Oleh: Cecep Darmawan
Guru
Besar Ilmu Politik dan Kepala Pusat Kebijakan Publik LPPM Universitas
Pendidikan Indonesia
(Dimuat pada Pikiran Rakyat, 5 April 2017)
Kekisruhan
politik kembali terjadi di lembaga wakil rakyat kita. Kali ini menimpa Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) RI yang sedianya menggelar rapat paripurna Senin
(3/4/2017), namun mengalami kebuntuan. Hal ini dipicu oleh kericuhan dalam
sidang DPD dalam melakukan kocok ulang Pimpinan DPD. Kejadian ini menambah
rentetan teater politik yang sungguh memilikan dan memalukan. Sebuah tontonan
yang jauh dari keteladanan, yang semestinya tidak dipertontonkan oleh para
senator yang menyandang predikat para wakil rakyat.dengan segala kehormatan
yang melekat pada dirinya. Kekisruhan sidang DPD ini merupakan preseden buruk
bagi citra demokrasi di DPD sekaligus tamparan keras pada muka DPD sendiri.
Marwah lembaga wakil rakyat daerah ini sedang diuji dan hampir kehilangan
wibawa di tengah krisis keteladanan di negeri ini.
Polemik tejadi atas keluarnya
Putusan MA Nomor 20 P HUM/2017 yang membatalakan Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun
2016 tentang Tata Tertib, yang salah satu materinya adalah pemotongan
masa jabatan Pimpinan DPD dari lima tahun menjadi 2,5. Artinya amar putusan MA
mengembalikan masa jabatan pimpinan DPD seperti semula yakni 5 tahun.
Namun sayangnya, MA kurang hati-hati, sehingga terjadi kesalahan dalam Amar
putusan nomor 3 yang semestinya tertulis Dewan Perwakilan Daerah malah tertulis
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Ketua Badan Kehormatan (BK) DPD AM. Fatwa
berpandangan bahwa putusan MA tidak menghalangi pergantian ketua DPD yang
saat ini dijabat Mohammad Saleh, atas keputusan Rapat Musyawarah Pemilihan
Pimpinan DPD pada 11 Oktober 2016 lalu. M. Saleh sendiri dipilih sebagai
sebagai pengganti Irman Gusman. Namun, menurut AM Fatwa, GKR Hemas dan Farouk
Muhammad selaku wakil ketua DPD, tidak berubah.. Meski begitu, apapun
putusan MA, sejatinya para senator menghormati dan menaati putusan tersebut.
Apalagi kita menganut prinsip negara hukum (rechtsstaat) maka para
senator semestinya justru memberikan contoh dan teladan yang baik bagi
para rakyatnya dalam menaati hukum.
Politik di DPD
Kekisruhan di DPD secara politik ditengarai tejadi karena minimnya figur yang disegani dan berpengarauh di lembaga wakil rakyat yang merepresentasi kepentingan daerah ini. Disamping itu, tarik menarik kepentingan melalui faksi-faksi di DPD semakin menguat seiring banyaknya anggota DPD yang masuk ke wilayah partai politik. Disadari atau tidak, masuknya anggota DPD ke parpol memicu konflik kepentingan ketika suara partai berseberangan dengan suara rakyat daerah yang diwakilinya. Ketika terjadi konflik kepentingan seperti ini, kearah mana suara senator akan berpihak? Memang tidak ada larangan secara yuridis atas masuknya senator menjadi anggota parpol, namun sejatinya senator sebagai wakil rakyat yang berbasis kedaerahan dapat menahan diri dulu untuk tidak memasuki wilayah parpol. Atau setidak-tidaknya jika senator itu sudah menjadi anggota parpol, sebaiknya status keanggotaaan partainya nonaktif dahulu agar senator lebih fokus memperjuangkan aspirasi rakyat daerahnya dan tidak terbebani oleh muatan-muatan kepentingan parpol yang bisa menimbulkan konflik dan kontra prduktif bagi DPD.
Persoalan lain dari perebutan
kekuasan pada tingkat pimpinan DPD, karena hasrat politik yang begitu besar
dari mereka yang ingin lebih memiliki pamor politik. Dengan menjadi pimpinan
DPD, meski kewenangan DPD amat minim dalam hal legislasi, namun dengan posisi
sebagai pimpinan DPD mobiitas politik dalam kancah politik antarlembaga negara
lebih dinamis dan memiliki akses yang lebih besar untuk melakukan lobi-lobi
politik.
Atas kondisi dan peluang politik
seperti itu, maka tidak mustahil para anggoata DPD tergiur untuk berebut
mencapai posisi puncak di DPD. Padahal sejatinya sebagai senator secepatnya
sadar untuk menjaga marwah DPD. Kolektif dan kelogial sebagai ruh politik DPD
harus tetap ditunjung itnggi dan digelorakan sebagai prinsip senator dalam
pengambilan keputusan di DPD. Pimpinan di DPD sekedar speaker atau juru bicara
kelembagaan DPD. Pimpinan DPD bukan seperti pimpinan parpol yang bisa melakukan
perintah atas komando yang dipegangnya. Pimpinan DPD hanyalah palanjut aspirasi
anggotanya dan tidak memliki kekuasaan untuk mengklaim atas nama lemaga DPD,
melainkan harus melalui mekanisme kelembagaan DPD seperti diatur dalam Tatib
DPD itu sendiri. Kembalilah kepada khittah bahwa DPD lahir sebagai
pelanjut cita-cita reformasi agar kepentingan daerah dapat diartikulasi dan
diagregasi oleh para senator untuk kepentingan rakyat di daerah-daerah seantoro
NKRI.
***