Oleh: Dr. Cecep Darmawan, M.Si.
Di tengah krisis ketidakpercayaan publik
atas elite politik di negeri mi dan rontoknya moralitas sebagian public figure,
tim seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang mencari orang
yang tepat untuk menduduki puncak pimpinan KPK. Rasanya, kian hari kian sulit
mencari figur yang diharapkan publik. Fenomena ini, semakin mengindikasikan
bahwa pemberantasan korupsi membutuhkan sosok yang tidak hanya pintar teknis
hukum, tetapi memiliki moralitas dan integritas yang tinggi, berani, dan masa
lalunya relatif "bersih".
Jika
ada yang mengatakan, demi keamanan kita sedang berada pada masa darurat
militer. Jika demi ketertiban, kita butuh kebijakan darurat sipil. Bila terkait
dengan mafia hukum, kita butuh kesadaran mengenai pentingnya situasi darurat
keadilan. Maka pada kaitannya dengan mental bangsa ini, sesungguhnya saat ini
kita sedang mengalami darurat moral. Korupsi sudah menjadi cerita harian,
tetapi pelakunya hampir bergeming. Itulah darurat moral.
Kendati
demikian, sudah tentu realitas ini tetap bukan untuk ditangisi. Kita semua,
dituntut tanggung jawab moralnya untuk melakukan pembenahan (bisa reformasi,
restorasi, atau malah "revolusi") sesuai dengan situasi dan kebutuhan
yang ada. Sebab, hanya dengan langkah praktis itulah masa depan Indonesia yang
lebih baik, akan dapat kita temukan. Salah satu langkah penting yang kita
maksudkan itu, yaitu memberikan perhatian kepada kaum muda Indonesia.
Tanpa ada penyadaran, pencerahan, atau pendidikan antikorupsi kepada generasi muda, darurat moral bangsa ini akan terus terulang, dan menjadi cerita bersambung tanpa ujung. Tanpa ada usaha sistematik terkait dengan pendidikan antikorupsi, bangsa ini hanya akan melahirkan kader-kader korup. Bukan tanpa alasan, tetapi terkuaknya Artalyta Suryani atau Gayus Tambunan, adalah anak muda yang menjadi ikon korup dalam lingkungannya masing-masing. Pelaku korup yang terbongkar ternyata banyak dilakukan elite muda atau politisi muda, yang baru masuk dalam institusi birokrasi, politik, atau hukum.
Pada
konteks inilah, pendidikan antikorupsi harus lebih cepat bergerak dibandingkan
dengan mental korup, yang tumbuh dalam institusinya masing-masing. Pada
dasarnya, da-lam setiap lembaga ada dua nilai yang sedang hidup, yaitu
pendidikan antikorupsi dilakukan gerakan beraspirasi moral dan pendidikan korup
dibangun elite mafioso korup. Kedua nilai itu, terus tumbuh dan bergerak
memberikan pembinaan kepada kader-kader barunya di lembaganya masing-masing.
Berdasarkan
pertimbangan itulah, kita menemukan dua model pendidikan yang berkembang di
masyarakat, termasuk dalam konteks pendidikan antikorupsi. Satu sisi yaitu
pembelajaran sosiopolitik (politic and social learning) dan sisi lain
pendidikan formal. Pembelajaran sosial, yaitu sosialisasi nilai-nilai hidup
melalui proses sosial, baik yang berlaku di keluarga, masyarakat, maupun
organisasi. Dari sosialisasi nilai-nilai hidup itulah, kemudian muncul dalam
bentuk budaya organisasi.
Pembelajaran
antikorupsi pada konteks pembelajaran sosiopolitik (politic and social
learning), membutuhkan pemimpin yang kuat, bersih, cinta hukum, dan perombakan
mental atau budaya organisasi. Kebutuhan untuk sampai pada titik inilah, kerja
keras dan dukungan dari elemen publik menjadi sangat menentukan. Hanya dengan
itulah, pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara efektif.Kita juga butuh
satu gerakan sosial lagi. Yaitu, pendidikan antikorupsi di lingkungan
pendidikan formal. Pada jalur pendidikan formal ini, nilai-nilai pendidikan
antikorupsi perlu dikembangkan pada tiga sasaran penting.
Pertama,
pendidikan antikorupsi diarahkan untuk gerakan praktis dalam melakukan
pemberantasan korupsi di lembagapublik. Generasi muda, harus kritis, peka,
respek, dan ren-sponsif dalam mendukung gerakan-gerakan pemberantasan korupsi.
Sampai saat ini, masih sedikit elemen yang terjun langsung pada gerakan kritis
terhadap pemberantasan budaya korupsi.
Kedua,
pendidikan antikorupsi diarahkan pada usaha penyadaran pentingnya sikap
antikorupsi. Materi dasar ini, tidak mengarah pada gerakan praktis, tetapi pada
pendidikan mental mengenai pentingnya sikap antikorupsi. Peserta didik atau
generasi muda diajak untuk secara sadar membangun kesadaran, korupsi adalah
penyakit yang merugikan diri sendiri dan masyarakat serta masa depan bangsa dan
negara.
Saat
ini, orang masih menganggap jika tidak korupsi, dia akan miskin. Bila tidak
memberikan suap, karier akan mentok. Bila tidak memberikan upeti, dirinya akan
diasingkan pejabat. Belum lama ini, anak-anak muda kita menuntaskan
pendidikannya di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Sayangnya, aura
korup-intelektual masih terasa. Anak-anak merasa tersiksa kalau tidak melakukan
kecurangan dan oknum sekolah pun merasa tidak nyaman kalau tidak korup. UN pun
menjadi objek belajar sosial berkorupsi di lembaga pendidikan.
Pendidikan
antikorupsi perlu diarahkan untuk menjadi energi positif, yang bisa membangun
kesadaran sekaligus kebahagiaan. Bahagia dengan tidak korupsi. Sukses dengan
tidak korupsi. Kesadaran inilah yang harus disosialisasikan kepada anak-anak
muda Indonesia.Argumentasi inilah yangmengantarkan kita pada satu kesimpulan,
bangsa kita tengah berada pada situasi darurat moral. Seiring dengan
pemberantasan korupsi di tingkat puncak (para pelaku), maka perubahan prinsip
hidup, bahagia dengan tidak korupsi (pendidikan antikorupsi) merupakan pasangan
strategis di lapisan bawah. Oleh karena itu, pendidikan antikorupsi berada pada
posisi wajib untuk disampaikan kepada generasi muda kita. Begitu pula moralitas
generasi muda, perlu diselamatkan dari korupsi moral.
*Penulis,
dosen pada Program doktor SPS dan Direktur Kemahasiswaan Universitas Pendidikan
Indonesia.
Sumber
: Pikiran Rakyat