Oleh Cecep Darmawan
(Guru Besar Ilmu Politik dan Kepala Pusat Pengembangan Kebijakan Publik, Inovasi Pendidikan dan Pendidikan Perdamaian LPPM UPI)
Fenomena dan praktik rasialisme di Amerika Serikat (AS) kerap terjadi. Potret suram demokrasi di AS seolah bara dalam sekam yang mudah menyemburkan nyala api akibat perilaku aparat yang kerap diskriminatif. Bahkan kejadian yang dipicu oleh terbunuhnya George Floyd, warga kulit hitam di Kota Minneapolis, mengusik psikologi masa untuk melakukan perlawanan sosial. Tindakan oknum aparat yang tidak manusiawi tersebut, menambah catatan buruk pelanggaran HAM di AS. Peristiwa ini menyulut demonstrasi dan penjarahan di berbagai tempat termasuk ke Gedung Putih. Kehidupan demokrasi di AS tidak seindah gambaran teorinya. Dalam prakteknya, kerap mengalami konflik sosial yang panjang dan bahkan berpotensi ke arah turbulensi rasial yang mengancam demokrasi.
Kejadian rasial di AS seperti di atas, bisa jadi karena kegagalan implementasi pendidikan kedamaian di di sekolah yang tidak meresonansi terhadap kehidupan demokrasinya. Padahal, konsep pendidikan yang liberal di sana sejatinya menawarkan konsep kesetaraan dan persamaan hak warga negara tanpa diskriminasi ras dan etnis. Namun, kenyataannya justru mengejutkan. Dalam banyak kasus, penegakan HAM terkesan parsial dan acap terjadi diskriminasi sosial dan politik yang terselubung.
Selama ini, banyak negara yang menaruh hormat terhadap konsep teoretik domokrasinya ala AS termasuk dalam pembelajaran demokrasi di sekolah. Secara teoretik, benih-benih pendidikan kedamaian sudah dicanangkan oleh para pemikir pendidikan AS, seperti Jhon Dewey yang menulis Democracy and Education (1964), dan dilanjutkan lebih detail oleh Iyan M Harris yang menulis buku Peace Education (1988). Tulisan Harris cukup fenomenal dan terkenal dengan konsep pembelajaran demokrasi yang integralistik tentang kedamaian.
Kedamaian
Pada mulanya, pendidikan kedamaian kerap
dikonotasikan sebagai pendidikan antiperang semata. Tentu saja, pemahaman inikurang
tepat. Sebenarnya, PBB telah lama
mencanangkan budaya damai dalam konteks sosial. Bahkan, UNESCO telah
menginisiasi konsep kedamaian dan antikekerasan berkembang ke ranah pendidikan.
Ada istilah yang sering dipertukarkan antara
pendidikan kedamaian dengan pendidikan resolusi konflik. Sebenarnya, tidak ada
perbedaan yang prinsipil. Jika dielaborasi lebih jauh, pendidikan kedamaian
berkenaan dengan persoalan bagaimana pendidikan
dilaksanakan secara komprehensif, holistik-pedagogik, inovatif, dan
transformatif-edukatif untuk menumbuhkan rasa cinta damai dan menghilangkan
sedini mungkin peluang kekerasan dan
konflik di sekolah. Pembelajaran kedamaian sejatinya menciptakan
anak-anak yang damai dan jauh dari persolan rasial.
Selain itu, pendidikan kedamaian menciptakan suasana
pembelajaran yang harmonis antara guru dan siswa sekaligus menyelesaikan
persoalan dengan penuh damai tanpa konflik, menghilangkan ketidakpercayaan
dan
kecurigaan, serta menjauhkan
suasana mencekam yang penuh kekerasan. Fungsi pendidikan kedamaian itu sendiri
tidak lain adalah menciptakan para siswa menjadi agen kedamaian dalam kehidupan di sekolah, masyarakat, dan
keluarga. Pendidikan kedamaian pun mesti mengedepankan karakter positif dalam kehidupan atas dasar nilai agama, budaya,
kemanusiaan, keadilan sosial, persatuan bangsa, dan peradaban mulia.
Perlu diketahui bahwa pendidikan kedamaian bukanlah
mata pelajaran tetapi ia adalah muatan
nilai-nilai kedamaian yang harus diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran,
sehingga menjadi ruh bagi sistem pembelajaran dalam konteks intrakurikuler,
ko-kurikuler, dan ekstrakurikuler. Dengan kata lain pendidikan kedamaian mengintegrasikan konsep pendidikan
karakter berupa pengetahuan, afeksi, dan keterampilan untuk
merepresentasikannya dalam pembelajaran dan kehidupan nyata yang penuh
kedamaian. Tugas para guru adalah menginternalisasikan nilai-nilai kedamaian
dengan penuh kesadaran kepada siswa secara profesional. Guru harus menjadi
teladan (role model) berintegritas dalam
pendidikan kedamaian. Guru yang penuh damai, humanis, ceria, kasih sayang, mudah
tersenyum, dan empati adalah idaman para
siswa. Bahkan guru harus menjadi agen pedagogi pembebas siswa dari rasa jenuh dan takut, pembebas dari
suasana kekerasan, sekaligus pembebas
dari kekangan apapun, serta penghibur dalam suasana sedih dalam masa
pembelajaran masa pandemi ini.
Pembelajarannya harus melindungi siswa dari berbagai
praktika kekerasan. Siswa mesti bebas dari berbagai bentuk gangguan psikologis dalam
mengikuti pelajaran. Selain itu, pendidikan kedamaian mesti menjauhi kekerasan dalam segala bentuk, degradasi
moral, diskriminasi, penindasan, eksploitasi, kemiskinan, ketidakadilan, dan
frustrasi, agar tercipta totalitas damai dalam diri siswa. Nilai-nilai damai
dalam praktika pembelajaran harus diimplentasikan secara baik, Nilai humanistik
atau manusiawi, saling menghormati, empati, perilaku bermoral, kasih sayang,
dan menjauhi sifat agresi, merupakan serangkaian nilai pendidikan kedamaian
yang harus dikedepankan oleh guru ketika proses pembelajaran.
Implementasi pendidikan kedamaian pun mesti
menciptakan suasana belajar dangan penuh keadilan dan jauh dari unsur
kekerasan, bully dan menindas.
Pendidikan kedamian dalam proses pembelajaran daring selama ini misalnya,
sejatinya menularkan virus-virus kedamaian secara massif kepada siswa.
Pendidikan kedamaian harus menjadi bagian habituasi dari kehidupan sehari-hari
yang tercermin dari sikap dan perilaku siswa yang penuh harmoni dan
antikekerasan. Pendidikan kedamaian
dengan harus dapat menjawab bagaimana
menciptakan suasana harmoni dan penuh
kedamaian, tanpa konflik dan kekerasan,
penuh rasa kasih sayang, saling pengertian dan saling apresiasi, dan
penuh ketenangan jiwa, serta kedamaian spiritual. Disamping itu, pendidikan
kedamaian harus dikemas dalam suasana
pembelajaran yang penuh egaliter, demokratis, nondiskriminatif,
nonrasialisme, menjauhi bias jender dan
SARA, terbuka, dan kritis.
Dengan demikian, konsep kedamaian sejatinya melekat
dalam praktika pembelajaran di era pandemi maupun di masa new normal . Meski tentu saja perlu implementasinya butuh berbagai
piranti yang mendukungnya, termasuk kebijakan sekolah agar praktika pembelajaran
bersentuhan dengan konsep kedamaian diri
(inner peace), kedamaian
sosial (social peace), dan kedamaian
suasana lingkungan belajar baik di sekolah maupun di rumah. Kedamaian belajar
di sekolah dan di rumah bukan sekedar
bebas dari gangguan psikologis dan perundungan (bully), tetapi juga mesti menganut prinsip merdeka belajar. Siswa
dapat belajar dengan kehormatan dan kemerdekaan dirinya meski melalui pembelajaran
daring sekali pun. Spektum pembelajaran kedamaian menyangkut ruang kelas,
lingkup sekolah, dan lingkungan sosial.
Semoga prinsip-prinsip pendidikan kedamaian baik di era
pandemi maupun di new normal nanti, dapat
diimplementasikan dan sekaligus sebagai jawaban model pendidikan karkater Indonesia
yang bersumber pada empat konsensus bangsa, yakni Pancasila, UUD NRI tahun
1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.