Penundaan Pembahasan Klaster Ketenagakerjaan.
Jakarta, Suaramerdeka.News — Keputusan pemerintah dan DPR menunda klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja dan melanjutkan pembahasan klaster-klaster lainnya dapat dimengerti. Kesempatan yang tersedia dari penundaan ini, dapat digunakan untuk duduk bersama antar stakeholder demi menjembatani perbedaan pandangan terkait pasal-pasal dalam klaster tersebut.
Demikian disampaikan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prof.Dr. Cecep Darmawan, kepada media, Kamis (30/4/2020) lalu. Menurut Prof Cewan, begitu ia biasa disapa, penolakan terhadap RUU Cipta Kerja antara lain disebabkan kurangnya sosialisasi secara massif dari DPR dan pemerintah. Padahl menurutnya, terlepas dari beberapa hal yang perlu dikritisi, RUU tersebut banyak memiliki substansi positif yang dibutuhkan bangsa ini dan perlu didukung.
‘’Untuk membuat undang-undang sektoral atau satu bidang saja butuh waktu panjang. Ada public hearing, studi banding dan lain-lain. Nah, Omnibus Law kan menyatukan berbagai sektor, wajar kalau proses dan sosialisasinya juga berbeda,’’ kata Prof. Cewan.
Menurut Sekjen Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara (ASIAN) ini, suatu kebijakan perlu dirumuskan dan dibahas sesuai prosedur dan proses sewajarnya. Dengan demikian, kesan terburu-buru harus dihindarkan.
‘’Kan harus ada unsur pelibatan stake holder, misalnya berupa public hearing yang intens. Ada partisipasi publik. Partisipasi masyarakat,’’ katanya lagi.
Prof Cewan menyatakan, pembahasan semua klaster, terutama klaster ketenagakerjaan sebaiknya juga mendengar berbagai kajian dan melibatkan perguruan tinggi secara massif, sehingga terjadi perdebatan ilmiah dalam konteks ini.
“Kalau saya bilang sih, slow but sure,”katanya.
Menurut Sekretaris II Persatuan Guru Besar Indonesia (Pergubi) itu, Omnibus Law dibuat untuk menyederhanakan berbagai peraturan perundang-undangan yang selama ini terkesan sektoral. Karena itu, jika dibahas tanpa proses yang matang, bisa saja nanti digugat setelah disahkan dan menimbulkan masalah berkepanjangan.
Dengan prinsip slow but sure, Prof. Cewan meyakini lebih baik ada yang diubah sejak awal tapi akhirnya akan menghasilkan produk yang baik, daripada dipaksakan tapi kemudian membuahkan output yang bermasalah atau dianggap merugikan pihak tertentu.
‘’Kita sepakat, semua pihak harus mendahulukan kepentingan bangsa dan negara. Kalau semangat ini dipegang, pasti akan ada titik temu,” tegas Kepala Pusat Kajian dan Pengembangan Kebijakan Publik, Inovasi Pendidikan, dan Pendidikan Kedamaian pada LPPM UPI ini.
Dosen Sesko TNI ini juga menggarisbawahi, produk undang-undang harus memenuhi tiga aspek, yakni filosofis, sosiologis dan yuridis. ‘’Apakah sesuai falsafah bangsa, lalu secara sosiologis mengagregasi dan mengartikulasi kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Kemudian, secara yuridis sejauh mana taat regulasi termasuk menjamin adanya kepastian hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat seluruhnya.’’
Sebegitu jauh, Prof. Cewan melihat pemerintah memiliki niat baik untuk menciptakan iklim investasi dan bisnis yang kondusif, menghindari hight cost economy dan memangkas regulasi yang menghambat investasi.
Karena itulah, Prof. Cewan mendorong komunikasi DPR dengan berbagai pihak harus intens dalam pembahasan. Hal ini untuk menata ulang substansi-substansi pasal-pasal yang dianggap masih menyisakan sejumlah persoalan krusial khususnya klaster ketenagakerjaan.
Demikian juga sosialisasi, pemerintah harus lebih sistematis dan massif agar urgensi RUU Cipta Kerja dapat dipahami semua pihak. (bb-69)