Oleh:
Cecep Darmawan
Guru
Besar Ilmu Politik Universitas Pendidikan Indonesia
(Dimuat
di Pikiran Rakyat, 15 Maret 2017)
Atas kasus
megakorupsi ini, Presiden Jokowi amat menyesalkan, yang semestinya tidak
terjadi di tengah bangsa ini sedang melakukan pembenahan. Menurut
Presiden jika e-KTP dikelola secara baik dan benar, kita bisa
menyelesaikan banyak sekali persoalan bangsa kita, semisal urusan paspor tanpa
fotokopi KTP, SIM, perbankan, perpajakan, dan urusan pilkada. Namun sayangnya,
negeri ini seakan menghadapi darurat korupsi. Korupsi di
negara ini sudah begitu masif bukan hanya dilakukan para oknum dalam lingkup
ranah eksekutif. Korupsi menggelinding
ke mana-mana tanpa henti. Menyebar dan merembet sampai ketiga cabang trias
politika, yakni di ranah eksekutif, legiastalitf dan yudikatif.
Kasus korupsi e-KTP
termasuk korupsi terbesar yang dibongkar KPK dalam tahun ini. Korupsi kelas
kakap ini tempus pada angka triliunan rupiah dari nilai proyek sekitar 5.9
triliuan. Kasus korupsi ini merupakan tamparan keras kepada pemerintah
dan DPR yang sejatinya mengamankan uang rakyat agar tidak digerogoti oleh
oknum-oknum politisi dan pejabat. Setidaknya, terdapat sejumlah nama besar yang
disebutkan dalam dakwaan kasus e-KTP yang beredar luas melalui media sosial.
Disinyalir puluhan anggota Komisi II DPR periode 2009-2014 diduga
menerima sejumlah uang fee dari proyek e- KTP ini. Meskipun begitu,
terlepas benar atau tidaknya informasi tersebut, sebagai negara hukum kita
tetap harus menegakkan prinsip hukum praduga tak bersalah. Biarkan proses hukum
berjalan sesuai prosedurnya tanpa intervensi politik dari siapa pun. Supaya
tidak ada kecurigaan publik, lebih baik kasus ini dibuka ke publik secara
terang benderang, sebagai pembelajaran agar tidak ada ruang-ruang kosong bagi
para koruptor di negeri ini. Sementara di pihak eksekutif, mantan Direktur
Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan
dan Pencatatan Sipil Kemendagri dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan
Pencatatan Sipiltelah dijadikan terdakwa.
Korupsi Politik
Survei yang dilakukan The Political and Economic
Risk Consultacy Ltd (2014) Indonesia menduduki peringkat terburuk
dalam hal birokrasi berinvestasi. Hasil survei menunjukkan, prosedur yang
panjang menyebabkan adanya dana atau biaya yang besar. Dalam pandangan Prof,
Dr. Sumitro alm., bahwa angka kebocoran pembangunan waktu itu sampai 30 persen.
Bahkan Prof, Krisna Harahap, (2009) melansir data PERC, 2008, Indonesia
menjadi negara terkorup di Asia (skor 8.32). Data ini menegaskan Indonesia belum bebas korupsi
bahkan cenderung makin massif.
Mengapa korupsi sulit
diberantas? Beberapa perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana
korupsi misalnya UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang
Bersih dan Bebas Dari KKN, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta terakhir dengan
diratifikasinya United Nations Convention Against Corruption,
2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) dengan
UU No. 7 Tahun 2006, seolah belum mampu mencegah para oknum pejabat public
untuk tidak korupsi.
Jangan-jangan seperti
kata Kpundeh (1997) bahwa korupsi ketika terjadi ketidakseimbangan kekuasaan
antara negara dan masyarakat (imbalance in power occur betwenn state and
society, corruption is more likely to flourish. Dengan kata lain kondisi
masyarakat yang lemah menjadi korban pemangsaan oleh oknum elite politik
yang korup. Doig dan Riley (1997) mengemukakan bahwa sebuah sumber kunci dari
korupsi di banyak lembaga publik negara-negara berkembang bisa jadi karena
suatu kepemimpinan politik yang mementingkan diri sendiri. Korupsi dengan
demikian kerap terjadi jika otoritas yang sangat besar dari para pejabat
publik, sementara akuntabilitasnya terbatas. Korupsi menjadi sistematik
atau sistemik bisa jadi karena konsekuensi dari sistem politik yang koruptif
dan lemahnya kontrol pemerintah kepada oknum politisi karena mereka pendukung
rezim pemerintahan yang berkuasa. Pada akhirnya korupsi bisa jadi permanen
karena lemahnya kontrol publik disamping liciknya para oknum politisi membuat
anggaran yang diglembungkan (mark up). Disinilah terlihat betapa
buruknya moral kepemimpinan politik.
Doig dan Riley (1997)
merinci kronologis koruipsi yang kerap permanen dalam deskripsi berikut. Pertama,
terdapat sumber atau pangkal dari korupsi dan perkembangannya
menjadi sistematik atau sistemik. Sumber keduanya adalah organisasi,
atau institusi atau manajemen publik (means) yang buruk. Sumbernya yang
ketiga adalah gaji/tunjangan yang rendah, dan yang keempat adalah keadaan
sosial, ekonomi, dan politik yang berpola hubungan patron-client antara
elit politik dan kelompok pendukungnya. Pola patron-client politik
ini ditengarai turut mempersubur korupsi karena pola hubungan sosial yang
demikian dilanggengkan oleh pasokan uang dari patron (elit politik)
kepada client (konco-konconya). Dan sudah bukan rahasia lagi, para kader
partai di parlemen kerap dimintai sejumlah dana untuk kepentingan partai
dalam berbagai kepentingan. Ketika pilkada serentak, seorang anggota DPR RI
mengakui kepada penulis, ia harus setor kepada partainya sampai lebih dari
seratus juta rupiah.
Selayaknya korupsi kolektif oknum anggota Dewan Perwakilan Rakyat segera dihentikan. Upaya pemerintah melakukan pemberantasan korupsi relatif selayaknya didukung oleh semua elemen bangsa melalui gerakan antikorupsi. Tegakan hukum secara adil dn tegas apalagi jika yang melakukannya oknum pejabat publik/politik yang sudah banyak menikmati fasilitas dari uang rakyat. Di Equador, Tanzania dan beberapa negara lainnya perkembangbiakan korupsi telah mengancam demokrasi dan HAM. Jangan sampai korupsi di negara kita pun akan mengancam kehidupan demokrasi politik kita. Oleh sebab itu, semoga kasus korupsi e-KTP ini merupakan kasus terakhir korupsi di negeri ini.
***