Prof. Dr. Cecep Darmawan,
SPd., S.IP.,MSi., M.H., kelahiran Subang 29 September 1969 ini, adalah
seorang ilmuwan yang aktif di berbagai organisasi, di antaranya sebagai
Ketua Harian Persatuan Guru Besar (Pergubi) Jawa Barat, sekaligus
menjabat sebagai Sekretaris II Pergubi Pusat, Dewan Pakar pada Dewan
Pendidikan Kota Bandung, Wakil Ketua ICMI Jawa Barat, serta Ketua Bidang
Pendidikan dan Pengkaderan MUI Jawa Barat, dan masih banyak jabatan
lainnya.
Beliau juga aktif sebagai Penasehat Pengurus Pusat Komite Karate-Do Indonesia (Kokaido).
Suami dari Hj. Fenny Rizkyani ini menuturkan bahwa, ia menyelesaikan sarjana pada Jurusan PMPKN FPIPS IKIP Bandung pada tahun 1993. Gelar Magister Sain diperolehnya tahun 2002, dan gelar Doktor Ilmu Sosial diselesaikan pada tahun 2009 di Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Sedangkan S1 kedua, diperoleh dari Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Langlangbuana dengan Yudisium Cum Laude pada tahun 2008. Selanjutnya, Prof. Cecep memperdalam Ilmu Hukum pada jenjang S2 Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Hukum Bandung, dan lulus tahun 2017 dengan predikat IPK tertinggi, serta mendapatkan Yudisium Dengan Pujian.
Suami dari Hj. Fenny Rizkyani ini menuturkan bahwa, ia menyelesaikan sarjana pada Jurusan PMPKN FPIPS IKIP Bandung pada tahun 1993. Gelar Magister Sain diperolehnya tahun 2002, dan gelar Doktor Ilmu Sosial diselesaikan pada tahun 2009 di Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Sedangkan S1 kedua, diperoleh dari Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Langlangbuana dengan Yudisium Cum Laude pada tahun 2008. Selanjutnya, Prof. Cecep memperdalam Ilmu Hukum pada jenjang S2 Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Hukum Bandung, dan lulus tahun 2017 dengan predikat IPK tertinggi, serta mendapatkan Yudisium Dengan Pujian.
Prof.Dr. Cecep Darmawan mulai bekerja di
tahun 1994 sebagai staf pengajar pada Jurusan PMPKN FPIPS IKIP Bandung,
untuk mata kuliah Ilmu Politik. Selain itu, ia juga aktif dalam
berbagai kajian dan penelitian di Bappeda Provinsi Jawa Barat. Pada
tahun 2008, Prof. Cecep diangkat oleh Gubernur Jawa Barat sebagai tim
Komite Perencana Pembangunan Jawa Barat hingga sekarang.
Tahun
2010 – 2011, ia diberi kepercayaan untuk menjabat sebagai tenaga ahli
Gubernur Jawa Barat. Tahun 2013, Prof.Dr. Cecep Darmawan diangkat oleh
Gubernur Jawa Barat sebagai Ketua Presidium Forum Kewaspadaan Dini
Masyarakat Jawa Barat (FKDM). Tahun 2016, ia pun terpilih sebagai
anggota Tim Nasional Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) Kemendikbud.
Pada
tahun 2008 – 2012, Prof.Dr.Cecep Darmawan juga diberi amanah oleh
Rektor UPI ketika itu (Prof.Dr.Sunaryo Kartadinata) sebagai Direktur
Kemahasiswaan UPI yang pertama, dan juga pernah menjabat Sekretaris
Komisi D Senat Akademik UPI. Ia diangkat juga sebagai Sekretaris Dewan
Pakar pada Pusat Kajian Pancasila dan Wawasan Kebangsaan UPI (2009).
Sejak Desember 2016 hingga sekarang, Prof. Cecep diangkat oleh Rektor
untuk menjabat sebagai Kepala Pusat Kajian dan Pengembangan Kebijakan
Publik, Inovasi Pendidikan, dan Pendidikan Kedamaian pada LPPM UPI.
”Saya
menjadi dosen, karena keluarga besar saya, kakek dan nenek adalah
pengasuh pesantren dan pengajar. Di samping juga karena saya senang
belajar sejak masuk sekolah,” demikian cerita Prof. Cecep tentang
ketertarikannya menjadi akademisi kepada BB pekan lalu di Bandung.
Ketertarikannya
dalam bidang Ilmu Politik, selain karena sejak mahasiswa ia sudah aktif
dalam berbagai organisasi, juga dikarenakan bidang ini cukup unik,
yakni selalu membahas berbagai aspek kekuasaan negara. Sejumlah hasil
karya ilmiah / buku juga telah dihasilkannya. Beberapa buku yang telah
ditulisnya adalah, mengenai politik dan demokrasi.
Selain
itu ia juga membuat beberapa tulisan di sejumlah jurnal, baik lokal
maupun internasional, di antaranya; ”Legislative Strengthening And
Empowerment Efforts To Strengthen Local Governance And Accountability
Through Provincial Parliaments In Indonesia (American Journal of Applied
Science, 2015)”. Tulisan inilah yang paling berkesan bagi Prof. Cecep,
karena hasil karyanya ini menjadi salah satu tiket berharga baginya
untuk memperoleh jabatan Guru Besar Ilmu Politik.
Ayah
dari enam anak ini, selama menjadi akademisi berhasil meraih beberapa
prestasi dan penghargaan, di antaranya, menjadi Juara Terbaik Kedua
Tingkat Nasional dalam Lomba Penulisan Artikel Jurnalistik dalam rangka
Peringatan Konferensi Asia Afrika tahun 2005 (Panitia KAA dan PR), juga
sebagai Penerima Penghargaan Setya Karya Lencana pengabdian 10 dan 20
Tahun dari Rektor UPI dan Presiden RI. Ia juga berhasil meraih Peserta
Terbaik I pada TOT Sosialisasi Putusan MPR RI yang diselenggarakan oleh
Sekjen MPR RI dengan Pemerintah Propinsi Jawa Barat (2006), dan juga
sebagai Penerima Penghargaan Satyalancana Dwidya Sistha dari Panglima
TNI (2008).
Penganut moto hidup
“Mekar karena Memar” ini mengaku bahwa, ia banyak mendapat pengalaman
menarik selama menggeluti profesi akademisi, yakni dengan mendapat
kesempatan mengajar di berbagai lingkungan, baik di lingkup perguruan
tinggi, maupun lembaga pendidikan di lingkungan TNI seperti Sesko TNI
dan Sesko AU.
Selain itu, sejak tahun
2002 sampai sekarang, Prof. Cecep juga sering diminta menjadi pakar
narasumber dalam berbagai kajian di Dewan Ketahanan Nasional
(Wantannas). “Tahun 2004, saya hampir dipindahkan ke PT lain, gara-gara
saya dan kawan-kawan (berlima) kerap melayangkan surat protes kepada
Rektor, yang kebijakannya seringkali tidak proporsional, dan juga
mengangkat kroni-kroninya dalam berbagai jabatan di kampus, dengan
mengabaikan hasil proses pemilihan. Tapi alhamdulillah, berkat
pertolongan Allah SWT, saya dan kawan-kawan bisa tetap eksis di kampus,
dan malah mendapat dukungan dari para dosen serta mahasiswa. Bahkan,
dukungan lain juga datang dari Rektor yang baru terpilih, menggantikan
rezim rektor lama,” ungkap Prof.Dr. Cecep Darmawan.
Guru
Besar ilmu politik ini juga memaparkan bahwa, Ilmu politik sangatlah
dinamis. Amat disadari, bahwa dalam perkembangannya, kajian ilmu politik
sudah mulai bergeser, dari pandangan tradisional, klasik,
institusional, dan kelembagaan, ke arah pendekatan ilmu politik
kontemporer, yakni melalui pendekatan perilaku, pasca perilaku,
fungsionalisme, feminism, pilihan rasional, bahkan ke politik dengan
konsep baru, seperti netizen dan perkembangan demokrasi digital. Dengan
demikian, instistusi politik juga berkembang dari state ke market.
Sehingga, muncullah apa yang disebut dengan global governance dan
nonstate agency seperti Multynational Corporation. Begitu juga telah
terjadi pergeseran, dari konsep negara penjaga malam ke negara
kesejahteraan. Kemudian dari negara kesejahteraan ke negara kebahagiaan.
Indonesia
sedang menapaki transisi demokrasi menuju penguatan kelembagaan sistem
politik. Namun, demokrasi yang dijalani Indonesia ini, belum sampai pada
substansi demokrasi, yakni kesejahteraan rakyat. Demokrasi hari ini,
baru sebatas demokrasi prosedural formal semata. Meskipun kita masih
optimistis, bahwa masa transisi demokrasi sejak reformasi, masih menuju
ke arah konsolidasi demokrasi, bukan konsolidasi anarki.
Demokrasi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bukanlah suatu tujuan, tetapi
ia adalah alat untuk mencapai tujuan. Tujuan demokrasi yang paling agung
adalah, mensejahterakan rakyat dengan cara-cara yang berkeadaban mulia.
Dengan demikan, antara prosedur dan substansi demokrasi haruslah
menjadi satu kesatuan, atau rangkaian yang tidak boleh putus, dalam
suatu proses panjang sistem politik yang deliberatif dan partisipatif.
Bahkan, sistem yang dibangun dalam demokrasi, sejatinya menempatkan
kedaulatan rakyat sebagai inti dari energi demokrasi. Meski begitu,
demokrasi sebagai sistem politik membutuhkan proses penghantaran
(delivery process) melalui aktor-aktor demokrasi, agar nilai demokrasi
tidak dieliminasi, bahkan dirampas oleh kaum despotik yang bertopeng
humanis. Padahal nyatanya, mereka ini adalah kaum pemburu rente politik
alias golongan shadow government atau shadow state, yang mengendalikan
negara atau pemerintah melalui romete-remote politik.
Demokrasi seperti itu hanyalah ”demokrasi salon”, yang tampak bagus dalam bentuk penampilan atau format prosedural semata, namun hakikatnya, jauh dari nilai-nilai dan substansi demokrasi. Pada posisi ini, demokrasi sudah terjebak oligarki.Faktor yang menyebabkan Indonesia mengalami kondisi seperti saat ini adalah, karena ada dua faktor utama, yakni sistem politik yang labil, dan kedua, elite politik yang kerap tergoda oleh kekuasaan, jabatan dan kepentingan sesaat, sehingga melunturkan idealismenya. Akibatnya, bangsa ini miskin dari negarawan dan politisi, bahkan, justru bermunculanlah para pekerja politik yang mencari hidup dengan pragmatism politik di lembaga-lembaga politik.
Untuk membenahi kondisi
Indonesia saat ini, butuh perubahan sistem politik, yang diawali dengan
amandemen ke 5 Undang Undang Dasar 1945 Republik Indonesia. Lalu,
pilkada dikembalikan ke pemilihan melalui lembaga perwakilan rakyat
sesuai sila keempat Pancasila. Pemilu dan pilkada dibiayai oleh negara,
sehingga mengeliminasi money politic, dan memungkinkan bagi setiap orang
yang memiliki potensi unggul, untuk dapat mencalonkan dirinya sebagai
kepala daerah, tanpa harus dengan modal uang. (E-018)***
Sumber: www.bisnisbandung.com