18 Desember 2010

Darurat Moral


Oleh: Dr. Cecep Darmawan, M.Si.
Di tengah krisis ketidakpercayaan publik atas elite politik di negeri mi dan rontoknya moralitas sebagian public figure, tim seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang mencari orang yang tepat untuk menduduki puncak pimpinan KPK. Rasanya, kian hari kian sulit mencari figur yang diharapkan publik. Fenomena ini, semakin mengindikasikan bahwa pemberantasan korupsi membutuhkan sosok yang tidak hanya pintar teknis hukum, tetapi memiliki moralitas dan integritas yang tinggi, berani, dan masa lalunya relatif "bersih".

Jika ada yang mengatakan, demi keamanan kita sedang berada pada masa darurat militer. Jika demi ketertiban, kita butuh kebijakan darurat sipil. Bila terkait dengan mafia hukum, kita butuh kesadaran mengenai pentingnya situasi darurat keadilan. Maka pada kaitannya dengan mental bangsa ini, sesungguhnya saat ini kita sedang mengalami darurat moral. Korupsi sudah menjadi cerita harian, tetapi pelakunya hampir bergeming. Itulah darurat moral.

Kendati demikian, sudah tentu realitas ini tetap bukan untuk ditangisi. Kita semua, dituntut tanggung jawab moralnya untuk melakukan pembenahan (bisa reformasi, restorasi, atau malah "revolusi") sesuai dengan situasi dan kebutuhan yang ada. Sebab, hanya dengan langkah praktis itulah masa depan Indonesia yang lebih baik, akan dapat kita temukan. Salah satu langkah penting yang kita maksudkan itu, yaitu memberikan perhatian kepada kaum muda Indonesia.

Tanpa ada penyadaran, pencerahan, atau pendidikan antikorupsi kepada generasi muda, darurat moral bangsa ini akan terus terulang, dan menjadi cerita bersambung tanpa ujung. Tanpa ada usaha sistematik terkait dengan pendidikan antikorupsi, bangsa ini hanya akan melahirkan kader-kader korup. Bukan tanpa alasan, tetapi terkuaknya Artalyta Suryani atau Gayus Tambunan, adalah anak muda yang menjadi ikon korup dalam lingkungannya masing-masing. Pelaku korup yang terbongkar ternyata banyak dilakukan elite muda atau politisi muda, yang baru masuk dalam institusi birokrasi, politik, atau hukum.

Pada konteks inilah, pendidikan antikorupsi harus lebih cepat bergerak dibandingkan dengan mental korup, yang tumbuh dalam institusinya masing-masing. Pada dasarnya, da-lam setiap lembaga ada dua nilai yang sedang hidup, yaitu pendidikan antikorupsi dilakukan gerakan beraspirasi moral dan pendidikan korup dibangun elite mafioso korup. Kedua nilai itu, terus tumbuh dan bergerak memberikan pembinaan kepada kader-kader barunya di lembaganya masing-masing.

Berdasarkan pertimbangan itulah, kita menemukan dua model pendidikan yang berkembang di masyarakat, termasuk dalam konteks pendidikan antikorupsi. Satu sisi yaitu pembelajaran sosiopolitik (politic and social learning) dan sisi lain pendidikan formal. Pembelajaran sosial, yaitu sosialisasi nilai-nilai hidup melalui proses sosial, baik yang berlaku di keluarga, masyarakat, maupun organisasi. Dari sosialisasi nilai-nilai hidup itulah, kemudian muncul dalam bentuk budaya organisasi.

Pembelajaran antikorupsi pada konteks pembelajaran sosiopolitik (politic and social learning), membutuhkan pemimpin yang kuat, bersih, cinta hukum, dan perombakan mental atau budaya organisasi. Kebutuhan untuk sampai pada titik inilah, kerja keras dan dukungan dari elemen publik menjadi sangat menentukan. Hanya dengan itulah, pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara efektif.Kita juga butuh satu gerakan sosial lagi. Yaitu, pendidikan antikorupsi di lingkungan pendidikan formal. Pada jalur pendidikan formal ini, nilai-nilai pendidikan antikorupsi perlu dikembangkan pada tiga sasaran penting.

Pertama, pendidikan antikorupsi diarahkan untuk gerakan praktis dalam melakukan pemberantasan korupsi di lembagapublik. Generasi muda, harus kritis, peka, respek, dan ren-sponsif dalam mendukung gerakan-gerakan pemberantasan korupsi. Sampai saat ini, masih sedikit elemen yang terjun langsung pada gerakan kritis terhadap pemberantasan budaya korupsi.

Kedua, pendidikan antikorupsi diarahkan pada usaha penyadaran pentingnya sikap antikorupsi. Materi dasar ini, tidak mengarah pada gerakan praktis, tetapi pada pendidikan mental mengenai pentingnya sikap antikorupsi. Peserta didik atau generasi muda diajak untuk secara sadar membangun kesadaran, korupsi adalah penyakit yang merugikan diri sendiri dan masyarakat serta masa depan bangsa dan negara.

Saat ini, orang masih menganggap jika tidak korupsi, dia akan miskin. Bila tidak memberikan suap, karier akan mentok. Bila tidak memberikan upeti, dirinya akan diasingkan pejabat. Belum lama ini, anak-anak muda kita menuntaskan pendidikannya di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Sayangnya, aura korup-intelektual masih terasa. Anak-anak merasa tersiksa kalau tidak melakukan kecurangan dan oknum sekolah pun merasa tidak nyaman kalau tidak korup. UN pun menjadi objek belajar sosial berkorupsi di lembaga pendidikan.

Pendidikan antikorupsi perlu diarahkan untuk menjadi energi positif, yang bisa membangun kesadaran sekaligus kebahagiaan. Bahagia dengan tidak korupsi. Sukses dengan tidak korupsi. Kesadaran inilah yang harus disosialisasikan kepada anak-anak muda Indonesia.Argumentasi inilah yangmengantarkan kita pada satu kesimpulan, bangsa kita tengah berada pada situasi darurat moral. Seiring dengan pemberantasan korupsi di tingkat puncak (para pelaku), maka perubahan prinsip hidup, bahagia dengan tidak korupsi (pendidikan antikorupsi) merupakan pasangan strategis di lapisan bawah. Oleh karena itu, pendidikan antikorupsi berada pada posisi wajib untuk disampaikan kepada generasi muda kita. Begitu pula moralitas generasi muda, perlu diselamatkan dari korupsi moral.

*Penulis, dosen pada Program doktor SPS dan Direktur Kemahasiswaan Universitas Pendidikan Indonesia.

Sumber : Pikiran Rakyat

Copyright © Cecep Darmawan | Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia