmawan, ketika menjadi narasumber pada kegiatan mudzakarah tentang etika politik demokrasi bangsa berkeadaban, Senin, (15/10/2018) di Gedung ICMI Jabar Jl. Cikutra Nomor 276 D, Bandung.
Kegiatan ini diprakarsai MPW ICMI Jabar dengan menghadirkan narasumber lainnya antara lain, Prof. Dr. Asep Warlan, Prof. Dr. Atip Latiful Hayat, dan Prof. Dr. Obsatar Sinaga.
Masih dikatakan Prof Cecep, idealnya ketika seseorang telah menjadi pejabat publik, maka ia sudah milik publik, bukan lagi milik partai. Jadi kalau menurut para pemimpin bangsa di dunia ini, sering mengungkapkan kalimat bijak, “my loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins” (kesetiaan saya kepada partai saya berakhir di mana kesetiaan saya kepada negara saya dimulai)”.
“Jadi ketika seseorang sudah menjadi pejabat publik, dan difasilitasi oleh rakyat, maka selayaknya pikiran, ucapan, dan perbuatannya untuk kepentingan rakyatnya. Tidak sekadar berpikir tentang partai dan golongannya sendiri,” ujar Wakil Ketua ICMI Jabar ini.
Maka dari itu, lanjut dia, etika dan fatsoen politik ketika kampanye sepatutnya menjadi perhatian serius para politisi.
“Etika sendiri menurut Bertens memiliki tiga posisi, yakni sebagai sistem nilai, kode etik, dan filsafat moral,” paparnya.
Masih dikatakanya, sekurang-kurangnya terdapat beberapa urgensi mengapa etika politik itu penting. Pertama, aturan hukum tertulis saja tidak cukup untuk menjadi pedoman bagi aktifitas politik.
Kedua, masyarakat semakin terbuka dan semakin melek politik. Tentunya perubahan ini menuntut perilaku politisi agar bersikap elegan, tranparan, dan demokratis.
“Nah, ketiga, rekam jejak politisi akan sangat mudah dilacak dan itu menjadi bagian integritas para elite politik,” tuturnya.
Terakhir, etika politik juga diperlukan sebagai dasar berpartisipasi politik secara aktif, baik dalam setiap kontestasi politik maupun dalam aktifitas politik sehari-hari. “Jadi, etika politik menjadi kewajiban asasi para insan politik,”ungkapnya.
Prof Cecep mengemukakan, regulasi atau aturan di negeri ini penuh dilema. Di satu sisi sejumlah aturan prilaku pejabat publik harus mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan kelompok dan dirinya, tapi ketika berhadapan dengan kepentingan partai, loyalitas mereka kerap terbelah.
“Di sinikah terjadilah konflik kepentingan (conflik of interest) yang sulit dihindari. Oleh karenanya, jangan terlalu heran jika dalam masa kampanye pejabat publik yang berasal dari parpol, marak berkampanye. Tujuannya, selain menunjukkan loyalitas kepada partai, mereka akan dijadikan semacam vote getter (menarik suara) dalam kampanye Pemilu,”paparnya.
Kondisi ini kian parah, lanjut dia, manakala rakyat hanya dijadikan objek politik dalam suasana kampanye yang verbalis-simbolik.
Dalam konteks ini, banyak alasan dan pembenaran dilontarkan, bahwa pejabat publik berkampanye asalkan memenuhi peraturan perundang-undangan dan tidak melanggar aturan. Secara tekhnis memang bisa disiasati. Namun persoalannya akan telah bias personifikasi instutusi.
“Semestinya pejabat publik itu tetap milik publik. Jangan sampai berubah warna menjadi pejabat milik partai semata,”ungkapnya.
Melihat permasalahan di atas, jika merujuk pada teori yang dikemukakan Denis F. Thompson, sambung Prof Cecep, ada sejumlah landasan logis dalam mengembangkan etika politik pejabat publik. Di antara etika minimalis. Pandangan ini menekankan tentang pentingnya membuat aturan-aturan yang menghambat adanya konflik kepentingan finansial. Konsep ini dapat implementasikan bahwa para pejabat publik yang menjadi caleg atau jurkam, dilarang menggunakan fasilitas dinas dan anggaran dinas. Kemudian, lanjut dia, etika fungsional. Etika ini menekankan pentingnya puritanisme fungsi dari pejabat publik.
Dalam kaitan pejabat publik yang berkampanye sebenarnya telah melanggar etika funsional ini.
“Nah ketiga, etika rasional. Etika ini mendasarkan diri pada nilai-nilai keadilan, kebebasan, atau kebaikan bersama. Namun pertanyaannya apakah pejabat publik yang melakukan kampanye telah menunjung tinggi nilai keadilan, kebebasan atau kebaikan bersama bagi seluruh rakyatnya,”ucapnya.
Maka dari itu, lanjut dia, hal yang perlu diperhatikan oleh bangsa ini, bagaimana etika politik dapat berdampingan dengan perangkat aturan hukum. “Etika sejatinya menjadi filsafat moral yang mendasari elite untuk berbuat yang sesuai dengan tuntutan etika politik,”paparnya.(C-26)
Sumber: http://www.kabar-cirebon.com/2018/10/guru-besar-ilmu-politik-upi-urgensi-etika-politik-menghadapi-pileg-dan-pilpres-2019/