Oleh: Cecep Darmawan
Guru Besar Ilmu Politik dan
Pengurus Pusat Kajian Pendidikan Pancasila dan Wawasan Kebangsaan Universitas Pendidikan Indonesia.
(dimuat 3 Juni 2017 di HU
Pikiran Rakyat)
Saya Indonesia, Saya Pancasila adalah tema yang diusung pemerintah dalam
rangka peringatan Hari Lahir Pancasila 2017. Sejak tahun lalu, 1 Juni
ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila. Hal ini didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor
24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila. Mulai tahun ini, setiap 1 Juni pun dinyatakan
sebagai hari libur nasional. Meskipun ditetapkan hari libur nasional,
pemerintah menginstruksikan kepada seluruh
pimpinan kementerian/lembaga dan pemda untuk menyelenggarakan upacara
bendera. Dengan peringatan Hari Lahir Pancasila secara massif diharapkan
seluruh komponen bangsa sadar akan pentingnya penguatan nilai-nilai fundamental
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Khusus
kepada generasi muda proses internalisasi nilai-nilai Pancasila harus terus
digelorakan dan disosialisasikan dengan memperhatikan kontekstualisasi zaman
dan tantangannya yang berbeda.
Dalam konsideran Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang
Hari Lahir Pancasila dinyatakan bahwa untuk
pertama kalinya Pancasila sebagai dasar negara diperkenalkan oleh Ir. Soekarno
pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
tanggal 1 Juni 1945, dan sejak kelahirannya pada tanggal 1 Juni 1945, Pancasila
mengalami perkembangan hingga menghasilkan naskah Piagam Jakarta pada tanggal
22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan dan disepakati menjadi rumusan final pada
tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Berikutnya konsideran tersebut menyatakan bahwa rumusan Pancasila sejak tanggal
1 Juni 1945 yang dipidatokan Ir. Soekarno, rumusan Piagam Jakarta tanggal 22
Juni 1945 hingga rumusan final tanggal 18 Agustus 1945 adalah satu kesatuan
proses lahirnya Pancasila sebagai Dasar Negara.
Tantangan Pancasila
Pancasila tengah menghadapi tantangan zaman.
Nilai-nilai Pancasila sedang mengalami benturan peradaban khususnya dengan
ideologi kapitalisme-liberalisme yang mengusung kebebasan. Pancasila pun sedang
diuji oleh hiruk-pikuk persoalan bangsa yang semakin hari semakin berat
khususnya menyangkut integrasi bangsa yang tergerus oleh kelompok kepentingan
politik sesaat (vested interest) yang
terbelah.
Kita harus akui bahwa Pancasila sebagai sistem nilai belum sepenuhnya diejawahtahkan dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan kata lain persoalan paling fundamental dari Pancasila bukan
persoalan filosofi dan konseptual, melainkan persolan implementasinya. Eksistensi dari substansi nilai-nilai Pancasila tidak diragukan lagi. Namun,
Pancasila kerap mengalami berbagai kegagalan implementasi kebijakan oleh para
penentu kebijakan di negeri ini. Kemiskinan masih merajalela, tingkat
pendidikan dan kesehatan masyarakat masih relatif tertinggal dengan negara
lain, serta tingkat penganguran yang masih tinggi.
Disamping itu, masing terjadi berbagai pelanggaran dan penyimpangan dari para oknum penyelenggara
negara. Kepala Pusat Studi Pancasila
UGM Prof. Sudjito (2016) pernah menyatakan bahwa posisi ideologi negara yang
terpinggirkan bisa jadi mencerminkan para penyelenggara negara tidak begitu
paham tentang ideologi negaranya. Hal ini didukung data yang dilansir Heri
Santoso dari Pusat Studi Pancasila UGM (2016), bahwa dari 426 produk
undang-undang dari DPR (2008-2011, terdapat 102 Undang-undang digugat ke
Mahkamah Konstitusi, yang disinyalir substansi UU tersebut bertentangan dengan
nilai-nilai Pancasila dan tidak sejalan dengan jiwa rakyat. Akibatnya Pancasila kehilangan legitimasi, kepercayaan, dan rasa
memiliki dari masyarakat.
Memang harus diakui menegakkan nilai-nilai
filosofi Pancasila di tengah-tengah kegalauan ideologis kaum muda tidaklah
mudah. Butuh proses panjang dengan berbagai strategi dan pendekatan yang sesuai
dengan situasi dan kondisi kekinian. Pancasila pernah terseok-seok dan hampir
meredup pada kehidupan generasi muda bersamaan dengan runtuhnya rezim Orde
Baru.
Sebagai sebuah ideologi, nilai-nilai Pancasila yang universal masih bersarang dalam dunia ide (meminjam istilah Plato) atau
pemikiran teoritik. Gagasan Pancasila sebagai paradigma berfikir sekaligus ideologi
bangsa, seyogyanya tidak berhenti pada
pemikiran esensial dan fundamental dari nilai-nilai dasar Pancasila, tetapi
nilai-nilai fundamental itu mesti diturunkan atau dibumikan menjadi nilai-nilai
instrumental dan praksis dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan kata lain, nilai filosofis dan
teoretis Pancasila harus dapat diejawahtahkan ke dalam nilai-nilai praksis
kehidupan masyarakat kita. Bagaimana pula nilai-nilai itu menjadi filter
bagi berbagai ancaman nilai-nilai luar
yang bertentangan dengan hakikat nilai-nilai Pancasila.
Jangan pernah lagi terjadi
proses pendangkalan pemahaman Pancasila oleh kelompok-kelompok yang tidak paham
akan nilai-nila esensial Pancasila. Seolah-olah dirinyalah yang paling
Pancasila dan yang lain dianggap anti Pancasila. Distorsi pemahaman dan
peminggiran atas esensi nilai-nilai Pancasila inilah yang kemudian memicu
mispersepsi dan miskonsepsi tentang Pancasila. Begitu pula, tidak boleh lagi
terjadi politisasi Pancasila yang menempatkan Pancasila sebagai alat legitimasi kekuasaan untuk melakukan rezimentasi
dan hegemoni kekuasaan politik penguasa. Kondisi ini akan melahirkan dominasi atas struktur berfikir yang distorsif oleh
dan atas nama kekuasaan politik untuk kepentingan pragmatisme penguasa semata. Harus juga
dihindari slogan dan jargon Pancasila dengan memonopoli tafsir tunggal kebenaran atas kepentingan politik
sempit sebagaimana terjadi dalam era Orde Baru. Pada saat itu terjadi hubungan diametral yang asimetris antara penguasa sebagai penafsir tunggal
kebenaran dengan rakyat sebagai objek keputusan dan
kebijakan pemerintah yang monolitik. Saat itu ideologi menjadi alat penindasan kaum marginal bagi pemuasan
hasrat kekuasaan. Terjadilah fenomena hegemoni kekuasaan atas seluruh aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara. Segala
kekuatan civil society
dikuasai oleh
hegemoni penguasa. Pemikiran kritis dibungkam dan
rakyat “dijinakan” dengan dalih keamanan dan ketertiban. Semenara, kuasa rakyat
mengalami posisi zero sum, yakni suatu kondisi penguasa
sarat akan kekuasaan yang kokoh, sementara rakyat nyaris tak punya daya tawar (bargaining)
apa pun.
Solusi
Ke depan kita membutuhkan upaya revitalisasi
Pancasila sebagai ideologi kritis yang menyadarkan pentingnya seluruh elemen
bangsa bangkit dan bahu-membahu merekatkan integrasi nasional dalam wadah NKRI.
Empat konsensus dasar (Pancasila, UUD NRI tahun 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal
Ika) harus menjadi ruh bagi pengkhidmatan kita kepada bangsa dan negara dan
menjaga marwah NKRI sebagaimana amanat para pendiri bangsa ini, menuju negeri
yang merdeka, adil makmur, dan sejahtera lahir-batin.
Pancasila sebagai sistem nilai yang utuh dan
bulat harus tercermin dalam semua kebijakan pemerintah dan pembiasaan serta
pembudayaan kehidupan masyarakat. Selain itu, dalam rangka revitalisasi Pancasila, diperlukan keteladanan para pemimpin dan penyelenggara
negara, seraya diikuti oleh kesadaran masyarakat akan pentingnya pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
****