05 April 2017

Korupsi e-KTP

Oleh: Cecep Darmawan
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pendidikan Indonesia
(Dimuat di Pikiran Rakyat, 15 Maret 2017)

Kasus korupsi kembali mencuat. Tak tangung-tanggung kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun terkait pengadaan proyek  KTP elektronik. Meski sedang gonjang ganjing pilkada serentak putaran kedua di DKI Jakarta, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak memedulikan imbas politiknya kepada pihak-pihak yang diduga telibat maupun  stigmatisasi negatif  kepada  partainya. Kita meyakini bahwa KPK akan berjalan lurus sesuai prosedur hukum secara profesional.

Atas kasus megakorupsi ini, Presiden Jokowi amat menyesalkan, yang semestinya tidak terjadi di tengah bangsa ini sedang melakukan pembenahan.  Menurut Presiden   jika e-KTP dikelola secara baik dan benar, kita bisa menyelesaikan banyak sekali persoalan bangsa kita, semisal urusan paspor tanpa fotokopi KTP, SIM, perbankan, perpajakan, dan urusan pilkada. Namun sayangnya,  negeri ini seakan  menghadapi darurat korupsi. Korupsi di negara ini sudah begitu masif bukan hanya dilakukan para oknum dalam lingkup ranah eksekutif. Korupsi menggelinding ke mana-mana tanpa henti. Menyebar dan merembet sampai ketiga cabang trias politika, yakni di ranah  eksekutif, legiastalitf dan yudikatif.

Kasus korupsi e-KTP termasuk korupsi terbesar yang dibongkar KPK dalam tahun ini. Korupsi kelas kakap ini tempus pada angka triliunan rupiah dari nilai proyek sekitar 5.9 triliuan.  Kasus korupsi ini merupakan tamparan keras kepada pemerintah dan DPR yang sejatinya mengamankan uang rakyat agar tidak digerogoti oleh oknum-oknum politisi dan pejabat. Setidaknya, terdapat sejumlah nama besar yang disebutkan dalam dakwaan kasus e-KTP yang beredar luas melalui media sosial.  Disinyalir puluhan anggota Komisi II DPR periode 2009-2014 diduga menerima sejumlah uang fee dari proyek e- KTP ini. Meskipun begitu, terlepas benar atau tidaknya informasi tersebut, sebagai negara hukum kita tetap harus menegakkan prinsip hukum praduga tak bersalah. Biarkan proses hukum berjalan sesuai prosedurnya tanpa intervensi politik dari siapa pun. Supaya tidak ada kecurigaan publik, lebih baik kasus ini dibuka ke publik secara terang benderang, sebagai pembelajaran agar tidak ada ruang-ruang kosong bagi para koruptor di negeri ini. Sementara di pihak eksekutif, mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipiltelah dijadikan terdakwa.

Korupsi Politik
Survei yang dilakukan The Political and Economic Risk Consultacy Ltd (2014)  Indonesia menduduki peringkat terburuk dalam hal birokrasi berinvestasi.  Hasil survei menunjukkan, prosedur yang panjang menyebabkan adanya dana atau biaya yang besar. Dalam pandangan Prof, Dr. Sumitro alm., bahwa angka kebocoran pembangunan waktu itu sampai 30 persen. Bahkan Prof,  Krisna Harahap, (2009) melansir data PERC, 2008, Indonesia menjadi negara terkorup di Asia (skor 8.32).  Data ini menegaskan Indonesia belum bebas korupsi bahkan cenderung makin massif.

Mengapa korupsi sulit diberantas? Beberapa perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi misalnya UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta terakhir dengan diratifikasinya United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) dengan UU No. 7 Tahun 2006, seolah belum mampu mencegah para oknum pejabat public untuk tidak korupsi. 

Jangan-jangan seperti kata Kpundeh (1997) bahwa korupsi ketika terjadi ketidakseimbangan kekuasaan antara negara dan masyarakat (imbalance in power occur betwenn state and society, corruption is more likely to flourish. Dengan kata lain kondisi masyarakat yang lemah menjadi korban pemangsaan oleh oknum elite politik yang korup. Doig dan Riley (1997) mengemukakan bahwa sebuah sumber kunci dari korupsi di banyak lembaga publik negara-negara berkembang bisa jadi karena suatu kepemimpinan politik yang mementingkan diri sendiri. Korupsi dengan demikian kerap terjadi jika otoritas yang sangat besar dari para pejabat publik, sementara akuntabilitasnya  terbatas. Korupsi menjadi sistematik atau sistemik bisa jadi karena konsekuensi dari sistem politik yang koruptif dan lemahnya kontrol pemerintah kepada oknum politisi karena mereka pendukung rezim pemerintahan yang berkuasa. Pada akhirnya korupsi bisa jadi permanen karena lemahnya kontrol publik disamping liciknya para oknum politisi membuat anggaran yang diglembungkan (mark up).  Disinilah terlihat betapa buruknya moral kepemimpinan politik.

Doig dan Riley (1997) merinci kronologis koruipsi yang kerap permanen dalam deskripsi berikut. Pertama, terdapat sumber atau pangkal dari korupsi dan perkembangannya menjadi sistematik atau sistemik. Sumber keduanya adalah organisasi, atau institusi atau manajemen publik (means) yang buruk. Sumbernya yang ketiga adalah gaji/tunjangan yang rendah, dan yang keempat adalah keadaan sosial, ekonomi, dan politik yang berpola hubungan patron-client antara elit politik dan kelompok pendukungnya. Pola  patron-client  politik ini ditengarai turut mempersubur korupsi karena pola hubungan sosial yang demikian dilanggengkan oleh pasokan uang dari patron (elit politik) kepada client (konco-konconya). Dan sudah bukan rahasia lagi, para kader partai di parlemen kerap dimintai sejumlah dana untuk  kepentingan partai dalam berbagai kepentingan. Ketika pilkada serentak, seorang anggota DPR RI mengakui kepada penulis, ia harus setor kepada partainya sampai lebih dari seratus juta rupiah.


Selayaknya korupsi kolektif oknum anggota Dewan Perwakilan Rakyat segera dihentikan. Upaya pemerintah melakukan pemberantasan korupsi relatif selayaknya didukung oleh semua elemen bangsa melalui gerakan antikorupsi. Tegakan hukum secara adil dn tegas apalagi jika yang melakukannya oknum pejabat publik/politik yang sudah banyak menikmati fasilitas dari uang rakyat. Di Equador, Tanzania dan beberapa negara lainnya  perkembangbiakan korupsi telah mengancam demokrasi dan HAM.  Jangan sampai korupsi di negara kita pun akan mengancam kehidupan demokrasi politik kita. Oleh sebab itu, semoga kasus korupsi e-KTP ini merupakan kasus terakhir korupsi di negeri ini.


***

Copyright © Cecep Darmawan | Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia