10 Mei 2018

Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Politik yang Bersumber pada Demokrasi yang Berdasarkan Pancasila


Oleh: Prof. Dr. Cecep Darmawan, S.IP.,M.Si., M.H.
(Guru Besar Ilmu Politik UPI)

Jangan paksa semua orang percaya terhadap praktika  demokrasi selama demokrasi hanya dipahami secara prosedural semata. Praktika demokrasi memang telah memiliki akar sejarah yang amat panjang dan cukup berliku. Meskipun demikian, demokrasi belum tentu memberikan garansi apa pun bagi rakyatnya. United States Information Agency atau USIA (1991, hlm. 31) menyatakan bahwa “democracy itself guarantees nothing”. It offers instead the  opportunity to succed as well as the risk of failure”. Artinya demokrasi tidak menjamin apa pun, semuanya tergantung kepada aktor yang menjalankan demokrasi.
Sejarah mencatat bahwa Socrates dihukum mati oleh pemerintahan yang waktu itu memproklamirkan  diri sebagai pemerintah demokrasi. Socrates dituduh sebagai “provokator” yang meracuni generasi muda dengan pikiran-pikiran yang dianggap “menyeleneh” atau mengganggu stabilitas pemerintahan. Oleh karena itulah murid setia Socrates, Plato awalnya tidak begitu suka dengan demokrasi, bukan saja karena gurunya dihukum mati oleh pemerintahan yang mengaku demokrasi, tetapi juga dengan demokrasi orang-orang jahat seperti gerombolan, preman, dan pembegal demokrasi turut serta mengurus pemerintahan (Darmawan, 2015).  
Meskipun begitu, pada akhirnya Plato juga menyetujui demokrasi dengan berbagai catatan, dan Ia tidak menempatkan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang terbaik. Plato menginginkan negara itu dipimpin oleh seorang filsuf raja yang memiliki pengetahuan yang luas, kearifan, kebijakan,  sekaligus jadi teladan bagi rakyatnya.(Darmawan, 2017)
Pabottingi (2000, hlm. 49)  menyatakan bahwa “demokrasi sulit sekali tumbuh dari sistem politik yang berkiblat pada negara lain, terutama negara yang justru memangsanya”. Pandangan ini memperkuat asumsi bahwa demokrasi harus berkembang sesuai budaya bangsanya. Meskipun Lipset (dalam Sorensen, 2003, hlm. 42) menyatakan bahwa “semakin kaya suatu bangsa, semakin besar peluang negara tersebut untuk melangsungkan demokrasi”, kita yakin bahwa demokrasi dan demokratisasi di negara kita akan berkembang seiring komitmen bangsa kita  melakukan demokratisasi sesuai dengan falsafah bangsa, Pancasila. Konsepsi demokrasi sejatinya tidak sekedar dipahami secara akademik atau tekstual semata (knowing democracy) dan juga bukan semata-mata prosedur legal-formal, melainkan harus dimaknai secara substanstif dan implementasikan dalam konteks kehidupan nyata (doing democracy).(Darmawan, 2017).
Selanjutnya, Dahl (1982, hlm.15) mengungkapkan “tanpa sistem perwakilan, partisipasi rakyat yang efektif dalam pemerintahan berukuran luas jelas sangat mustahil”. Disinilah perlunya  lembaga perwakilan rakyat. Namun harus diingat bahwa lembaga perwakilan rakyat haruslah mencerminkan institusi demokrasi. Lembaga perwakilan rakyat sejatinya mengembangkan Demokrasi Pancasila yakni demokrasi kerakyatan yang dipandu dengan nilai hikmah kebijaksanaan dengan landasan kokoh nilai Ketuhanan, kemanusiaan, dan persatuan, demi tegaknya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demokrasi yang dicita-citakan itu, demokrasi yang tidak menabrak nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya dalam menjalankan demokrasi tidak boleh proses dan produk demokrasi bertentangan dan bertabrakan dengan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena demokrasi kita adalah demokrasi yang bersumber dari nilai-nilai Pancasila (Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial) dan bukanlah demokrasi barat yang liberal dan sekuler.(Darmawan, 2017)
Pada saat Orba, Pancasila diposisikan sebagai ideologi politik penguasa. Akibatnya Pancasila menjadi alat legitimasi kekuasaan untuk melakukan rezimentasi dan hegemoni kekuasaan. Pancasila pada saat itu lebih sekedar alat bagi penguasa untuk membentuk polarisaasi struktur politik. Atas dasar Pancasila sebagai dogma, maka penguasa menjadi penafsir tunggal dan memonopoli kebenaran tanpa koreksi. Pada tataran empiris saat itu, Pancasila diposisikan sebagai alat pembenaran atas tindakan apa pun dari penguasa. Alhasil rakyat hampir-hampir tak memiliki daya tawar untuk sekedar melakukan kritik kepada penguasa. Singkatnya, ideologi alih-alih menjadi pedoman, malahan menjadi alat penindasan bagi rakyat yang tidak patuh atas perintah penguasa. Disini berlakulah hukum besi oligarki. Siapa yang kuat, dia yang menang dan siapa yang mengganggu pemerintah dianggap kelompok yang  dianggap “anti Pancasila.
Disisi lain, Pancasila sebagai dasar negara sampai saat ini belum sepenuhnya secara nyata diimplementasikan dalam aspek kehidupan nasional. Masih banyak terjadinya penyimpangan yang dilakukan para oknum penyelenggara negara. Karena kegagalan implementasi Pancasila itulah, maka Pancasila seakan kehilangan jiwa dalam kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan. Akibat dari itu, Pancasila kehilangan legitimasi sosial dan politik dari masyarakat.
Demokrasi di Indonesia bukanlah demokrasi liberal yang diagung-agungkan dalam konsep demokrasi barat. Demokrasi di Indonesia adalah konsep demokrasi sebagaimana diungkapkan oleh Hatta (dalam Agustam, 2011, hlm. 82) bahwa:
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong yang ditujukan kepada kesejahteraan rakyat, yang mengandung unsur-unsur berkesadaran religius, berdasarkan kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur, berkepribadian Indonesia dan berkesinambungan.
Hal tersebut senada dengan pandangan Agustam (2011, hlm. 85) bahwa,
Konsep demokrasi pancasila digali dari nilai masyarakat asli Indonesia dengan nilai-nilai yang melekat kepadanya, seperti desa demokrasi, rapat kolektivisme, musyawarah, mupakat, tolong-menolong dan istilah-istilah lain yang berkaitan dengan itu. Tujuannya, memberikan pendasaran emperis sosiologis tentang konsep demokrasi yang sesuai dengan sifat kehidupan masyarakat asli Indonesia, bukan sesuatu yang asing yang bersal dari barat dan dipaksakan pada realitas kehidupan bangsa Indonesia.

            Arti dan makna sila keempat Pancasila dapat dielaborasi sebagai berikut :
a.       Demokrasi ala Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila (Nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan)
b.      Demokrasi yang dalam prosesnya penuh dengan nilai hikmah dan kebijaksanaan
c.       Putusan hasil musyawarah dan mufakat mengikat bulat kepada semua pihak
d.      Demokrasi yang mendahulukan kepentingan publik dengan kearifan


            Banyak pandangan ahli yang menyatakan bahwa terdapat beberapa produk hukum perundang-undangan terutama di bidang politik mulai tergeser dari konsep dan cita-cita Demokrasi Pancasila itu sendiri menjadi konsep demokrasi barat yang liberal. Prof. Sutarjo (2011) sebagai Ketua Tim Ahli Pusat Studi Pancasila, mengatakan permasalahan bidang hukum yang terjadi saat ini disebabkan oleh banyak produk hukum yang lahir tidak berlandaskan pada filosofis Pancasila. Begitu pula Heri Santoso (2011) peneliti PSP, mengatakan banyak peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah, dan peraturan presiden yang dianggap bermasalah. Ia mengutip hasil penelitian yang disampaikan dalam Kongres Pancasila II yang berlangsung di Bali pada 2010 lalu, yakni bahwa dari 80 UU yang diteliti, sekitar 60 UU atau 80 persen hanya menyebut Pancasila dan UUD 1945 secara langsung pada alinea pembukaan. Namun, belum pada pasal per pasal. Dari jumlah itu, 19 UU atau 21 persennya sama sekali tidak menyebut Pancasila dan UUD 1945. (sumber : https://ugm.ac.id/id/berita/3698uutidak. sesuai.pancasila.perlu.judivicial.review).
            Beberapa produk hukum peraturan perundang-undangan di bidang politik yang menyangkut kehidupan ketatanegaraan serta berkaitan erat dengan penerapan dan penggambaran konsep Demokrasi di Indonesia diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik yang kemudian diubah dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang kemudian diubah dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018. Tulisan ini akan mengkaji sampai sejauh mana penerapan Demokrasi Pancasila dalam isi peraturan perundang-undangan tersebut.

1) Konsep Demokrasi Pancasila pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden dan Konsep Demokrasi Pancasila pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.

            Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dengan model sistem pemilihan secara langsung sebagaimana terdapat dalam pasal 1 angka 1 yang berbunyi:
Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

            Untuk memilih anggota DPR, DPD, serta DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota merupakan perwujudan dari model permusyawaratan/perwakilan, yang sesuai dengan nilai sila keempat Pancasila tentang perlunya lembaga perwakilan rakyat.
            Selanjutnya, berkaitan dengan dasar hukum peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yakni Pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden. Pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa,
a.       Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan calon secara langsung oleh rakyat;
b.      Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum;
c.       Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapat suara lebih dari lima puluh persen daru jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar lebih dari setengah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden;
d.      Dalam hal tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, dua pasang calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden, dan
e.       Tata cara pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden lebih lanjut diatur dalam Undang-undang.
            Pengaturan lebih lanjut pasal ini terdapat pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden. Pada pasal 2 UU No.42/2008 tersebut terdapat bunyi “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.”
            Begitu pula tentang Pilkada Langsung bagi gubernur, bupati dan walikota diatur melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.
            Jika kita telaah bersama-sama secara filosofis, bunyi dari pasal 2 UU No. 42 tahun 2008 terkait dengan kata “langsung” dan substansi pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010, sesungguhnya tidak kompatibel dengan hakikat sila keempat Pancasila yang mengedepankan prinsip musyawarah untuk mufakat melalui lembaga perwakilan rakyat.  Rakyat memilih anggota lembaga perwakilan rakyat secara langsung melalui Pemilu.
            Bila merujuk pada sila keempat Pancasila, suka atau tidak suka dan mungkin juga pendapat ini tidak begitu populis, beranikah forum ini menyatakan bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung itu bertentangan dengan sila keempat Pancasila?  Pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR, merupakan konstruksi pemikiran para  pendiri bangsa yang tertuang dalam pembukaan dan pasal-pasal sebagaimana dituangkan dalam naskah asli UUD tahun 1945? Dengan kata lain, mampukah forum ini menyatakan bahwa prinsip One Man, One Vote dalam pemilu langsung presiden dan wakil presiden bertentangan dengan Sila keempat Pancasila? Dengan demikian dapat pula ditafsirkan bahwa telah terjadi pertentangan antara aturan normatif yang mengatur Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, baik yang terdapat dalam UUD NRI 1945 hasil amandemen dan UU No. 42/2008 dengan filsafat dan dasar negara kita, Pancasila  yang menjadi dasar filosifis dari segala peraturan perundang-undangan. Nilai permusyawaratan dan nilai perwakilan dalam  sila keempat telah mengalami semacam distorsi implementasi, yakni terjadi pergeseran makna khususnya pada sila ke-4 Pancasila.mpat
            Dengan demikian Pemilihan Umum Langsung Presiden dan Wakil Presiden semestinya dikembalikan lagi ke lembaga MPR sebagaimana rumusan otentik UUD tahun 1945. Para perumus dan pendiri bangsa ini menyadari pentingnya memilih presiden dan wakil presiden secara musyawarah dan mufakat melalui lembaga perwakilan (MPR). Oleh karenanya jika pemikiran ini yang dipakai, maka perlu amandemen UUD tahun 1945 yang mengembalikan kewenangan MPR untuk melakukan pemilihan presiden dan wakilnya.
            Meski diakui bahwa sistem Demokrasi Pancasila Perwakilan yang diterapkan pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden melalui lembaga perwakilan (MPR) pun tidak mengalami berbagai kekurangan dan berpotensi penyalahgunaan kekuasaan politik seperti terjadi di era Orba yang kental dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
           
2) Konsep Demokrasi Pancasila pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik yang kemudian diubah dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011
           
            UU No. 2/2008 yang mengalami perubahan pada UU No. 2/2011 yakni pada pasal 2 ayat (4) AD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit:a.asas dan ciri Partai Politik. Semua partai politik seharusnya berasaskan Pancasila, dengan tanpa menghilangkan ciri khas atau karakteristik masing-masing partai sesuai dengan tujuan pendirian partainya masing-masing.
            Kemudian, UU No. 2/2008 yang mengalami perubahan pada UU No. 2/2011 yakni pada pasal 34 ayat (3b),
 Pendidikan Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) berkaitan dengan kegiatan:
a.       pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.      pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik; dan
c.       pengkaderan anggota Partai Politik secara berjenjang dan berkelanjutan.

            Permasalahannya adalah pada pasal 34 ayat (3b) khususnya pada bagian huruf a. yang berbunyi “...pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”  Kedudukan Pancasila yang disejajarkan dengan UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebenarnya sudah dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini sesuai dengan hierarki norma hukum dan rantai validitas piramida hukum (stufentheorie) dari Teori Nawiasky (Pinasang ,2012, hlm. 4) yang disebut dengan Theorie von Stufenufbau der Reschtsordnung menyusun norma tersebut sebagai:
1.      Norma Fundamental Negara (Staatfundamentalnorm)
2.      Aturan Dasar Negara (staatsgrundgesetz)
3.      Undang-undang formal (formell gesetz)
4.      Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom (verordnung en autonome satzung)
            Pancasila memiliki posisi sebagai Staatfundamentalnorm yang artinya Pancasila ditempatkan di atas Undang-Undang Dasar 1945 sehingga posisi Pancasila tidak dapat disamakan sebagai pilar-pilar lainnya.

3)  Konsep Demokrasi Pancasila pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang kemudian diubah dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018

            Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang kemudian diubah dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018, kerap mendapat kritikan tajam dari publik. UU UU MD3 ini sempat menjadi pro kontra di kalangan  masyarakat khususnya berkenaan dengan menguatnya posisi DPR dan kewenangannya. UU ini disinyalir memiliki beberapa pasal yang bermasalah dan bertentangan dengan semangat Demokrasi Pancasila dan nilai-nilai luhurnya.
            Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) UU MD3 yang berbunyi:
(3) Dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4) Panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.       Pimpinan DPR mengajukan permintaan secara tertulis kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia paling sedikit memuat dasar dan alasan pemanggitan paksa serta nama dan alamat setiap orang yang dipanggil paksa;
b.      Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan
c.       Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memerintahkan Kepala Kepolisian Daerah di tempat domisili setiap orang yang dipanggil paksa untuk dihadirkan memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

            Pasal tersebut bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat (sila keempat Pancasila) dan prinsip hak azasi manusia (sila kedua Pancasila). DPR yang memiliki kewenangan (melebihi kewenangan) melakukan panggilan paksa terhadap yang bersangkutan dengan menggunakan kepolisian berpotensi melanggar hak sekaligus melanggar nilai-nilai Pancasila.  Selain itu, UU MD3 ini pun berpotensi bertentangan dengan sila kedua ketika masyarakat melakukan kritik terhadap lembaga dan perseorangan anggota DPR.  
            Sedangkan menyangkut pasal yang mengatur tugas Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) pada pasal 122 huruf l yang berbunyi “mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR”, berpotensi melanggar nilai-nilai Pancasila. Jika lembaga DPR atau individu anggota DPR yang dikritik dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR,  merupakan pikiran yang keliru dan merupakan suatu kemunduran demokrasi. Pasal ini pun bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Salah satu pasal yang lagi-lagi sangat bertentangan dengan Demokrasi Pancasila adalah pasal 245 yang berbunyi:
(1)   Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 haruts mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
(2)   Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR:
a.       tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b.      disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan Yang cukup; atau
c.       disangka melakukan tindak pidana khusus
Pasal di atas bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, sebab pasal tersebut memberikan imunitas kepada anggota DPR. Seakan anggota DPR diistimewakan dan sulit tersentuh oleh hukum sehingga bertentangan dengan prinisp equality before the Law, yakni nilai keadilan (sila kelima Pancasila). Ke depan DPR perlu  mencantumkan secara eksplisit sila-sila Pancasila dalam setiap produk UU yang dibuatnya sebagai bentuk implementasi nilai-nilai Pancasila dalam pembentukan UU sekaligus sebagai upaya menjaga konsistensi UU yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Copyright © Cecep Darmawan | Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia