28 Desember 2010

Menyoal Rekrutmen CPNS

Dalam waktu dekat merencanakan untuk melakukan rekrutmen calon pegawai negeri sipil (CPNS). Sudah barang tentu, bagi sebagian masyarakat Indonesia, informasi seperti itu merupakan sebuah berita yang menggembirakan. Walaupun mungkin, dibalik itu semua masih ada sejumlah pertanyaan yang menggelayut dalam benak masyarakat.

Berita akan dibukanya kembali pendaftaran CPNS ini, menjadi berita gembira bagi sebagian masyarakat Indonesia, karena selain terkait dengan sempitnya lapangan kerja yang dapat diakses oleh masyarakat Indonesia, juga adanya kebijakan khusus bagi para tenaga honorer untuk menjadi peserta ujian seleksi CPNS. Kedua hal tersebut, bak ‘oase di gurun pasir’, yang dapat membuka harapan baru bagi masyarakat Indonesia yang sedang diterpa krisis ekonomi berkepanjangan.

Dari sudut manajemen publik, rekrutmen pegawai merupakan salah satu kerja manajerial dalam menjalankan roda organisasi. Dalam konteks ini, yaitu mengefektifkan jalannya roda pemerintahan. Sebagai salah satu unsur atau tahapan kerja manajerial, maka rekruitmen pegawai akan berdampak pada kinerja organisasi di masa yang akan datang. Andaikan pemerintah (instansi pemerintah) tidak memberlakukan model rekrutmen pegawai yang selektif, objektif dan transparan maka upaya pembaharuan dan reformasi birokrasi di negara ini mustahil akan berjalan dengan baik.

Pada saat ini, sebagian besar masyarakat Indonesia tengah mengalami krisis BBM (Bahan Bakar Minyak). Sementara pada bulan-bulan yang akan datang, masyarakat kita terancam pula dengan kenaikan harga BBM. Secara empirik, daya beli masyarakat saat ini makin rendah. Oleh karena itu, andaikan saja, pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM, maka bukan saja negara yang bangkrut, tetapi juga masyarakat kecil Indonesia yang ’bangkrut’.
Sekedar cermin

Hal yang paling menyeramkan di balik kejadian seperti itu, adalah adanya tindak pidana yang sangat mencolok mata, dan sangat tidak bertanggung jawab, yaitu oknum pejabat Pertamina yang melakukan penyelundupan BBM ke luar negeri, atau ke pihak swasta dengan harga yang murah, dan tidak masuk ke kas Negara. Tindakan penyelewengan ini, dilakukan tidak hanya oleh satu orang, dan bukan sekali. Mereka ini, bukan orang kecil, dan bukan pengangguran. Mereka adalah pegawai negara, yang dipercaya oleh negara untuk mengelola aset negara, namun ternyata memanfaatkan kekayaan negara untuk kepentingan pribadi, dan memperkaya diri.

Berdasarkan cermatan tersebut, dapat dikemukakan beberapa aspek psikososial kepegawaian yang penting untuk diperhatikan.

Pertama, mau tidak mau, ketahanan mental individu pegawai menjadi sangat penting untuk diperhatikan dengan sebaik-baiknya. Merujuk pada berbagai kasus belakangan ini, dapat dikemukakan bahwa sebagian pegawai negeri, sangat rentan terhadap tindak penyelewengan kekuasaan (abuse of power) untuk kepentingan pribadi dan golongannya, baik di lingkaran eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

Tindak pidana korupsi di lingkaran eksekutif, sudah banyak contoh yang mengemuka. Sedangkan tindak pidana korupsi di legislatif, salah satu contohnya yaitu dilakukan dengan ‘percaloan’ projek. Keberpihakan kalangan yudikatif terhadap orang yang berperkara, juga kerap dibumbui dengan aroma suap atau mafia peradilan. Totalitas dari analisis seperti itu, yaitu aparatur negara kita saat ini, rentan terhadap tindak pidana korupsi. Dengan kata lain, ketahanan mental untuk terhindar dari tindak pidan korupsi masih sangat lemah.
Kedua, rendahnya sense of crises. Kasus penyelundupan BBM, atau tindak pidana korupsi merupakan bentuk upaya penyelematan diri dan mencari keuntungan pribadi diatas penderitaan orang lain. Tindakan ini, secara psikologis menunjukkan lemahnya sense of crises pelaku terhadap realitas sosial yang tengah terjadi. Fenomena ini, secara tidak langsung, menunjukkan sikap lemahnya kesadaran dan kepekaan diri terhadap apa yang sedang dialami oleh orang lain. Dengan kata lain, secara sosial pelaku penyelundup BBM tidak memiliki kesetiakawanan sosial terhadap bencana atau musibah yang diderita oleh masyarakat banyak di Indonesia.

