Rabu, 8 Desember 2010, Departemen Sosial Politik PP. Hima Persis bekerja sama dengan Departemen Kajian Ilmiah PP. Himi Persis mengadakan diskusi panel dengan tema “Pemberantasan Korupsi: Strategi dan Solusi Cerdas Pemberantasan Korupsi di Indonesia” di Aula PP. persis, Jl. Perintis kemerdekaan 2-4, Viaduct, Bandung.
Acara tersebut diselenggarakan dalam rangka momentum hari anti korupsi sedunia. Hadir dalam acara tersebut Riyan Utama (Dikyanmas KPK), Aay Mohamad Furkon MSi (Peneliti Reform Institute) dan Cecep Darmawan (Penulis Korupsi dan Pendidikan anti Korupsi). Tema pembahasan diskusi tersebut cukup menarik. PP. Hima-Himi Persis menganggap pemberantasan korupsi di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Bahkan, ada indikasi ketidakseriusan pemerintah dalam menanganinya.
Dari survei Tranfrancy International 2010, nilai IPK (Indek Persepsi Korupsi) Indonesia adalah 2.8, sama dengan tahun sebelumnya (2009). IPK tersebut menempatkan Indonesia di urutan 110 dari 178 negara yang disurvei. Pada tahun 2009, dengan IPK yang sama (2.8), posisi Indonesia menempati urutan 111 dari 178 negara. Ini artinya, pemberantasan korupsi di Indonesia berjalan stagnan, tidak ada kemajuan secara signifikan. Ironisnya, dalam hal korupsi, Indonesia menempati posisi yang jauh lebih buruk dari negara-negara yang situasi negaranya masih belum atau tidak stabil seperti Sri Lanka (91) yang berusaha membangun negeri setelah mengalahkan pemberontakan selama 30 tahun, Thailand (78) yang bergejolak dengan unjuk rasa, Meksiko (98) yang susah payah memerangi narkoba, hingga Cina (78) yang sempat menyandang gelar terkorup.
Hal tersebut terjadi dikarenakan strategi pemberantasan korupsi di Indonesia masih belum efektif dan efisien. Karenanya, diperlukan kajian-kajian ilmiah untuk menemukan format strategi yang tepat, sehingga tingkat pidana korupsi di Indonesia bisa ditekan dan diminimalisir secara optimal.
Hal itulah yang menjadi landasan HIMA-HIMI Persis mengangkat tema diskusi seperti di atas. Dalam pemaparannya, Riyan menjelaskan bagaimana program dan fungsi KPK dalam pemberantasan korupsi. Diakui Riyan, memang secara yuridis-formal, pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab KPK. Namun demikian, bukan berarti masyarakat terbebas dari komitmen pemberantasan korupsi. Semua pihak, pemerintah, masyarakat dan segenap element bangsa lainnya sama-sama punya tanggung jawab itu.
Hal tersebut sangat penting disadari oleh semua pihak agar pemberantasan korupsi di negeri ini bisa terwujud secara optimal. KPK, tambah Riyan, senantiasa melakukan berbagai upaya untuk mencegah terjadinya korupsi. Sementara Aay Mohamad Furkon lebih menganalisa hubungan system politik dan mewabahnya korupsi di Indonesia. Menurutnya, system politik di Indonesia disadari atau tidak telah membuka celah besar bagi menjamurnya praktek korupsi. Bagi masyarakat yang sudah lama terjangkiti budaya korupsi, sistem demokrasi liberal seperti bensin menyiram api. Di jaman Orde Lama kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat Negara nyaris tak ada yang terungkap di ruang publik. Selanjutnya di jaman Orde Baru korupsi semakin menjangkiti para pejabat Negara.
Di masa Orde Baru kasus korupsi para pejabat Negara nyaris tidak ada yang dibawa ke meja hijau. Saat itu, system otoritarian sangat dominan, sehingga siapapun yang melakukan korupsi dan dekat dengan keluarga cendana dijamin 'aman'. Perubahan yang drastis dari sistem otoritarian ke sistem demokrasi mengejutkan hampir semua lapisan masyarakat. Dalam sistem demokrasi yang sangat liberal, lebih liberal dari Amerika sekalipun, korupsi menjadi semakin tumbuh subur. Kini, aksi korupsi tidak hanya dilakukan para pejabat baik eksekutif maupun legislative, namun juga dilakukan oleh masyarakat awam. Masyarakat yang pada awalnya tak mengenal uang sebagai alat untuk meraih kekuasaan, kini masyarakat sangat paham bagaimana uang memainkan perannya untuk meraih kekuasaan. Karenanya, menurut Aay, perlu adanya perubahan system politik di negara kita.
Dengan demikian, diharapkan tindak pidana korupsi bisa diminimalisir. Sedangkan Cecep Darmawan mengemukakan pemberantasan korupsi dari perspektif pendidikan. Menurutnya, banyak pihak yang beranggapan bahwa pemberantasan korupsi bisa diatasi dengan pendidikan. Hal tersebut didasarkan pada asumsi bahwa pendidikan bisa menjadi pembentuk karakter seseorang. Akan tetapi, anggapan tersebut tidak selamanya benar. Justru saat ini yang terjadi sebaliknya. Orang yang melakukan korupsi faktanya banyak berasal dari kalangan terdidik. Bahkan, di bidang pendidikan tindak pidana korupsi banyak terjadi. Hal itu terjadi akibat sistem pendidikan di Indonesia yang tidak memperhatikan tujuan pendidikan secara komprehensif. UN misalnya, hanya memfokuskan tujuan pendidikan pada ranah kognitif. Sementara yang lainnya, afektif dan psikomotorik cenderung diabaikan. Ironisnya, dengan adanya UN bukan malah menambah kepintaran siswa, namun semakin menambah peluang tindak pidana korupsi di dalamnya.
Oleh karenanya, menurut Cecep, diperlukan pendidikan yang komprehensif. Pendidikan yang menanamkan dan megedepankan nilai-nilai kejujuran. Karena hanya dengan kejujuran, seseorang akan menghindari korupsi. Diskusi tersebut memang belum menghasilkan format strategi yang pas untuk pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebab, strategi dan solusi cerdas tidak lahir dari satu kali kajian, namun dari banyaknya kajian ilmiah yang intensif. Namun demikian, dengan diskusi tersebut, setidaknya bisa menjadi titik awal pencarian strategi yang tepat dalam rangka pemberantasan korupsi di Indonesia. Dengan diskusi tersebut, PP. HIMA-HIMI Persis setidaknya ikut serta sesuai kapasitasnya sebagai mahasiswa berkontribusi dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Wallahu A'lam… (Nizar A. Saputra, Kadep Sospol PP. Hima Persis) (admin)
Sumber : Hima Persis
Acara tersebut diselenggarakan dalam rangka momentum hari anti korupsi sedunia. Hadir dalam acara tersebut Riyan Utama (Dikyanmas KPK), Aay Mohamad Furkon MSi (Peneliti Reform Institute) dan Cecep Darmawan (Penulis Korupsi dan Pendidikan anti Korupsi). Tema pembahasan diskusi tersebut cukup menarik. PP. Hima-Himi Persis menganggap pemberantasan korupsi di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Bahkan, ada indikasi ketidakseriusan pemerintah dalam menanganinya.
Dari survei Tranfrancy International 2010, nilai IPK (Indek Persepsi Korupsi) Indonesia adalah 2.8, sama dengan tahun sebelumnya (2009). IPK tersebut menempatkan Indonesia di urutan 110 dari 178 negara yang disurvei. Pada tahun 2009, dengan IPK yang sama (2.8), posisi Indonesia menempati urutan 111 dari 178 negara. Ini artinya, pemberantasan korupsi di Indonesia berjalan stagnan, tidak ada kemajuan secara signifikan. Ironisnya, dalam hal korupsi, Indonesia menempati posisi yang jauh lebih buruk dari negara-negara yang situasi negaranya masih belum atau tidak stabil seperti Sri Lanka (91) yang berusaha membangun negeri setelah mengalahkan pemberontakan selama 30 tahun, Thailand (78) yang bergejolak dengan unjuk rasa, Meksiko (98) yang susah payah memerangi narkoba, hingga Cina (78) yang sempat menyandang gelar terkorup.
Hal tersebut terjadi dikarenakan strategi pemberantasan korupsi di Indonesia masih belum efektif dan efisien. Karenanya, diperlukan kajian-kajian ilmiah untuk menemukan format strategi yang tepat, sehingga tingkat pidana korupsi di Indonesia bisa ditekan dan diminimalisir secara optimal.
Hal itulah yang menjadi landasan HIMA-HIMI Persis mengangkat tema diskusi seperti di atas. Dalam pemaparannya, Riyan menjelaskan bagaimana program dan fungsi KPK dalam pemberantasan korupsi. Diakui Riyan, memang secara yuridis-formal, pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab KPK. Namun demikian, bukan berarti masyarakat terbebas dari komitmen pemberantasan korupsi. Semua pihak, pemerintah, masyarakat dan segenap element bangsa lainnya sama-sama punya tanggung jawab itu.
Hal tersebut sangat penting disadari oleh semua pihak agar pemberantasan korupsi di negeri ini bisa terwujud secara optimal. KPK, tambah Riyan, senantiasa melakukan berbagai upaya untuk mencegah terjadinya korupsi. Sementara Aay Mohamad Furkon lebih menganalisa hubungan system politik dan mewabahnya korupsi di Indonesia. Menurutnya, system politik di Indonesia disadari atau tidak telah membuka celah besar bagi menjamurnya praktek korupsi. Bagi masyarakat yang sudah lama terjangkiti budaya korupsi, sistem demokrasi liberal seperti bensin menyiram api. Di jaman Orde Lama kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat Negara nyaris tak ada yang terungkap di ruang publik. Selanjutnya di jaman Orde Baru korupsi semakin menjangkiti para pejabat Negara.
Di masa Orde Baru kasus korupsi para pejabat Negara nyaris tidak ada yang dibawa ke meja hijau. Saat itu, system otoritarian sangat dominan, sehingga siapapun yang melakukan korupsi dan dekat dengan keluarga cendana dijamin 'aman'. Perubahan yang drastis dari sistem otoritarian ke sistem demokrasi mengejutkan hampir semua lapisan masyarakat. Dalam sistem demokrasi yang sangat liberal, lebih liberal dari Amerika sekalipun, korupsi menjadi semakin tumbuh subur. Kini, aksi korupsi tidak hanya dilakukan para pejabat baik eksekutif maupun legislative, namun juga dilakukan oleh masyarakat awam. Masyarakat yang pada awalnya tak mengenal uang sebagai alat untuk meraih kekuasaan, kini masyarakat sangat paham bagaimana uang memainkan perannya untuk meraih kekuasaan. Karenanya, menurut Aay, perlu adanya perubahan system politik di negara kita.
Dengan demikian, diharapkan tindak pidana korupsi bisa diminimalisir. Sedangkan Cecep Darmawan mengemukakan pemberantasan korupsi dari perspektif pendidikan. Menurutnya, banyak pihak yang beranggapan bahwa pemberantasan korupsi bisa diatasi dengan pendidikan. Hal tersebut didasarkan pada asumsi bahwa pendidikan bisa menjadi pembentuk karakter seseorang. Akan tetapi, anggapan tersebut tidak selamanya benar. Justru saat ini yang terjadi sebaliknya. Orang yang melakukan korupsi faktanya banyak berasal dari kalangan terdidik. Bahkan, di bidang pendidikan tindak pidana korupsi banyak terjadi. Hal itu terjadi akibat sistem pendidikan di Indonesia yang tidak memperhatikan tujuan pendidikan secara komprehensif. UN misalnya, hanya memfokuskan tujuan pendidikan pada ranah kognitif. Sementara yang lainnya, afektif dan psikomotorik cenderung diabaikan. Ironisnya, dengan adanya UN bukan malah menambah kepintaran siswa, namun semakin menambah peluang tindak pidana korupsi di dalamnya.
Oleh karenanya, menurut Cecep, diperlukan pendidikan yang komprehensif. Pendidikan yang menanamkan dan megedepankan nilai-nilai kejujuran. Karena hanya dengan kejujuran, seseorang akan menghindari korupsi. Diskusi tersebut memang belum menghasilkan format strategi yang pas untuk pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebab, strategi dan solusi cerdas tidak lahir dari satu kali kajian, namun dari banyaknya kajian ilmiah yang intensif. Namun demikian, dengan diskusi tersebut, setidaknya bisa menjadi titik awal pencarian strategi yang tepat dalam rangka pemberantasan korupsi di Indonesia. Dengan diskusi tersebut, PP. HIMA-HIMI Persis setidaknya ikut serta sesuai kapasitasnya sebagai mahasiswa berkontribusi dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Wallahu A'lam… (Nizar A. Saputra, Kadep Sospol PP. Hima Persis) (admin)
Sumber : Hima Persis