Inisiatifnews.com – Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prof Cecep Dermawan, mengatakan bahwa kampus semestinya lebih arif dan bijak ketika hendak menyelenggarakan sebuah diskusi terbuka untuk publik.
Hal ini dikatakan Cecep menanggapi tema diskusi “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” yang kemudian diubah menjadi “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden ditinjau Dari Sistem Ketatanegaraan” dan akhirnya batal diselenggarakan karena panitia penyelenggara dan calon narasumber mendapat ancaman teror dan intimidasi dari orang tak dikenal.
“Kampus memang punya kebebasan akademik dan mimbar akademik. Tapi ada aturan main di kampus. Masing-masing kampus punya aturan itu. Ketika diskusi (red-pemberhentian presiden) itu di bawa ke rang publik, apalagi di tengah kondisi pandemi covid-19 seperti saat ini, menurut saya kampus harusnya lebih arif, lebih bijak. Kampus seharusnuya bicara mengenai penanggulangan Covid-19 ini,” ujar Cecep dalam siaran K-Lite 107.1 FM, Rabu (3/6/2020).
Menurut Cecep, apa yang bisa diberikan dunia kampus di saat pemerintah sibuk mempersiapkan aturan kenormalan baru (new normal) karena virus Covid-19 ini. Menyampaikan pendapat, berkumpul dan berorganisasi memang dijamin oleh konstitusi. Namun demikian, dia meminta kampus lebih arif dan bijak ketika ingin menggelar sebuah diskusi atau seminar nasional dengan tetap melihat beban psikologi masyarakat dalam situasi Covid-19.
“Diskusinya bisa mengenai substansi persoalan bangsa yang lebih fundamental. Artinya bagaimana memulihkan kembali keadaan ekonomi masyarakat, bagaimana merecovery keadaan kesehatan masyarakat, itu mungkin jauh lebih bermanfaat,” tandasnya.
Menurut dia, mengangkat tema diskusi ilmiah tentang pemberhentikan presiden sebenarnya tidak masalah selama itu dilaksanakan di dalam ruang kampus dan peserta diskusinya adalah kalangan akademik karena hal itu dijamin oleh konstitusi. Tapi, Cecep menduga ada sesuatu di balik tema diskusi pemberhentian presiden tersebut.
“Kalau ini dibawa ke ranah publik konsumsinya politik bukan akademik, gitu. Bahwa ada teror, laporkan saja. Teror-meneror itu pidana, laporkan kalau itu menghambat demokrasi, menghambat kebebasan. Tidak boleh terjadi itu. Siapapun, saya khawatir ada yang bermain di air keruh gitu lho. itu tidak boleh,” tegas dia.
Lebih lanjut, Cecep menegaskan, kebebasan akademik dan mimbar akademik harus tetap menjunjung tinggi soal aturan dan etika. Aturan dan etika yang dimaksud Cecep di sini adalah soal peserta diskusi.
“Setiap kampus punya aturan itu. Lebih baik kebebasan mimbar akademik di kampus itu masyarakat akademik itu yang kalau dibawa ke luar ini dilihat manfaat dan mudaratnya di dalam psikologi sosial masyakarat,” kata Cecep.
Terkait adanya ancaman, teror dan intimidasi kepada penyelenggara diskusi dan calon narasumber pemberhentian presiden, Cecep yang juga Sekjen Asosial Ilmuan Administrasi Negara ini menegaskan, bahwa hal itu salah. Menurut dia, tidak boleh ada pihak yang mengeluarkan ancaman, teror dan intimidasi di negara hukum seperti Indonesia.
“Itu tidak boleh terjadi teror meneror. Lakukanlah penegakkan hukum, laporkan saja ke penegak hukum. Negara ini negara hukum. Saya melihat sebagai orang hukum tidak boleh orang melanggar hukum. Itu sudah pasti,” tuturnya.
“Juga harus dipahami pemerintah dan masyarakat yang sedang giat-giatnya bagaimana penanganan soal covid-19 dan menghadapi menyongsong new normal. Mungkin lebih bagus kalau diskusi diarahkan ke topik itu. Tanpa menafikan topik-topik lain. Silakan diskusi di ruang-ruang kelas, seminar, dan itu untuk masyarakat akademik tidak ada larangan,” katanya. []