Aparatur pemerintah yang tidak memiliki sense of crises atau kesetiakawanan sosial, merupakan indikasi yang buruk untuk membangun pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Kelambanan bangsa Indonesia untuk melakukan reformasi nasional di berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, bisa jadi disebabkan karena lemahnya kepekaan aparatur terhadap kebutuhan bangsa dan Negara yang lebih besar lagi dibandingkan keuntungan pribadi dan kelompoknya.

Ketiga, hal yang penting untuk dikemukakan di sini pula, kenyataan yang ada saat ini adalah rendahnya kinerja pegawai negeri. Kinerja dan produktivitas birokrat, dalam beberapa tinjauan penelitian masih sangat lemah. 

Keluhan masyarakat terhadap rendahnya kinerja atau budaya kerja birokrasi ini, ditandai dengan adanya berbagai keluhan masyarakat yang terkait dengan layanan pemerintah terhadap kebutuhan masyarakat, seperti tiada signifikansinya antara ketekunan bayar iuran kebersihan dengan kualitas layanan kebersihan.
Munculnya kritikan terhadap kinerja aparatur yang lemah, dan tidak produktif ini, sudah barang tentu, perlu mendapat perhatian yang seksama dari pihak pemerintah yang berwenang, sehingga upaya membangun pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good and clean governance) dapat diwujudkan.
Keluputan kita memperhatikan masalah empriik ini, dan atau kekhilapan kita dalam menyadari problema ini, dikhawatirkan akan menjadi penyebab ketidakselektifan pemerintah dalam melakukan penerimaan calon pegawai negeri di masa yang akan datang. Sekali lagi, penulis tegaskan bahwa keluputan kita dalam memahami berbagai kelemahan mental dan budaya kerja pegawai negeri saat ini, akan menjadi catatan panjang bahwa pemerintah tidak peka terhadap poenyakit yang ada dalam dirinya sendiri. Dan bila penyakit birokrasi (patologi birokrasi) ini dibiarkan, dan atau malahan dipelihara, maka masa depan negara dan bangsa Indonesia akan semakin memprihatinkan. Berdasarkan wacana ini, salah satu upaya untuk membangun good and clean governance, adalah tahap perekrutan pegawai negeri. Tahapan ini, sangat penting untuk peningkatan kinerja dan budaya kerja aparatur di masa yang akan datang.

Potret Buram Penerimaan CPNS
Seperti dikemukakan sebelumnya, penerimaan CPNS adalah salah satu kerja manajemen publik yang memiliki kontribusi terhadap upaya pembangunan aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa (good and clean governance). Kemudian pada sisi yang lainnya, kenyataan yang ada, beberapa kasus oknum pegawai negeri yang melakukan tindak kejahatan negara, yaitu korupsi, kolusi dan nepotisme. Rendahnya sense of crises terhadap keadaan bangsa dan negara, juga penderietaan yang sedang dialami oleh masyarakat, maka rendahnya dan buruknya budaya kerja aparatur pemerintah akan berdampak pada memburuknya keadaan bangsa dan negara ini.

Pegawai negara yang tidak peka terhadap kebutuhannya melakukan reformasi birokrasi, akan tetap mempertahankan pola rekruitmen pegawai melalui praktek-praktek KKN. Upaya jual beli kursi, main mata harga jabatan, dan penyelewengan kekuasaan akan tetap menjadi berita yang mewarnai penerimaan CPNS di masa yang akan datang.

Hal yang perlu diwaspadai oleh publik, upaya penyelewengan kekuasaan dalam proses penerimaan CPNS ini, tidak akan dilakukan dengan cara klasik. Oknum aparat pemerintah yang busuk, kerapkali melakukan metamorfosa model KKN dalam penerimaan CPNS. Artinya, tindakan KKN dalam penerimaan CPNS ini tidak dilakukan secara terbuka kepada publik, namun dilakukan secara tertutup (reureunceupan) dengan mekanisme “sama-sama mengerti”.

Kasus bocornya soal ujian seleksi CPNS di Kabupaten Majalengka, adalah salah satu contoh nyata, tindak penyelewengan kekausaan oleh aparatur pemerintah. Tindakan ini menunjukkan bahwa aparat yang busuk sedang menjaring calon aparatur yang busuk pula. Implikasi lanjutannya adalah berkumpulnya orang busuk dalam birokrasi busuk. Namun sayangnya, kasus seperti ini tidak mendapat perhatian yang seksama, dan tidak mendapatkan tindak lanjut yang nyata.

Bisa dibayangkan bagaimana kualitas intelektual dan mental PNS nantinya jika dalam pola rekrutmennya masih bergelimang dengan praktek-praktek KKN. Alih-aling menjadi abdi masyarakat yang melayani publik yang terjadi sebaliknya menjadi “pemeras” hak-hak publik.

Merujuk pada cermatan ini, dapat dikemukakan beberapa simpulan pemikiran yang relevan untuk dijadikan bahan renungan para penyelenggara penerimaan CPNS untuk saat ini.

Pertama, identifikasi kebutuhan PNS berdasarkan keahlian dan keterampilan dan kualifikasi perekrrutan yang sesuai dengan formasi dan kualitas. Dan jika kita memang sepakat untuk memperbaiki kondisi bangsa dan negara ini, maka jadikanlah penerimaan CPNS masa yang akan datang sebagai momentum awal untuk melakukan bureaucide, yaitu, upaya melakukan pembersihan terhadap birokrasi yang busuk (bureaucide, sejenis memberantas gen/kelompok busuk dalam birokrasi/genocide). Karena hanya dengan melakukan bureaucide inilah, maka pembentukan pemerintahan yang bersih dan berwibawa akan dapat diwujudkan.
Kedua, jadikanlah penerimaan CPNS yang akan datang sebagai bagian dari reformasi biorokrasi, atau revolusi budaya kerja birokrasi. Indonesia saat ini, sangat membutuhkan adanya aparatur pemerintah yang kreatif dan orisinal dalam bekerja. Indonesia tidak membutuhkan aparatur yang membeo pada kebijakan luar negeri, atau lemah karsa dalam bekerja. Beratnya problema bangsa saat ini, membutuhkan adanya energi yang kuat dari kalangan aparatur untuk membangun masa depan bangsa dan negara.

Ketiga, mau tidak mau seleksi penerimaan CPNS baru, perlu memperhatikan aspek kompetensi nyata, baik untuk kepentingan bangsa Indonesia hari ini, maupun kebutuhan bangsa Indonesia di masa yang akan datang. Indonesia bukanlah negara yang diciptakan untuk masa kemarin, Indonesia dibangun untuk masa yang akan datang. Oleh karena itu, unsur kompetensi kalangan CPNS baru, mutlak menjadi satu kebutuhan nyata. Hindari KKN yang hanya sekedar untuk keuntungan pribadi. Dan bangunlah model rekruitmen pegawai secara objektif, transparan, dan profesional.

Keempat (dan mungkin ini yang juga sangat penting), yaitu penyelenggara test mesti objektif. Oleh karenaanya wacana pelenggara adalah lembaga independen dan profesional harus menjadi perhatian. Lembaga ini dapat berbentuk konsorsium perguruan tinggi yang memiliki kewenangan selain membuat aturan main, soal test, juga berwenang mengumumkaan kelulusan peserta secara transparan dan akuntabel. Jika diperlukan peserta mengetahui skornya masing-masing dan jawaban dari soal tersebut.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, minimalnya upaya menanam benih dan ikhtiar menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa di masa yang akan datang, telah dirintis.
Penulis: Dosen Ilmu Politik Universitas Pendidikan Indonesia, beberapakali menjadi Kontributor soal tes CPNS di Jawa Barat.

Copyright © Cecep Darmawan | Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia