17 Januari 2019

Korupsi Dana Pendidikan

Oleh: Cecep Darmawan
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia dan Penulis Buku Korupsi dan Pendidikan
Opini ini telah diterbitkan oleh HU Pikiran Rakyat 22 Desember 2018)

Kasus korupsi dana pendidikan kembali mencuat. Tak tangung-tanggung, hampir sepekan harian ini (“PR”), mengangkat korupsi pendidikan sebagai berita utamanya dengan berbagai ragam topik korupsi di lingkungan pendidikan.  Kali ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan OTT terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat praktik korupsi dana pendidikan dan menyidak beberapa institusi pendidikan. Setidaknya, terdapat sejumlah oknum birokrat pendidikan dan juga melibatkan salah seorang kepada daerah yang ditahan KPK.

Kasus korupsi dana pendidikan bukan berita baru yang dibongkar KPK dalam beberapa tahun terakhir ini. Korupsi dana pendidikan ini diduga berkorelasi dengan praktika pillkada. Kasus korupsi dana pendidikan ini merupakan tamparan keras kepada para pemangku pendidikan.

Pendidikan pada hakikatnya berupaya mengalihkan generasi muda dari kondisi kegelapan menuju pencerahan, dari kebodohan dan kedunguan menuju pencerdasan dan literasi. Pendidikan pun sekaligus akan meningkatkan nurani dan akal sehat. Nilai-nilai pendidikan sejatinya akan melawan nilai-nilai koruptif.  Namun, ironisnya, justru di bidang pendidikanlah praktika koruptif kerap terjadi. KPK menyebutkan beberapa contoh praktika koruptif dipersekolahan diantaranya orang tua siswa yang lebih memilih jalan pintas pada saat penerimaan peserta didik baru melalui pembuatan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) asli tapi palsu (aspal) dan suap saat mutasi,  inkonsistensi dalam berbagai aturan,  pungutan tidak sesuai aturan,  gratifikasi pada saat sebelum/ sesudah ujian, mark up biaya dan manipulasi nilai, pembocoran jawaban ujian, pemalsuan nilai rapor/ ijazah, dan perilaku mencontek yang dilakukan para siswa. Bahkan kampus pun tidak sepenuhnya bersih dari praktika korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya 12 pola korupsi yang sering kerap terjadi di kampus, diantaranya praktika pemilihan rektor, pengadaan barang dan jasa, dan penjualan aset perguruan tinggi, serta pungutan liar. ICW menjelaskan sedikitnya 37 kasus dugaan korupsi di Perguruan Tinggi sejak tahun 2006 hingga Agustus 2016.

ICW lebih jauh mengungkapkan hasil termuannya, bahwa dinas pendidikan, sekolah, universitas, pemkab/pemkot dan pemerintah provinsi menjadi lembaga yang rentan korupsi. Perhatikan hasil penelitian ICW menunjukkan semenjak tahun 2005 sampai 2016 ada sekitar 425 kasus korupsi, dan 214 kasus korupsi pendidikan terjadi di dinas pendidikan. Objek korupsi pendidikan nyaris tak terbatas pada dana APBN dan APBD yang disalurkan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK), tetapi juga diduga menyangkut dana-dana BOS yang seharusnya menjadi penopang operasional sekolah.  Beginilah nasib anak-anak bangsa kita yang haknya dirampas oleh para oknum di institusi pendidikan.

Begitu parahkan pengelolaan dana pendidikan di negeri ini?  Apa yang dapat dilakukan oleh bangsa ini agar parktika korupsi di sekolah/kampus dapat dihilangkan? Itulah sekelumit pertanyaan yang harus dijawab.

Fenomena perilaku koruptif ini sungguh ironis dengan hakikat pendidikan itu sendiri. Sekolah/kampus yang sejatinya jadi garda terdepan dan motor penggerak dalam upaya pencegahan dan pemberantasan praktika koruptif justru terjebak oleh birokrasi pendidikan yang buruk. Sekolah/kampus seharusnya menjadi lokomotif perubahan perilaku generasi muda melalui pendidikan antikorupsi. Pendidikan antikorupsi di sekolah/kampus sebagai salah satu ruh dari pendidikan karekter yang dilakukan secara integratif dalam kurikulum. Pendidikan antikorupsi di sekolah bukan sebagai mata pelajaran tetapi sebagai ruh bagi seluruh mata pelajaran.

Namun, bagi peguruan tinggi, perlu dipertimbagkan secara mandalam oleh pemerintah agar pendidikan antikorupsi (PAK) dijadikan salah satu mata kuliah dasar umum (MKU) yang wajib diampu oleh seluruh mahasiswa. Fokus utama mata kuliah ini pada upaya pembelajaran moral knowing, moral feeling, dan moral action meminjam sitilah ahli pendidikan karakter Thomas Lickona.
Disamping itu, perlu pengutan melalui pembiasaan dan pembudayaan perilaku antikorupsi di sekolah dan kampus. Guru dan dosen apalagi sepala sekolah dan rektor harus menjadi model bagi ketelandanan di lingkungan sekolah/kampus. Keteladanan dan pengkondisian lingkungan ini penting dalam menguatkan karakter siswa/mahasiswa. Manajemen tata kelola sekolah/kampus harus transparan dan akuntabel. Perilaku para birokrat-birokrat pendidikan harus menjadi teladan dengan perilaku dan kebijakannya yang pro public, berintegritas dan bermartabat.

Jangan-jangan seperti kata Doig dan Riley (1997) bahwa sebuah sumber kunci dari korupsi di banyak lembaga publik negara-negara berkembang bisa jadi karena suatu kepemimpinan politik yang tidak mendukung kepentingan publik atau buruknya moral hazard kepemimpinan politik. Atau pandangan G. Shabbir Cheema, pejabat UNDP dan Jean Bonvin, pejabat OECD (1997), tentang korupsi bahwa korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan dan sering mengakibatkan pelanggaran HAM. Bahkan meurut penulis korupsi bidang pendidikan ini adalah korupsi yang paling besar dosanya dibandingkan korupsi bidang lainnya. Moralitas korupsi pendidikan bertentangan dengan moralitas pembangunan dan hak anak memperoleh pendidikan yang dijamin oleh konstitusi.  Gerakan antikorupsi internasional bidang pendidikan menyimpulkan bahwa banyak negara berkembang memiliki pemimpin bagaikan predator yang merusak hak pendidikan para warganya.  Di Indonesia sendiri seakan kita sedang menyaksikan hal ini sebagai pertunjukan yang dilakonkan oleh para oknum pendidikan yang mengaku moralis. Praktika seperi ini harus segara dihilangkan dan dijauhi.

Untuk itu, pilihlah kepala-kepala dinas dari para guru-guru atau para pendidik yang berperestasi dan berintegritas. Jangan sampai pemilihan kepala dinas didasarkan atas like and dislike kepala daerah, atau balas jasa karena yang bersangkutan pernah menjadi tim sukses bayangan ketika pilkada. Sudah saatnya para kepala dinas dan kepala sekolah haruslah diisi oleh orang yang berwawasan luas, mengerti dunia pendidikan, dan memilliki integritas yang teruji agar kualitas.

Copyright © Cecep Darmawan | Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia