Oleh: Cecep Darmawan, Guru Besar; Ketua Prodi Magister dan Doktor Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia
Pendidikan di Indonesia masih menyisakan masalah secara sistemik. Perlu ada perhatian khusus dan serius guna merumuskan alternatif kebijakan pendidikan secara sistematis, terstruktur, dan terencana serta berkelanjutan.
Peringatan Hari Kemerdekaan tahun ini mengusung tema ”Terus Melaju untuk Indonesia Maju”. Jika ditelusuri lebih mendalam, salah satu aspek fundamental agar negara Indonesia terus melaju ialah pendidikan. Keberlangsungan pendidikan pun menjadi faktor determinan bagi kemajuan Indonesia.
Para pendiri bangsa pun telah mengamanatkan pentingnya pendidikan guna mengisi kehidupan berbangsa dan bernegara setelah kemerdekaan. Amanat Pembukaan UUD 1945 menegaskan bahwa salah satu tujuan nasional bangsa Indonesia ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, pembangunan pendidikan yang berkelanjutan harus menjadi lokomotif utama bagi laju dan majunya pembangunan nasional Indonesia.
Namun, jika menilik kondisi pembangunan pendidikan saat ini, masih jauh dari kata merdeka. Penyelenggaraan pendidikan nasional seolah sedang menampilkan dramaturgi kemerdekaan pendidikan. Di panggung depan, penyelenggaraan pendidikan seolah-olah tampak merdeka dengan melabeli seluruh kebijakannya dengan kata ”merdeka”. Padahal, di layar belakang, berbagai problematika pendidikan yang kerap tertutupi oleh tirai dengan rapat.
Baca juga : Belajar dengan Merdeka
Pendidikan belum merdeka
Pendidikan di Indonesia masih menyisakan masalah secara sistemik, bahkan sejak proses awal penyelenggaraan pendidikan. Pada tahap penerimaan peserta didik di berbagai jenjang, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, terdapat problematika akut yang sangat serius. Berbagai praktik kecurangan dan tindakan ilegal yang terjadi selama proses awal penyelenggaraan pendidikan di persekolahan dan perguruan tinggi telah mendegradasi nilai-nilai luhur pendidikan.
Secara makro, indeks yang menjadi acuan bagi pembangunan pendidikan pun masih relatif rendah. Dilihat dari angka rata-rata lama sekolah (RLS) secara nasional berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2022) pada 2022 baru sebesar 8,69. Pertumbuhan angka indeks pendidikan ini berjalan amat lambat dan dibutuhkan waktu sekitar 10 tahun hanya untuk menaikkan sekitar 1 digit angka RLS.
Kondisi yang lebih memprihatinkan dapat dilihat dari angka partisipasi kasar perguruan tinggi (APK PT) di Indonesia yang berdasarkan data BPS pada 2022 masih begitu rendah, yakni sebesar 31,16. Artinya, lebih dari 68 persen lulusan SLTA setiap tahun tidak melanjutkan studi ke perguruan tinggi.
Dari aspek regulasi, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) saat ini dinilai belum mampu menyelesaikan problematika pendidikan secara progresif.
Fenomena naiknya uang kuliah tunggal (UKT) menambah semakin mahalnya biaya kuliah mahasiswa dan mempersempit sekaligus mempersulit akses masyarakat untuk mengenyam pendidikan tinggi. Padahal, untuk menyongsong Indonesia Emas 2045 dibutuhkan sumber daya manusia unggul, khususnya dari lulusan perguruan tinggi.
Dari aspek regulasi, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) saat ini dinilai belum mampu menyelesaikan problematika pendidikan secara progresif. Banyak ketentuan dalam UU Sisdiknas saat ini yang perlu dirombak dan disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat pendidikan.
Problematika fundamental lainnya terkait pendidikan karakter yang berbasis pada filsafat pendidikan Pancasila yang belum membumi. Apakah praktik penyelenggaraan pendidikan dalam sistem pendidikan nasional saat ini sudah sesuai dengan roh Pancasila? Dari aspek kebijakan masih diwarnai oleh persoalan tumpang tindih, inkonsistensi, dan saling tuding atau tarik-menarik kebijakan.
Otonomi pendidikan pun belum berjalan optimal. Di tingkat pendidikan tinggi, misalnya, otonomi perguruan tinggi mengalami defisit dan kemunduran. Terjadinya keterbelahan terkait penyelenggaraan urusan pendidikan pun menambah benang kusut problematika pendidikan.
Begitu pun persoalan pemerataan kualitas dan aksesibilitas pendidikan bagi semua kalangan masyarakat menjadi hal yang krusial. Selain itu, hampir semua dimensi dalam delapan standar nasional pendidikan mengalami permasalahan. Mulai dari problematika tata kelola guru, inefisiensi anggaran pendidikan, inkonsistensi kurikulum, iklim dunia pendidikan yang belum kondusif, lemahnya link and match dunia pendidikan, dan problematika klasik pendidikan lainnya. Masalah utamanya ialah proses standardisasi penyelenggaraan pendidikan di sejumlah daerah yang belum tuntas sehingga menyebabkan terjadinya disparitas kualitas pendidikan.
Dimensi kesejahteraan guru, terutama guru honorer, amat mengkhawatirkan. Berdasarkan data yang dikemukakan oleh Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Perilaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan Friderica Widyasari Dewi (2023), guru menjadi korban dengan persentase paling tinggi terjerat pinjaman online (pinjol) ilegal, yakni sebesar 42 persen. Betapa mirisnya, guru yang merupakan profesi terhormat dan pahlawan pendidikan sampai terpaksa melakukan pinjaman yang kerap menjerat korban peminjam. Apakah ini merupakan kedaruratan dan cerminan tidak merdekanya kesejahteraan guru di Indonesia?
Selain itu, saat ini dunia pendidikan dihadapkan pada tantangan pendidikan masa depan, yakni terkait proses digitalisasi. Jika tidak diantisipasi sejak awal, maka berpotensi membawa dampak negatif dari disrupsi bagi dunia pendidikan. Bahkan, sumber daya manusia Indonesia akan semakin lemah daya saingnya dan kian tertinggal dari bangsa lain.
Pendidikan dalam RPJPN
Melihat berbagai problematika di atas, perlu ada perhatian secara khusus dan serius guna merumuskan alternatif kebijakan pendidikan secara sistematis, terstruktur, dan terencana serta berkelanjutan. Berbagai problematika mencakup aspek regulasi, kebijakan, otonomi, dan standardisasi, serta pemerataan kualitas dan aksesibilitas pendidikan di atas harus menjadi bahan pertimbangan bagi pembangunan pendidikan ke depan.
Pasalnya, adanya problematika pendidikan tersebut dapat memberikan efek domino bagi pembangunan nasional. Terlebih pada 2025, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 akan berakhir. Rencana pembangunan periode tersebut akan digantikan oleh RPJPN 2025-2045 yang sedang dirumuskan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
Pada RPJPN 2005-2025, pendidikan tidak menjadi bidang tersendiri dalam pembangunan nasional. Dalam RPJPN 2005-2025, substansi pendidikan diletakkan dalam bidang sumber daya manusia dan secara implisit tergambar pada semua bidang pembangunan nasional. Padahal, amanat Pembukaan UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu tujuan nasional bangsa Indonesia ialah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pasalnya, adanya problematika pendidikan tersebut dapat memberikan efek domino bagi pembangunan nasional.
Oleh karena itu, RPJPN 2025-2045 yang tengah disusun harus memiliki semangat untuk mengarusutamakan pendidikan sebagai milestone bagi majunya pembangunan nasional. Pendidikan harus ditempatkan dalam bidang tersendiri dan tecermin dalam semua bidang pembangunan nasional.
Urgensi adanya bidang pendidikan secara tersendiri dalam RPJPN dapat menjadi rujukan bagi pembentukan road map atau peta jalan pendidikan nasional. Peta jalan inilah yang akan menjadi rencana pembangunan secara operasional bidang pendidikan melalui berbagai tahapan, target, strategi, kebijakan, dan rencana aksi untuk pencapaian tujuan pendidikan dari masa ke masa.
Dengan demikian, adanya peta jalan pendidikan yang diderivasikan dari RPJPN dapat menjadi kompas utama sebagai penunjuk arah pembangunan pendidikan secara berkelanjutan di Indonesia. Perlunya peta jalan pendidikan nasional ini didasari bahwa berbagai kebijakan pendidikan selama ini cenderung jalan di tempat dan tidak menapaki arah jalan yang sesuai dengan harapan. Kebijakan pendidikan disinyalir hanya mengubah casing, tetapi tidak menyentuh substansi dan dasar persoalan pendidikan nasional.
Selain itu, penyusunan RPJPN 2025-2045 bidang pendidikan perlu dilakukan secara hati-hati dan melibatkan partisipasi publik semua elemen pendidikan secara bermakna. Evaluasi secara komprehensif terhadap sejauh mana capaian berbagai aspek pendidikan dalam RPJPN sebelumnya pun penting untuk dilakukan.
Baca juga : ”Quo Vadis” Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035
Hal tersebut penting agar RPJPN yang dibentuk ke depan mampu menjawab berbagai persoalan kebijakan pendidikan yang selama ini terjadi dan memproyeksikannya menjadi kebijakan pendidikan yang lebih baik ke depan. Upaya tersebut diharapkan dapat membentuk RPJPN bidang pendidikan sebagai rencana teknokratik-partisipatif yang bermakna dan disusun berlandaskan evidence based policy yang mampu membawa kemajuan bagi dunia pendidikan.
Terakhir, upaya rekonstruksi sistem pendidikan nasional melalui pembentukan UU Sisdiknas yang baru pun penting untuk dilakukan sebagai satu paket rencana induk kebijakan pendidikan yang lebih progresif dan visioner. Melalui berbagai upaya di atas, diharapkan dapat tercapai cita-cita 100 tahun kemerdekaan negara Republik Indonesia, yakni Indonesia Emas 2045, dengan kemerdekaan pendidikan sebagai penggerak utamanya.
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/09/05/menghindari-dramaturgi-kemerdekaan-pendidikan