Oleh: Prof. Dr. Cecep Darmawan, S.IP.,M.Si., M.H.
(Guru Besar Ilmu Politik UPI)
Jangan paksa semua orang
percaya terhadap praktika demokrasi selama demokrasi hanya dipahami secara prosedural
semata. Praktika demokrasi memang telah memiliki akar sejarah yang amat
panjang dan cukup berliku. Meskipun demikian, demokrasi belum tentu memberikan garansi apa pun bagi rakyatnya. United States Information
Agency atau
USIA
(1991, hlm. 31) menyatakan bahwa “democracy
itself guarantees nothing”. It offers instead the opportunity to succed as well as the risk of
failure”. Artinya demokrasi tidak menjamin apa pun, semuanya tergantung
kepada aktor yang menjalankan demokrasi.
Sejarah mencatat bahwa
Socrates dihukum mati oleh pemerintahan yang waktu itu memproklamirkan diri sebagai pemerintah demokrasi. Socrates
dituduh sebagai “provokator” yang meracuni generasi muda dengan pikiran-pikiran
yang dianggap “menyeleneh” atau mengganggu stabilitas pemerintahan. Oleh karena
itulah murid setia Socrates, Plato awalnya tidak begitu suka dengan demokrasi,
bukan saja karena gurunya dihukum mati oleh pemerintahan yang mengaku
demokrasi, tetapi juga dengan demokrasi orang-orang jahat seperti gerombolan,
preman, dan pembegal demokrasi
turut serta mengurus pemerintahan (Darmawan, 2015).
Meskipun
begitu, pada akhirnya Plato juga menyetujui demokrasi dengan berbagai catatan,
dan Ia tidak menempatkan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang terbaik.
Plato menginginkan negara itu dipimpin oleh seorang filsuf raja yang memiliki
pengetahuan yang luas, kearifan, kebijakan, sekaligus jadi teladan bagi rakyatnya.(Darmawan, 2017)
Pabottingi
(2000, hlm. 49) menyatakan bahwa “demokrasi
sulit sekali tumbuh dari sistem politik yang berkiblat pada negara lain,
terutama negara yang justru memangsanya”.
Pandangan ini memperkuat asumsi bahwa demokrasi harus berkembang sesuai budaya
bangsanya. Meskipun Lipset (dalam Sorensen, 2003,
hlm. 42) menyatakan bahwa “semakin kaya suatu bangsa, semakin besar peluang
negara tersebut untuk melangsungkan demokrasi”, kita yakin bahwa demokrasi dan
demokratisasi di negara kita akan berkembang seiring komitmen bangsa kita melakukan demokratisasi sesuai dengan
falsafah bangsa, Pancasila. Konsepsi demokrasi
sejatinya tidak sekedar dipahami secara akademik atau tekstual semata (knowing
democracy) dan juga bukan semata-mata prosedur legal-formal, melainkan
harus dimaknai secara substanstif dan implementasikan dalam konteks kehidupan
nyata (doing democracy).(Darmawan, 2017).
Selanjutnya, Dahl (1982, hlm.15) mengungkapkan “tanpa
sistem perwakilan, partisipasi rakyat yang efektif dalam pemerintahan berukuran
luas jelas sangat mustahil”. Disinilah perlunya
lembaga perwakilan rakyat. Namun harus diingat bahwa lembaga perwakilan
rakyat haruslah
mencerminkan institusi demokrasi. Lembaga
perwakilan rakyat sejatinya mengembangkan Demokrasi Pancasila yakni demokrasi
kerakyatan yang dipandu dengan nilai hikmah kebijaksanaan dengan landasan kokoh
nilai Ketuhanan, kemanusiaan, dan persatuan, demi
tegaknya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Demokrasi yang dicita-citakan
itu, demokrasi yang tidak menabrak nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya dalam menjalankan demokrasi
tidak boleh proses dan produk demokrasi bertentangan dan bertabrakan dengan
nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena demokrasi kita adalah demokrasi
yang bersumber dari nilai-nilai Pancasila (Ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan
keadilan sosial) dan bukanlah demokrasi barat yang liberal dan sekuler.(Darmawan,
2017)
Pada
saat Orba, Pancasila diposisikan
sebagai ideologi politik
penguasa. Akibatnya Pancasila menjadi alat legitimasi kekuasaan untuk melakukan
rezimentasi dan hegemoni kekuasaan. Pancasila pada saat itu lebih sekedar alat bagi penguasa
untuk membentuk polarisaasi struktur
politik. Atas dasar Pancasila sebagai dogma, maka
penguasa menjadi penafsir tunggal dan memonopoli kebenaran tanpa koreksi. Pada
tataran empiris saat itu, Pancasila
diposisikan
sebagai alat pembenaran atas
tindakan apa pun dari penguasa. Alhasil rakyat hampir-hampir tak memiliki daya
tawar untuk sekedar melakukan kritik kepada penguasa. Singkatnya, ideologi
alih-alih menjadi pedoman, malahan menjadi alat penindasan bagi rakyat yang
tidak patuh atas perintah penguasa. Disini berlakulah hukum besi oligarki.
Siapa yang kuat, dia yang menang dan siapa yang mengganggu pemerintah dianggap kelompok yang dianggap “anti Pancasila”.
Disisi
lain, Pancasila sebagai dasar negara sampai saat ini belum sepenuhnya secara
nyata diimplementasikan dalam aspek kehidupan nasional. Masih banyak terjadinya
penyimpangan yang dilakukan para oknum penyelenggara negara. Karena kegagalan
implementasi Pancasila itulah, maka Pancasila seakan kehilangan jiwa dalam kehidupan
kemasyarakatan dan kebangsaan. Akibat dari itu, Pancasila kehilangan legitimasi
sosial dan politik dari masyarakat.
Demokrasi di Indonesia bukanlah demokrasi liberal yang diagung-agungkan dalam konsep demokrasi barat. Demokrasi di Indonesia adalah konsep demokrasi sebagaimana diungkapkan oleh Hatta (dalam Agustam,
2011, hlm. 82) bahwa:
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang berdasarkan
kekeluargaan dan gotong-royong yang ditujukan kepada kesejahteraan rakyat, yang
mengandung unsur-unsur berkesadaran religius, berdasarkan kebenaran, kecintaan
dan budi pekerti luhur, berkepribadian Indonesia dan berkesinambungan.
Hal tersebut
senada dengan pandangan Agustam (2011, hlm. 85) bahwa,
Konsep
demokrasi pancasila digali dari nilai masyarakat asli Indonesia dengan
nilai-nilai yang melekat kepadanya, seperti desa demokrasi, rapat kolektivisme,
musyawarah, mupakat, tolong-menolong dan istilah-istilah lain yang berkaitan
dengan itu. Tujuannya, memberikan pendasaran emperis sosiologis tentang konsep
demokrasi yang sesuai dengan sifat kehidupan masyarakat asli Indonesia, bukan
sesuatu yang asing yang bersal dari barat dan dipaksakan pada realitas
kehidupan bangsa Indonesia.
Arti
dan makna sila keempat Pancasila
dapat dielaborasi sebagai berikut
:
a. Demokrasi
ala Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila (Nilai Ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan)
b. Demokrasi
yang dalam prosesnya penuh dengan nilai hikmah dan kebijaksanaan
c. Putusan
hasil musyawarah dan mufakat mengikat bulat kepada semua pihak
d. Demokrasi
yang mendahulukan kepentingan publik dengan kearifan
Banyak pandangan ahli yang
menyatakan bahwa terdapat beberapa produk hukum
perundang-undangan terutama di bidang politik mulai tergeser dari konsep dan
cita-cita Demokrasi Pancasila itu sendiri menjadi
konsep demokrasi
barat yang liberal. Prof. Sutarjo (2011) sebagai Ketua
Tim Ahli Pusat Studi Pancasila, mengatakan permasalahan bidang hukum
yang terjadi saat ini disebabkan oleh banyak produk hukum yang lahir tidak berlandaskan
pada filosofis Pancasila. Begitu pula Heri
Santoso (2011) peneliti PSP, mengatakan
banyak peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah, dan peraturan
presiden yang dianggap bermasalah. Ia mengutip hasil penelitian yang
disampaikan dalam Kongres Pancasila II yang berlangsung di Bali pada 2010 lalu,
yakni bahwa dari 80 UU yang diteliti, sekitar 60 UU atau 80 persen hanya
menyebut Pancasila dan UUD 1945 secara langsung pada alinea pembukaan. Namun,
belum pada pasal per pasal. Dari jumlah itu, 19 UU atau 21 persennya sama
sekali tidak menyebut Pancasila dan UUD 1945.
(sumber : https://ugm.ac.id/id/berita/3698uutidak. sesuai.pancasila.perlu.judivicial.review).
Beberapa produk hukum peraturan perundang-undangan di bidang
politik yang menyangkut kehidupan ketatanegaraan serta berkaitan erat dengan
penerapan dan penggambaran konsep Demokrasi di Indonesia diantaranya adalah
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik yang kemudian diubah dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, dan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang kemudian
diubah dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018. Tulisan ini akan mengkaji
sampai sejauh mana penerapan Demokrasi Pancasila dalam isi peraturan
perundang-undangan tersebut.
1) Konsep Demokrasi
Pancasila pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 Tentang
Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden dan Konsep
Demokrasi Pancasila pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017
Tentang Pemilihan Umum serta Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 2010
Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.
Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dengan model sistem pemilihan
secara langsung sebagaimana terdapat dalam pasal 1 angka 1 yang berbunyi:
Pemilihan
Umum yang selanjutnya disebut pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan perwakilan Daerah,
Presiden dan Wakil presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, yang dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Untuk memilih anggota DPR, DPD,
serta DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota merupakan
perwujudan dari model permusyawaratan/perwakilan, yang sesuai dengan nilai sila
keempat Pancasila tentang perlunya lembaga perwakilan rakyat.
Selanjutnya,
berkaitan dengan dasar hukum
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden yakni Pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008
Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden. Pasal 6A Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa,
a. Presiden
dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan calon secara langsung oleh
rakyat;
b. Pasangan
calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum;
c. Pasangan
calon presiden dan wakil presiden yang mendapat suara lebih dari lima puluh
persen daru jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh
persen suara di setiap provinsi yang tersebar lebih dari setengah provinsi di
Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden;
d. Dalam
hal tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, dua pasang
calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum
dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara
terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara
langsung dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai presiden
dan wakil presiden, dan
e.
Tata cara pelaksanaan pemilihan presiden
dan wakil presiden lebih lanjut diatur dalam Undang-undang.
Pengaturan lebih lanjut pasal ini
terdapat pada Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil
Presiden. Pada pasal 2 UU No.42/2008 tersebut terdapat bunyi “Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.”
Begitu
pula tentang Pilkada Langsung bagi gubernur, bupati dan walikota diatur melalui
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 2010 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.
Jika kita telaah bersama-sama secara filosofis, bunyi
dari pasal 2 UU No. 42 tahun 2008 terkait
dengan kata “langsung” dan substansi pada Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 10
Tahun 2010, sesungguhnya
tidak kompatibel dengan
hakikat sila keempat Pancasila yang mengedepankan prinsip musyawarah untuk mufakat
melalui lembaga perwakilan rakyat. Rakyat memilih anggota lembaga perwakilan
rakyat secara langsung
melalui Pemilu.
Bila merujuk pada sila keempat Pancasila, suka atau tidak
suka dan mungkin juga pendapat ini tidak begitu populis, beranikah forum ini menyatakan bahwa pemilihan
presiden dan wakil presiden secara langsung itu bertentangan dengan sila
keempat Pancasila? Pemilihan presiden
dan wakil presiden dipilih oleh MPR, merupakan konstruksi pemikiran para pendiri bangsa yang tertuang dalam pembukaan
dan pasal-pasal sebagaimana dituangkan dalam naskah asli UUD tahun 1945? Dengan kata lain, mampukah forum ini
menyatakan bahwa prinsip
One Man, One Vote dalam pemilu langsung presiden dan wakil presiden bertentangan dengan
Sila keempat Pancasila? Dengan demikian dapat pula ditafsirkan bahwa telah terjadi pertentangan antara aturan normatif
yang mengatur Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, baik yang terdapat dalam UUD NRI 1945 hasil amandemen dan UU No. 42/2008 dengan filsafat dan dasar negara kita, Pancasila yang menjadi dasar filosifis
dari segala peraturan perundang-undangan. Nilai permusyawaratan
dan nilai perwakilan dalam sila keempat telah mengalami semacam distorsi implementasi, yakni terjadi pergeseran makna khususnya pada sila ke-4 Pancasila.mpat
Dengan
demikian Pemilihan Umum Langsung Presiden dan Wakil Presiden semestinya dikembalikan lagi ke lembaga
MPR sebagaimana rumusan otentik UUD tahun 1945. Para perumus dan pendiri bangsa
ini menyadari pentingnya memilih presiden dan wakil presiden secara musyawarah
dan mufakat melalui lembaga perwakilan (MPR). Oleh karenanya jika pemikiran ini
yang dipakai, maka perlu amandemen UUD tahun 1945 yang mengembalikan kewenangan
MPR untuk melakukan pemilihan presiden dan wakilnya.
Meski diakui bahwa sistem Demokrasi Pancasila Perwakilan yang diterapkan pada Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden melalui lembaga perwakilan (MPR)
pun tidak mengalami
berbagai kekurangan dan berpotensi penyalahgunaan kekuasaan politik seperti
terjadi di era Orba yang kental dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
2) Konsep
Demokrasi Pancasila pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008
Tentang Partai Politik yang kemudian diubah dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2011
UU
No. 2/2008 yang mengalami perubahan pada UU No. 2/2011 yakni pada pasal 2 ayat (4) AD sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) memuat paling sedikit:a.asas dan ciri Partai Politik. Semua partai
politik seharusnya berasaskan Pancasila,
dengan tanpa menghilangkan ciri khas atau karakteristik masing-masing partai
sesuai dengan tujuan pendirian partainya masing-masing.
Kemudian, UU
No. 2/2008 yang mengalami perubahan pada UU No. 2/2011 yakni pada pasal 34 ayat (3b),
Pendidikan Politik
sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) berkaitan dengan kegiatan:
a.
pendalaman
mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945,
Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.
pemahaman
mengenai hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan
budaya politik; dan
c.
pengkaderan
anggota Partai Politik secara berjenjang dan berkelanjutan.
Permasalahannya adalah pada pasal 34
ayat (3b) khususnya pada bagian huruf a. yang berbunyi “...pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara
yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.” Kedudukan Pancasila yang disejajarkan dengan UUD
1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebenarnya sudah dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi.
Hal ini sesuai dengan hierarki
norma hukum dan rantai validitas piramida hukum (stufentheorie) dari Teori Nawiasky (Pinasang ,2012, hlm. 4) yang
disebut dengan Theorie von Stufenufbau der Reschtsordnung menyusun norma
tersebut sebagai:
1.
Norma
Fundamental Negara (Staatfundamentalnorm)
2.
Aturan
Dasar Negara (staatsgrundgesetz)
3.
Undang-undang
formal (formell gesetz)
4.
Peraturan
Pelaksanaan dan Peraturan Otonom (verordnung en autonome satzung)
Pancasila
memiliki posisi sebagai Staatfundamentalnorm yang artinya Pancasila
ditempatkan di atas Undang-Undang Dasar 1945 sehingga posisi Pancasila tidak dapat
disamakan sebagai pilar-pilar lainnya.
3) Konsep Demokrasi Pancasila pada Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
kemudian diubah dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang kemudian diubah dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018, kerap mendapat kritikan tajam dari publik. UU UU MD3 ini sempat menjadi pro kontra di kalangan masyarakat khususnya berkenaan dengan menguatnya posisi DPR dan kewenangannya. UU ini disinyalir memiliki beberapa pasal yang bermasalah dan bertentangan dengan semangat
Demokrasi Pancasila dan nilai-nilai luhurnya.
Pasal 73 ayat (3) dan
ayat (4) UU MD3 yang berbunyi:
(3)
Dalam hal setiap orang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali
berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan
paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4)
Panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pimpinan
DPR mengajukan permintaan secara tertulis kepada Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia paling sedikit memuat dasar dan alasan pemanggitan paksa
serta nama dan alamat setiap orang yang dipanggil paksa;
b. Kepolisian
Negara Republik Indonesia wajib memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada
huruf a; dan
c.
Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia memerintahkan Kepala Kepolisian Daerah di tempat domisili setiap orang yang dipanggil paksa untuk
dihadirkan memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Pasal tersebut bertentangan dengan
prinsip kedaulatan rakyat (sila keempat
Pancasila) dan prinsip hak azasi manusia (sila kedua Pancasila). DPR
yang memiliki kewenangan (melebihi kewenangan) melakukan
panggilan paksa terhadap yang bersangkutan dengan menggunakan kepolisian berpotensi melanggar hak sekaligus melanggar nilai-nilai
Pancasila. Selain
itu, UU MD3 ini pun berpotensi bertentangan dengan sila
kedua ketika masyarakat melakukan
kritik terhadap lembaga dan perseorangan anggota DPR.
Sedangkan
menyangkut pasal yang mengatur tugas Mahkamah
Kehormatan Dewan (MKD) pada pasal 122 huruf l yang berbunyi “mengambil langkah
hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau
badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR”, berpotensi melanggar nilai-nilai Pancasila. Jika lembaga DPR atau individu anggota DPR
yang dikritik dianggap
merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR,
merupakan pikiran yang keliru dan merupakan
suatu kemunduran demokrasi. Pasal
ini pun bertentangan dengan
nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Salah
satu pasal yang lagi-lagi sangat bertentangan dengan Demokrasi Pancasila adalah
pasal 245 yang berbunyi:
(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan
terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 haruts mendapatkan persetujuan tertulis
dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
(2) Persetujuan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR:
a.
tertangkap
tangan melakukan tindak pidana;
b.
disangka
melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan
keamanan negara berdasarkan bukti permulaan Yang cukup;
atau
c.
disangka
melakukan tindak pidana khusus
Pasal di atas bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, sebab pasal tersebut
memberikan imunitas
kepada anggota DPR. Seakan anggota
DPR
diistimewakan dan sulit
tersentuh oleh hukum sehingga bertentangan
dengan prinisp “equality before the Law”, yakni nilai keadilan (sila kelima Pancasila). Ke depan DPR
perlu mencantumkan secara eksplisit sila-sila
Pancasila dalam setiap produk UU yang dibuatnya sebagai bentuk implementasi
nilai-nilai Pancasila dalam pembentukan UU sekaligus sebagai upaya menjaga
konsistensi UU yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.