28 September 2023

Sekolah Perlu Kontribusi Biaya Pendidikan dari Masyarakat yang Mampu


LAPORAN : 

Lembaga Bantuan Pemantau Pendidikkan (LBP2) menggelar acara Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Bolehkah Pungutan dan Sumbangan SMA/SMK di Jawa Barat” yang bertempat di Ruang Sidang Uninus, Jalan Soekarno Hatta No 530, Kota Bandung.

Turut hadir sebagai pembicara, Rektor Uninus Obsatar Sinaga, Guru Besar UPI Cecep Darmawan, Wakil Ketua Komisi V DPRD Jabar Abdul Hadi Wijaya, Ketua FAGI Jabar Iwan Hermawan, Dan Satriana, HM Irianto serta para komite sekolah, Kepala SMA/SMK Negeri, hingga pemerhati pendidikan.

Ketua LBP2, Asep B Kurnia mengatakan, bahwa FGD ini dilaksanakan sehubungan adanya polemik baik di sekolah maupun di masyarakat terkait dengan masalah pungutan dan sumbangan oleh sekolah.

Ia menambahkan, dalam forum ini menyepakati perlu adanya kontribusi biaya dari masyarakat yang mampu kepada sekolah jika pemerintah dan pemerintah daerah belum dapat memenuhi kebutuhan baik biaya operasi maupun investasi sekolah.

"Rencannya hasil FGD ini akan disampaikan secepatnya dalam bentuk rekomendasi kepada Pj Gubernur Jabar, Bey Machmudin," ucap Asep dalam keterangannya, Jumat (8/9)

juga penah menjadi Ketua Komite SMAN 3 Bandung, Obsatar Sinaga mengatakan, jika ada regulasi yang memperbolehkan  pungutan dan sumbangan kepada masyarakat oleh sekolah kenapa harus dilarang. 

"Asal sesuai dengan aturan dan perundangan dalam penggunaanya," ujarnya.

Wakil Ketua Komisi V DPRD Jabar, Abdul Hadi Wijaya mengatakan, bahwa bantuan biaya pendidikan dari pemerintah dan pemerintah daerah  tidak akan mencukupi kebutuhan sekolah sehingga perlu adanya kontribusi dari masyarakat yang mampu.

"Berdasarkan data RAPBD Jabar tahun 2024 bantuan pemerintah daerah Jawa Barat masih kurang baik untuk memenuhi biaya operasi maupun investasi," ungkapnya.

Ketua FAGI Jabar, Iwan Hermawan mengungkapkan, pungutan sekolah dari masyarakat yang mampu tidak dilarang karena dijamin oleh aturan PP 48 tahun 2008 pasal 2 dan 51 yang menyebutkan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dan sumber pendanaan pendidikan dari pemerintah, pemerintah daerah dan pungutan dari orang tua/wali peserta didik.

"Namun sebagaimana PP 48 tahun 2008 pasal 55 bagi masyarakat yang mampu dapat juga memberikan sumbangan juga selain memenuhi pungutan, disalurkan melalui komte sekolah sebagaimana amanat Pergub Jabar No 97 tahun 2022 tentang Komite Sekolah," jelasnya.

Sementara itu, Cecep Darmawan mengatakan, kebijakan sekolah gratis bisa dilakukan jika pemerintah dan pemerintah daerah telah  memenuhi kebutuhan sekolah baik untuk biaya operasi maupun investasi.

Cecep menilai, selama ini pemerintah dan pemerintah daerah memberikan BOS dan BOPD dirasakan belum mampu memenuhi kebutahan standar pelayanan pendidikan demkian juga untuk bantuan biaya investasi belum merata.

"Oleh karena itu harus dihapus istilah sekolah gratis, jika pemerintah dan pemerintah daerah belum mampu meberikan bantuan sepenuhnya, beri kesempatan masyarakat untuk memberi kontribusi sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku," katanya.

Pemerhati Pendidikan , Dan Satriana mengatakan, bahwa yang wajib memenuhi biaya pendidikan adalah negara hal itu sebagaimana amanat UUD 1945  masyarakat hanya ikut bertanggung jawab.

"Jangan sampai dengan adanya pungutan atau sumbangan dari masyarakat pemerintah dan pemerintah daerah melepaskan tanggung jawabnya," imbuhnya.

HM Irianto dari Pemerhati Pendidikan mengatakan, bahwa pungutan dan sumbangan dari masyarakat harus dilakukan pengawasan agar tidak di salah gunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

Wakil dari Komite Sekolah yang diwakili Asep Kurnaedi yang juga Ketua Komite SMAN 24 Bandung dan Lia Nurhambali selaku Ketua Komite  SMAN 27 Bandung sepakat dibolehkanya kontribusi masyakat baik dalam bentuk pungutan atau sumbangan namun dengan regulasi yang jelas sesuai dengan yang dikeluarkan oleh Pemprov Jabar atau Disdik Jabar.

"Sehingga kepala sekolah dan komite sekolah punya pegangan tidak selalu disalahkan oleh APH atau para oknum LSM yang datang ke sekolah," ucapnya.

Perwakilan Kepala Sekolah yang diwakili oleh Gunawan selaku Kepala SMAN Maniis Purwakarta, Eha Julaeha selaku Kepala SMAN 16 Bandung dan Agung Indaryanto selaku Kepala Sekolah SMKN 8 Bandung mengakui, bahwa ada pengurangan BOPD sehingga sekolah kekurangan biaya oprasional. Sementara biaya investasi nyaris tidak ada.

"Kebutuhan pembiayaan SMK lebih besar sehingga perlu ada kontribusi dari masyarakat," tandasnya.

Sumber: https://www.rmoljabar.id/sekolah-perlu-kontribusi-biaya-pendidikan-dari-masyarakat-yang-mampu

Bawaslu RI Diminta Segera Bentuk Tim Investigasi, Tuntaskan Kekacauan dalam Seleksi Calon Anggota Bawaslu 2023


JAKARTADAILY.ID -  Guru Besar Ilmu Politik dan Pemerhati Kebijakan Publik, Prof Dr Cecep Darmawan, S.I.P, SAP, S.H.,MH, M.Si menyuarakan keprihatinan terhadap kekisruhan dan kegaduhan dalam seleksi calon anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kota dan kabupaten se Indonesia pada tahun 2023 ini.

Diantara penyebabnya diduga dipengaruhi oleh praktik-praktik tidak terpuji oleh oknum calon peserta, maupun oknum timsel yang melanggar aturan yang ada. Termasuk lemahnya profesionalisme dan penegakan aturan yang tidak tegas.

Misalnya perlu dicek apakah ada keterwakilan perempuan?
Bagaimana dengan kesalahan administrasi? Bagaimana hasil tes kesehatan, maupun dugaan pelanggaran transaksi jual beli jabatan.

Polemik kegaduhan sendiri di Jawa Barat terjadi di wilayah MajalengkaCirebonIndramayuBandung Barat,
Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bogor, Kabupaten Subang dan Kota Banjar. Belum lagi di daerah lainnya di seluruh Indonesia.

Menurut Prof Cecep, jajaran timsel calon Bawaslu sudah seharusnya dalam bekerja mengedepankan prinsip dan asas hukum, serta taat norma, etika, dan moral berdasarkan aturan, bukan asal bunyi. Karena jika kebijakannya salah, akan menjadi polemik dan kegaduhan di masyarakat.

"Timsel pun kalau terjadi perbedaan pandangan dalam menentukan calon Bawaslu harus diselesaikan secara elegan melalui musyawarah, dan sesuai aturan yang berlaku," kata Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) ini.

Namun, lanjut dia, jika ternyata timsel terbukti melakukan praktik korupsi atau pelanggaran lainnya, tentunya harus diberikan sanksi sesuai pelanggarannya. Baik itu saksi administratif atau pidana. Harus ditegakkan jangan dibiarkan dan berlarut larut.

"Jika terbukti terjadi pelanggaran di tubuh timsel, maka aturan harus ditegakkan dengan tegas. Contohnya, bila terbukti ada tindakan penyuapan, pelaku yang disuap dan menyuap, itu termasuk kategori pidana, harus ada sanksi hukum," katanya.

Prof Cecep juga mengecam jika ada tindakan calon Bawaslu yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh jabatannya, seperti dengan cara menyuap atau melakukan Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN).

Ia mengkhawatirkan, hal tersebut akan berdampak buruk pada kinerja Anggota Bawaslu jika terpilih nanti. Bagaimana pula nanti terkait kepercayaan publik kepada Bawaslu.

Menurutnya, jika seseorang mencari jabatan dengan cara melanggar hukum akan berdampak buruk pada kualitas demokraksi saat dirinya nanti bertugas.

Bagaimana mau menjadi pengawas yang baik, berkualitas, berintegritas, jika misalnya seorang oknum mendudukinya pun dengan cara melanggar hukum dan etika. Kalau terjadi suap menyuap tentunya oknum tersebut akan berpikir bagaimana cara modalnya kembali," ucapnya.

Solusi yang disarankan agar Bawaslu RI dalam mengatasi berbagai dugaan itu, melakukan investigasi mendalam terhadap kasus-kasus dugaan pelanggaran yang melibatkan oknum timsel. Dalam proses investigasi ini, kata dia, dibutuhkan transparansi dan independensi agar masyarakat yakin bahwa tindakan tegas akan diambil tanpa pandang bulu.

"Memberlakukan sanksi yang tegas. Jika hasil penyelidikan terbukti ada oknum timsel benar-benar terlibat dalam praktik-praktik tidak terpuji, Bawaslu RI harus memberlakukan sanksi yang tegas, sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan,"paparnya.

Selain itu pula Bawaslu RI perlu memperkuat mekanisme pengawasan internal dalam proses seleksi calon anggota Bawaslu ini. Pengawasan yang ketat akan membantu mencegah terjadinya praktik-praktik tidak terpuji, dan memastikan profesionalisme dan integritas tim seleksi.

"Bawaslu RI harus mendorong para pihak yang mengetahui adanya dugaan praktik-praktik tidak terpuji untuk melaporkan hal tersebut tanpa rasa takut. Pelaporan yang dilakukan harus dengan sejumlah bukti yang kuat agar membantu mengungkap lebih banyak kasus pelanggaran dan memperkuat sistem seleksi pengawasannya," tandasnya.

Dengan mengambil langkah-langkah solutif tersebut, kata dia, diharapkan nama Bawaslu RI dapat menjaga integritas dan kredibilitasnya sebagai lembaga pengawas pemilu yang independen dan berintegritas untuk mewujudkan proses seleksi calon anggota Bawaslu yang jujur, bersih, adil, dan berintegritas demi demokrasi yang berintegritas dan berkualitas. ***

 

Sumber: https://indonesia.jakartadaily.id/nasional/6939723621/bawaslu-ri-diminta-segera-bentuk-tim-investigasi-tuntaskan-kekacauan-dalam-seleksi-calon-anggota-bawaslu-2023?page=2

27 September 2023

Guru Gembul Dinasehati Pakar Hukum dan Pendidikan, Prof Cecep: Harus Hati-Hati, Ini Era Post Truth

 


KILASCIMAHI - Polemik mengenai ujaran Guru Gembul terkait guru di Indonesia dibayar murah karena tidak memiliki kompetensi mengundang perhatian Pakar Hukum dan Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Profesor Cecep Darmawan.

Prof Cecep, demikian ia biasa disapa, sengaja hadir dalam acara Diskusi Terbuka Pendidikan 'Menyoal Kompetensi Guru di Indonesia ' bersama Guru Gembul yang diselenggarakan di Sekretariat IKA Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Sabtu 24 Juni 2023 sore.

Sebelum Prof Cecep berbicara, berbagai tokoh pendidikan yaitu Ketua Lembaga Bantuan Pemantau Pendidikan (LBP2) Jabar, Asep B Kurnia atau Aa Maung, Iwan Hermawan (Forum Aksi Guru Indonesia), Akhyad (Pemerhati Pendidikan) dan Rizky Safari Rahmat (Forum Guru Bersertifikasi Sekolah Negeri) mengemukakan pendapat dan alasan melayangkan somasi kepada Guru Gembul.

Usai seluruh tokoh pendidikan itu mengemukakan pandangannya, Guru Gembul pun memberikan klarifikasi dan alasan terkait ujaran guru di Indonesia dibayar murah karena tidak memiliki kompetensi.


Dalam diskusi yang dipandu oleh Najib Hendra, yang juga merupakan Sekjen IKA UPI ini, seluruh pihak akhirnya bersepakatan bahwa semua polemik mengenai ujaran guru di Indonesia tidak memiliki kompetensi ini merupakan kesalahpahaman. Seluruh pihak sepakat bahwa tidak semua guru di Indonesia tidak kompeten.

Sebelum diskusi ini ditutup, Prof Cecep pun diberikan waktu untuk memberikan pandangan terkait polemik yang viral di media sosial ini.

Dikatakan Guru Besar Ilmu Politik UPI ini, terjadinya polemik yang menyeret Guru Gembul ini merupakan bukti bahwa kita sudah memasuki era post Truth. Tak hanya itu, saat ini pun telah memasuki era digitalisasi.

''Jadi, jangankan bicara salah, bicara bener pun bisa dianggap salah,''ungkap Prof Cecep.

Menurut dia, saat ini banyak sekali terjadi orang diperkarakan di depan meja persidangan akibat adanya multi interpretasi terkait pernyataan. Satu pihak menganggap bahwa dirinya hanya mengkritik, tapi pihak lain menganggap bahwa hal itu merupakan penghinaan. Kondisi ini, kata dia, banyak sekali terjadi di media sosial.

Oleh karena itu, Ketua Prodi Pkn Magister dan Doktor UPI ini menilai polemik mengenai guru di Indonesia tidak memiliki kompetensi itu harus disampaikan dengan hati-hati oleh Guru Gembul. Prof Cecep menilai bahwa apa yang dilakukan oleh Guru Gembul yang selalu melakukan kritik itu sangat baik.

Bahkan, kata dia, kalaupun ujaran mengenai guru di Indonesia itu tidak memiliki kompetensi dialamatkan ke UPI, maka itu baik dilakukan. Pasalnya, kata dia, UPI merupakan lembaga yang tidak antri kritik. Meski demikian, kata dia, kritik itu sebaiknya dilakukan dengan cara-cara yang baik.

Tak hanya itu, kata dia, kritik itu perlu dilakukan karena kritik itu merupakan obat. Tapi, kata dia, jangan sampai terkena delik terkait pasal penghinaan di KUHP ataupun pasat di UU ITE. Dan juga, kata pria berkacamata ini, kita tidak bisa melarang orang untuk memperkarakan sesuatu ke jalur hukum.


''Mungkin narasinya ke depan harus lebih hati-hati. Kalau misalnya mau menyebut guru, nah guru itu siapa,''jelas dia.

Pasalnya, kata dia, dalam UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa guru itu adalah pendidik yang tersertifikasi yang memenuhi persyaratan tertentu. Oleh karena itu, kata dia, kalaupun seseorang sudah memiliki gelar sarjana pendidikan (S Pd) belum bisa jadi guru kalau belum tersertifikasi. Tapi memang, kata dia, kalau dalam pengertian sosiologis siapa saja bisa jadi guru.

Terkait mengenai ada contoh bahwa pilot bsia menjadi guru, Prof Cecep menyebut hal itu memang dimungkinkan selama memenuhi persyaratan seperti memahami ilmu pendidikan dan lain sebagainya.

''Jadi ke depan, kalau ada kasus, ada sebgian atau oknum, itu disebutkan jangan digeneralisir
jaman sekarang itu gitu,''jelas dia.

Mengenai adanya somasi dari Aa Maung, Iwan FAGI, dan tokoh pendidikan lainnya kepada Guru Gembul, Prof Cecep menilai bahwa hal itu tidak serius dilakukan.

''Mereka-mereka ini hanya ingin silaturahmi saja. Kan kita sama-sama di sini ingin memajukan pendidikan,''tegas Prof Cecep.

Sumber: https://cimahi.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-516817132/guru-gembul-dinasehati-pakar-hukum-dan-pendidikan-prof-cecep-harus-hati-hati-ini-era-post-truth

Netralisasi Dinilai Kunci Utama Kampanye di Dunia Pendidikan


KBRN, Jakarta: Pakar Pendidikan Guru Besar UPI, Cecep Darmawan mengatakan, netralisasi menjadi kunci utama menjalankan kampanye di dunia pendidikan. Artinya kampanye yang dilakukan harus bisa menjaga netralisasi di dunia akademik, tidak mendorong ke dalam politik praktis.

"Bentuk netralisasi itu bisa dengan pengawasan. Jadi kampanye boleh, karena kampus harus dibicarakan masalah-masalah kenegaran. Tetapi inget harus dengan format akademik," katanya dalam perbincangan Pro3 RRI, Senin (28/8/2023).

Cecep mengatakan, kampus merupakan lembaga institusi yang bisa menjalankan salah satu fungsinya. Yaitu, sebagai tempat warga negara mengetahui pendidikan politik.

Hanya saja, kata ia, semua aturan kampanye di kampus harus memiliki aturan yang jelas. Harus melalui pengawasan yang ketat mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan di dalam kampanye tersebut.

"Jadi memang aturannya dulu harus jelas pendidikan yang seperti apa. Karena kalau kampanye di kampus bisa dilakukan melalui diskusi atau dialog atau workshop yang mendatangkan para politisi," kata Cecep.

"Karena kampus tidak boleh buta politik juga, jadi tinggal bagaimana warga kampus itu memahami pandangan politik kebangsaan, tentu bukan politik sempit atau pokitik praktis," katanya.

Maka dari itu, Cecep berharap, meskipun ada kampanye di dunia pendidikan ini, baik kampus negeri maupun warganya bisa tetap independen. Di mana mereka yang ingin tahu mengenai politik, tidak boleh saling memihak satu dengan yang lainnya.

"Jadi, mau negeri atau swasta harus independen, tidak boleh saling memihak. Maka dari itu sekali lagi aturan KPU-nya harus jelas dulu," ucapnya.

"Terkait tempat pendidikannya, soal atribut yang tidak boleh digunakan, dan sebagainya yang tidak boleh di kampanyekan di dunia pendidikan," kata Cecep.

Sumber: https://www.rri.go.id/sumatera-selatan/nasional/337158/netralisasi-dinilai-kunci-utama-kampanye-di-dunia-pendidikan



Copyright © Cecep Darmawan | Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia