BISNIS BANDUNG – Ketua Perhimpunan Guru
Besar Indonesia (Pergubi) Jawa Barat, Prof Rully Indrawan menyebutkan,
dalam kontek impor dosen atau apapun namanya, harus dipahami dari
perspektif yang sama terkait rencana pemerintah pada tahun ini akan
mendatangkan 1000 dosen dari Jerman dan Finlandia.
Ada
pihak yang kebelet ingin sekali melakukan pekerjaan “spektakuler” ini
karena kemungkinan kehabisan ide untuk melakukan langkah lain yang lebih
substanstif dalam pengelolaan pendidikan tinggi kita.
“Bahkan
ada yang berkeinginan membuka perguruan tinggi asing di dalam negeri.
Di sisi lain presiden meminta agar ide tersebut dikomunikasikan lagi
secara intensif dengan steakholder pendidikan dalam negeri. Ini
menunjukan bahwa persoalan penanganan tata kelola perguruan tinggi masih
belum menjadi komitmen bersama,” ungkap Rully.
Menurutnya,
memang terdapat plus minus dengan digulirkannya program impor dosen.
Plusnya kemungkinan ada komunikasi keilmuan yang lebih dinamis.
Namun
kemajuan teknologi infromasi yang berkembang belakangan ini apakah
tidak diperhatikan? Kehadiraan secara fisik yang sekaligus berpotensi
menggugat eksistensi akademisi (baca dosen) di dalam negeri pada
persepsi publiknya sendiri berbahaya untuk kemandirian bangsa ini.
Minusnya,
siapa yang menjamin dosen dari luar memahami substansi dari tujuan
pendidikan nasional yang tertuang dalam Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Sebagaimana kita ketahui, lanjut Rully , tujuan pembangunan
pendidikan kita adalah membentuk manusia Indonesia seutuhnya dan
seterusnya
“Bagaimana proses
membangun manusia Indonesia seutuhnya jika diserahkan kepada pihak yang
tidak memiliki karakter, latar belakang budaya, dan ruh keindonesiaan
yang jelas. Pendidikan tinggi bukan
persoalan teknis semata, membangun manusia Indonesia bukan pada
persoalan publikasi pada jurnal bereputasi internasional saja. Bukan
itu. Sangat absurd dan menyederhanakan persoalan,” tegas Guru Besar
Unpas ini kepada BB.
Diungkapkannya,
secara kualitas dan kuantitas tidak ada data yang membenarkan
dosen/akademisi Indonesia kurang mumpuni kompetensinya, selain persoalan
publikasi ilmiah ,rasio yang menjadi dasar kebutuhan dosen, masih
sangat mungkin bisa ditutupi oleh anak muda Indonesia yang semakin
cerdas ini.
Menjawab pertanyaan apa
yang menyebabkan Indonesia masih kekurangan tenaga dosen/akademisi
lokal, salah satunya adalah bagaimana generasi muda Indonesia yang
cerdas mau menjadi dosen di dalam negeri.
Persoalannya
pada penghargaan (insentif), peluang akibat iklim tata kelola perguruan
tinggi, sumber serta fasilitas pengembangan ilmu yang terbatas.
“Bagi
saya, menyelesaikan tiga persoalan itu jauh lebih penting daripada
mendatangkan dosen dari luar. Yang kita tidak tahu bagaimana pula sistem
rekrutasinya. Memang ada beberapa bidang keilmuan yang masih kurang
diminati oleh anak muda Indonesia untuk menggeluti, terutama ilmu dasar,
tapi persoalannya berhulu pada tiga hal di atas”, tambah Rully, Senin
kemarin di Bandung.
Penggunaan Tenaga Dosen Asing
Sementara
menurut Ketua Harian Pergubi Jawa Barat, Prof. Dr. Cecep Darmawan,
S.Pd., S.IP., M.Si., M.H, jika dimaknai impor dosen sebagai tenaga kerja
asing yang tetap di perguruan tinggi di Indonesia.
Kebijakan
ini perlu dipertimbangkan kembali, meski sudah ada Perpres nomor 20
tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA). Mengapa?
Pertama, dosen-dosen di dalam negeri, dalam beberapa hal, tidak kalah
kualitasnya dengan dosen-dosen luar negeri.
Kedua,
apa jaminannya dosen luar negeri memiliki wawasan kebangsaan seperti
dosen-dosen dalam negeri? Ketiga, keahlian dan kompetensi dosen-dosen
luar negeri itu, apakah tidak dimiliki oleh dosen-dosen dalam negeri?
“Menurut hemat saya, jika memang kita memerlukan bidang ilmu yang belum
berkembang dan belum banyak dosen dalam negeri yang menguasainya.
Lebih
baik menyekolahkan dosen-dosen dalam negeri ke perguruan tinggi di luar
negeri yang memiliki reputasi baik di bidang itu. Jadi lebih baik
mendidik anak-anak bangsa ke luar negeri dari pada menghadirkan
dosen-dosen luar negeri sebagai pengajar tetap di perguruan tinggi
kita,”ujar Cecep.
Namun demikian
lanjut Cecep , boleh saja pemerintah mendatangkan dosen-
dosen luar
negeri yang ahli dalam bidang yang tidak dimiliki oleh dosen-dosen di
Perguruan Tinggi dalam negeri, namun hal ini haruslah dimaksudkan
sebagai upaya transfer of knowledge dan cross vertilizatioan atau sharing ilmu dan pengalaman menuju wordl class university.
Perlu
diketahui bahwa selama ini beberapa PT sudah biasa melakukan itu
melalui berbagai program kerjasama dengan perguruan tinggi asing yang
menghadirkan dosen asing sebagai dosen tamu atau juga vising professor dan bukan sebagai dosen tetap di Perguruan Tinggu kita.
Selain itu, sudah banyak program yang dilakukan, semisal riset bersama, sabbatical program, dan pertukaran dosen. Yang dibutuhkan saat ini, pemerintah melakukan mapping atau pemetaan keahlian dosen di masing-masing bidang ilmu.
Setelah
itu, lakukan pembinaan dengan berbagai model. Jika diperlukan untuk
memperkuat disiplin ilmu tertentu dapat saja menghadirkan dosen asing
sebagai dosen tamu, dan tidak perlu menjadi dosen tetap di Perguruan
Tinggi kita.
Kita tidak boleh
terjebak pada indikator reputasi internasional dan sekedar meningkatkan
daya saing tanpa memperhitungkan dampak negatifnya.
Dikemukakan
Prof. Dr. Cecep Darmawan , jika dimaknai kebijakan impor dosen itu
sebagai dosen tetap PT di dalam negeri, diprediksi akan menimbulkan
masalah antara lain: Lapangan kerja dosen dalam negeri semakin sulit
dan berpotensi menambah jumlah pengangguran terdidik.
Dikhawatirkan
wawasan kebangsaan dosen asing tidak akan sama dengan dosen-dosen WNI
yang pada gilirannya akan mempengaruhi sikap, prilaku, dan karakter
mahasiswa kita.
Riset yang dilakukan
dosen asing di dalam negeri dapat merambah kepada persolan ketahanan
negara, keamanan nasional, kekayaan negara kita, dan sangat mungkin
rahasia negara kita akan diketahui pihak asing. Dampak positifnya tentu
saja dapat mentransfer pengetahuan dari dosen asing kepada dosen kita.
Kelemahan dosen kita umumnya, menurut Cecep , bukan pada persoalan riset dan publikasi saja, yang lebih penting bagaimana output riset itu menjadi outcome atau produk aplikatif yang berguna bagi pembangunan bangsa.
Persoalannya apakah konsepsi dan kebijakan link and match antara Perguruan Tinggi dengan dunia industri sudah berjalan dengan baik atau belum.
Kenyataannya
hasil-hasil riset di Perguruan Tinggi belum banyak yang mendorong
kemajuan di sektor industri dan pembangunan masyarakat. Inilah tugas
pemerintah agar terjalin hubungan mutualisme antara Perguruan Tinggi dengan industri dan masyarakat.
Dari
sisi kuantitas dosen, harus diukur bukan dari rasio jumlah dosen dan
mahasiswa semata, tetapi juga harus dilihat dari sebaran dosen di Jawa
dan luar Jawa, sebaran keahlian dari masing-masing disiplin ilmu.
Dengan demikian diharapkan, kebijakan pemerataan dosen seperti itu akan dapat mengurangi ketimpangan yang selama masih terjadi.
“Dosen-dosen
lokal kita banyak yang berkualitas internasional. Justru disitulah
pentingnya pemerintah memperhatikan karir dan prestasi dosen-dosen
kita.Jumlah dosen kita secara kuantitatif sudah cukup, tinggal lebih
ditingkatkan kualitasnya,”ujar Cecep menjelaskan.
Menyangkut
disiplin ilmu, persoalan pokoknya bukan pada spsesialisasi ilmu apa
yang kurang, tetapi lebih kepada persoalan apakah bidang ilmu tertentu
itu memperoleh perhatian juga dari pemerintah dengan memberikan support
yang lebih dibandingkan pengembangan ilmu lainnya.
Kualitas
dosen impor dengan dosen lokal/dalam negeri tidak ada yang beda, sama
saja. Tugas utama dosen itu menyangkut Tridharma Perguruan Tinggi,
yakni pendidikan/pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, Mungkin harusnya ditambah dengan pengembangan inovasi hasil
risetnya.
Berdasarkan data statistik
yang dilansir oIeh Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDIKTI)
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, pada tahun 2017
jumlah dosen bergelar S3 sejumlah 34.223 orang.Jumlah itu sekitar 14 %
dari total 250.000 dosen di seluruh Indonesia.
Berdasarkan
data itu, Perguruan Tinggi masih kekurangan doktor. Oleh karenanya
pemerintah sebaiknya lebih memfasilitasi para dosen untuk mengambil
pendidikan doktor.
“Kalau
dibandingkan kesejahteraan dosen kita dengan Malaysia saja sangat
timpang. Apalagi kalau dibandingkan dengan kesejahteraan dosen-dosen di
negara maju,”tutur Cecep.
Guru Besar
UPI ini mengemukakan, tahun ini pemerintah berencana mendatangkan 1000
dosen dari Jerman dan Finlandia. Menurutnya , terpenting bukan
banyaknya dosen asing, melainkan statusnya.
Sebaiknya
statusnya bukan dosen tetap melainkan dosen luar biasa atau dosen
tamu/visiting professor saja. Kita tidak menolak dosen impor selama
statusnya dosen tamu.
Syarat yang
harus ditempuh oleh dosen asing/impor jika bekerja di Indonesia
statusnya dosen tamu, mengikuti hukum yang berlaku di NKRI, melarang
riset yang dapat membocorkan rahasia dan keamanan negara, melakukan
pembinaan akademik dan koraborasi riset dengan dosen lokal.
Yang
harus dilakukan oleh pemangku kewenangan/pemerintah untuk
advokasi/proteksi dosen lokal/dalam negeri yakni melakukan revisi
terhadap UU guru dan dosen. Sebaiknya UU itu dipisahkan antara UU guru
dan UU dosen. (E-018) ***