15 Juni 2020

Rasialisme dan Pendidikan Kedamaian

(Dimuat pada Pikiran Rakyat 10 Juni, 2020)
Oleh Cecep Darmawan
(Guru Besar Ilmu Politik dan Kepala Pusat Pengembangan Kebijakan Publik, Inovasi Pendidikan dan Pendidikan Perdamaian LPPM UPI)

Fenomena dan praktik rasialisme di Amerika Serikat (AS) kerap terjadi. Potret suram demokrasi di AS seolah bara dalam sekam yang mudah menyemburkan nyala api akibat perilaku aparat yang kerap diskriminatif.  Bahkan kejadian yang dipicu oleh terbunuhnya George Floyd, warga kulit hitam  di Kota Minneapolis, mengusik psikologi masa untuk melakukan perlawanan sosial. Tindakan oknum aparat yang tidak manusiawi tersebut, menambah catatan buruk pelanggaran HAM di AS. Peristiwa ini  menyulut demonstrasi  dan penjarahan di berbagai tempat termasuk ke Gedung Putih.  Kehidupan demokrasi di AS tidak seindah gambaran teorinya. Dalam prakteknya, kerap mengalami konflik sosial yang panjang dan bahkan berpotensi ke arah turbulensi rasial yang mengancam demokrasi.

Kejadian rasial di AS seperti di atas, bisa jadi karena kegagalan implementasi pendidikan kedamaian di di sekolah yang tidak meresonansi terhadap kehidupan demokrasinya. Padahal, konsep pendidikan yang liberal di sana sejatinya menawarkan konsep kesetaraan dan persamaan hak warga negara tanpa diskriminasi ras dan etnis. Namun, kenyataannya justru mengejutkan. Dalam banyak kasus, penegakan HAM  terkesan parsial dan acap terjadi diskriminasi sosial dan politik yang terselubung.

Selama ini, banyak negara yang menaruh hormat terhadap konsep teoretik domokrasinya ala AS termasuk dalam pembelajaran demokrasi di sekolah. Secara teoretik, benih-benih pendidikan kedamaian sudah dicanangkan oleh para pemikir pendidikan AS, seperti Jhon Dewey  yang menulis Democracy and Education (1964), dan dilanjutkan lebih detail oleh Iyan M Harris yang menulis buku Peace Education (1988). Tulisan Harris cukup fenomenal dan terkenal dengan konsep pembelajaran demokrasi yang integralistik tentang kedamaian.


Kedamaian
Pada mulanya, pendidikan kedamaian kerap dikonotasikan sebagai pendidikan antiperang semata. Tentu saja, pemahaman inikurang  tepat. Sebenarnya, PBB telah lama mencanangkan budaya damai dalam konteks sosial. Bahkan, UNESCO telah menginisiasi konsep kedamaian dan antikekerasan berkembang ke ranah pendidikan.

Ada istilah yang sering dipertukarkan antara pendidikan kedamaian dengan pendidikan resolusi konflik. Sebenarnya, tidak ada perbedaan yang prinsipil. Jika dielaborasi lebih jauh, pendidikan kedamaian berkenaan dengan persoalan bagaimana pendidikan  dilaksanakan secara komprehensif, holistik-pedagogik, inovatif, dan transformatif-edukatif untuk menumbuhkan rasa cinta damai dan menghilangkan sedini mungkin peluang kekerasan dan  konflik di sekolah. Pembelajaran kedamaian sejatinya menciptakan anak-anak yang damai dan jauh dari persolan rasial.

Selain itu, pendidikan kedamaian menciptakan suasana pembelajaran yang harmonis antara guru dan siswa sekaligus menyelesaikan persoalan dengan penuh damai tanpa konflik, menghilangkan ketidakpercayaan dan kecurigaan,  serta menjauhkan suasana mencekam yang penuh kekerasan. Fungsi pendidikan kedamaian itu sendiri tidak lain adalah menciptakan para siswa menjadi agen kedamaian dalam  kehidupan di sekolah, masyarakat, dan keluarga. Pendidikan kedamaian pun mesti mengedepankan karakter positif  dalam kehidupan atas dasar nilai agama, budaya, kemanusiaan, keadilan sosial, persatuan bangsa, dan peradaban mulia.

Perlu diketahui bahwa pendidikan kedamaian bukanlah mata  pelajaran tetapi ia adalah muatan nilai-nilai kedamaian yang harus diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran, sehingga menjadi ruh bagi sistem pembelajaran dalam konteks intrakurikuler, ko-kurikuler, dan ekstrakurikuler. Dengan kata lain pendidikan kedamaian mengintegrasikan konsep pendidikan karakter berupa pengetahuan, afeksi, dan keterampilan untuk merepresentasikannya dalam pembelajaran dan kehidupan nyata yang penuh kedamaian. Tugas para guru adalah menginternalisasikan nilai-nilai kedamaian dengan penuh kesadaran kepada siswa secara profesional. Guru harus menjadi teladan (role model) berintegritas dalam pendidikan kedamaian. Guru yang penuh damai, humanis, ceria, kasih sayang, mudah tersenyum, dan empati  adalah idaman para siswa. Bahkan guru harus menjadi agen pedagogi pembebas siswa  dari rasa jenuh dan takut, pembebas dari suasana kekerasan,  sekaligus pembebas dari kekangan apapun, serta penghibur dalam suasana sedih dalam masa pembelajaran masa pandemi ini.

Pembelajarannya harus melindungi siswa dari berbagai praktika kekerasan. Siswa mesti bebas dari berbagai bentuk gangguan psikologis dalam mengikuti pelajaran. Selain itu, pendidikan kedamaian mesti menjauhi  kekerasan dalam segala bentuk, degradasi moral, diskriminasi, penindasan, eksploitasi, kemiskinan, ketidakadilan, dan frustrasi, agar tercipta totalitas damai dalam diri siswa. Nilai-nilai damai dalam praktika pembelajaran harus diimplentasikan secara baik, Nilai humanistik atau manusiawi, saling menghormati, empati, perilaku bermoral, kasih sayang, dan menjauhi sifat agresi, merupakan serangkaian nilai pendidikan kedamaian yang harus dikedepankan oleh guru ketika proses pembelajaran. 

Implementasi pendidikan kedamaian pun mesti menciptakan suasana belajar dangan penuh keadilan dan jauh dari unsur kekerasan, bully dan menindas. Pendidikan kedamian dalam proses pembelajaran daring selama ini misalnya, sejatinya menularkan virus-virus kedamaian secara massif kepada siswa. Pendidikan kedamaian harus menjadi bagian habituasi dari kehidupan sehari-hari yang tercermin dari sikap dan perilaku siswa yang penuh harmoni dan antikekerasan.  Pendidikan kedamaian dengan harus dapat  menjawab bagaimana menciptakan suasana  harmoni dan penuh kedamaian, tanpa konflik dan kekerasan,  penuh rasa kasih sayang, saling pengertian dan saling apresiasi, dan penuh ketenangan jiwa, serta kedamaian spiritual. Disamping itu, pendidikan kedamaian harus dikemas dalam suasana  pembelajaran yang penuh egaliter, demokratis, nondiskriminatif, nonrasialisme, menjauhi bias jender dan SARA,  terbuka, dan kritis. 

Dengan demikian, konsep kedamaian sejatinya melekat dalam praktika pembelajaran di era pandemi maupun di masa new normal . Meski tentu saja perlu implementasinya butuh berbagai piranti yang mendukungnya, termasuk kebijakan sekolah agar praktika pembelajaran bersentuhan dengan konsep kedamaian diri  (inner peace), kedamaian sosial (social peace), dan kedamaian suasana lingkungan belajar baik di sekolah maupun di rumah. Kedamaian belajar di sekolah dan  di rumah bukan sekedar bebas dari gangguan psikologis dan perundungan (bully), tetapi juga mesti menganut prinsip merdeka belajar. Siswa dapat belajar dengan kehormatan dan kemerdekaan dirinya meski melalui pembelajaran daring sekali pun. Spektum pembelajaran kedamaian menyangkut ruang kelas, lingkup sekolah, dan lingkungan sosial.

Semoga prinsip-prinsip pendidikan kedamaian baik di era pandemi maupun di new normal nanti, dapat diimplementasikan dan sekaligus sebagai jawaban model pendidikan karkater Indonesia yang bersumber pada empat konsensus bangsa, yakni Pancasila, UUD NRI tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

***

Copyright © Cecep Darmawan | Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia