Oleh: Cecep Darmawan
Dosen Politik Pascasarjana UPI dan Pengurus DHD 45 Provinsi Jawa Barat
RAMAI-ramai
pejabat negara cuti untuk kampanye pemilu 2014. Ada gubernur/wakil
gubernur, wali kota/wakil wali kota, bupati/wakil bupati, bahkan menteri
dan presiden. Baru-baru ini Mendagri Gamawan Fauzi telah menyetujui,
setidaknya 33 gubenur dan 11 wakil gubernur untuk menyetujui izin cuti.
Meski
sudah ada aturan yang membolehkan seorang pejabat publik melakukan
kampanye untuk partainya, tetap saja mengusik etika politik dan nilai
kepatutan. Aturan tentang cuti pejabat negara, antara lain mengatur
tetang larangan penggunaan fasilitas negara dalam kampannye. Mungkin
sekadar untuk tidak menggunakan fasilitas negara, bagi pejabat publik
bukanlah sesuatu yang sulit. Soal finansial dan fasilitas untuk
berkampanye bagi mereka tidak masalah. Alih-alih menjadi negarawan,
mereka malah menampilkan keberpihakan politik. Ketika yang bersangkutan
telah menjadi pejabat publik, maka ia sudah milik publik, bukan lagi
sekedar milik partai.
Cermatilah kalimat bijak ini yang sering
diucapkan para pemimpin bangsa di dunia, "My loyalty to my party ends
where my loyalty to my country begins." Logika politik mengatakan bahwa,
seseorang yang menjadi pejabat publlik dan difasilitasi oleh rakyat,
maka selayaknya pikiran, ucapan, dan perbuatannya untuk kepentingan
rakyatnya. Tidak lagi sekadar berpikir tentang partai dan golongannya.
Memang
harus diakui negeri ini penuh dilema. Di satu sisi, ada sejumlah aturan
prilaku pejabat publik yang harus mendahulukan kepentingan negara di
atas kepentingan kelompok dan dirinya, tetapi ketika berhadapan dengan
kepentingan partai, loyalitas mereka kerap terbelah. Terjadilah konflik
kepentingan (conflik of interest) yang sulit dihindari. Oleh karenanya,
jangan terlalu heran jika dalam masa kampanye pejabat publik yang
berasal dari parpol, marak berkampanye. Tujuannya selain menunjukkan
loyalitas kepada partainya juga mereka akan dijadikan semacam vote
getter (menarik suara) dalam kampanye pemilu. Kondisi ini kian parah
manakala, rakyat hanya dijadikan objek politik dalam suasana kampanye
yang verbalissimbolik.
Banyak alasan dikemukakan oleh jurkam, bahwa
pejabat publik berkampanye selama memenuhi peraturan perundang-undanagan
tidak dipersalahkan. Secara teknis memang bisa disiasati bahwa mereka
selama cuti kampanye tidak mengganggu kinerja di pemerintahannya.
Semisal mengambil waktu kampanye di luar hari dinas. Namun, persoalannya
adalah telah terjadi bias personifikasi pejabat milik publik seketika
berubah menjadi pejabat milik partai. Perubahan seperti ini, sulit bagi
sebagian rakyat untuk memahaminya. Dan tentu saja pelayanan publik yang
semestinya menjadi bagian yang tidak boleh dibaikan oleh pejabat
publik, menjadi terhambat.
Berikutnya adalah persoalan, keberpihakan pejabat publik kepada parpolnya akan berbenturan dengan pejabat publik atasannya yang juga berkampanye atas dasar kepentingan partainya. Misalkan, hari ini seorang presiden, yang cuti dan berkampanye di lokasi tententu yang menyerukan kepada masyarkat untuk memilih partainya, yang kemudian pada hari berikutnya ada seorang menteri yang juga berkampanye untuk kepentingan partainya yang berbeda dengan presiden. Atau seorang gubernur yang cuti untuk berkampanye dan meminta rakyatnya memilih partainya. Sementara besok harinya wakil gubernur dari partai yang berbeda berkampanye untuk kepentingan partainya, dan mengajak rakyat untuk memilih partainya.
Berikutnya adalah persoalan, keberpihakan pejabat publik kepada parpolnya akan berbenturan dengan pejabat publik atasannya yang juga berkampanye atas dasar kepentingan partainya. Misalkan, hari ini seorang presiden, yang cuti dan berkampanye di lokasi tententu yang menyerukan kepada masyarkat untuk memilih partainya, yang kemudian pada hari berikutnya ada seorang menteri yang juga berkampanye untuk kepentingan partainya yang berbeda dengan presiden. Atau seorang gubernur yang cuti untuk berkampanye dan meminta rakyatnya memilih partainya. Sementara besok harinya wakil gubernur dari partai yang berbeda berkampanye untuk kepentingan partainya, dan mengajak rakyat untuk memilih partainya.
Kondisi seperti ini, menjadi tontoan yang
rancu dan sedikit lucu, bak komedi politik di dunia sinetron. Padahal
presiden dan menteri harus menopang visi misi pembangunan yang mereka
rancang. Namun, di lapangan kampanye, seolah-olah mereaka harus
berseberangan karena beda kepentingan partainya. Begitu pula kasus
kepala daerah dan wakilnya. Mereka menjadi orangorang yang tersandera
secara politik oleh parpol. Untuk sekedar mencari dukungan suara, rakyat
justru dikorbankan. Kesejahteraaan rakyat dan layanan publik malah
tidak begitu diperhatikan.
Merujuk pada teori yang dikemukakan Denis
F. Thompson (1993) dalam karyanya yang berjudul Political ethics and
Public Office, ada sejumlah landasan logis dalam mengembangkan etika
politik pejabat publik. Pertama, etika minimalis. Pandangan ini
menekankan tentang pentingnya membuat aturan-aturan yang menghambat
adanya konflik kepentingan finansial. Konsep ini dapat implementasikan
bahwa para pejabat publik yang menjadi caleg atau jurkam, dilarang
menggunakan fasilitas dinas dan anggaran dinas.
Kedua, etika
fungsional. Etika ini menekankan pentingnya puritanisme fungsi dari
pejabat publik. Dalam kaitan pejabat publik yang berkampanye sebenarnya
telah melanggar etika funsional ini. Sebab, berdasarkan teori ini
seorang pejabat publik seyogyanya melakukan tindakan dan sikapnya sesuai
dengan fungsi pejabat yang melayani seluruh kepentingan masyarakat
tanpa diskriminatif golongan dan warna politik.
Ketiga, etika
rasional. Thompson mengatakan bahwa etika rasional mendasarkan diri pada
nilai-nilai keadilan, kebebasan, atau kebaikan bersama. Pertanyaannya
apakah pejabat publik yang melakukan kampanye telah menunjung tinggi
nilai keadilan, kebebasan atau kebaikan bersama bagi seluruh rakyatnya.
Tentu nurani meraka yang akan menjawabnya, meskipun sulit untuk
direalisasikannya.
Sebagai penutup, hal yang perlu diperhatikan oleh
bangsa ini, yaitu bagaimana etika politik dapat berdampingan dengan
perangkat aturan hukum. Ke depan perlu pengaturan etika politik yang
dimasukkan ke ranah hukum. Misalnya larangan rangkap jabatan, antara
jabatan publik dengan jabatan di parpol. Selain itu, dipertegas juga
tentang larangan melakukan kampanye pemilu legislatif maupun pemilukada,
bagi pejabat publik khususnya bagi presiden/wakil presiden, menteri,
gubernur, wakil gubernur, wali kota/wakil wali kota, dan bupati/wakil
bupati. Semoga pemilu 2014 merupakan pemilu terakhir bagi hadirnya
parade pejabat publik berkampanye di arena panggung politik bangsa ini. ***
Editor: daf
Sumber: tribun Jabar