02 Mei 2017

Cuti Kampanye dan Etika Politik Pejabat

Oleh: Cecep Darmawan
Dosen Politik Pascasarjana UPI dan Pengurus DHD 45 Provinsi Jawa Barat

RAMAI-ramai pejabat negara cuti untuk kampanye pemilu 2014. Ada gubernur/wakil gubernur, wali kota/wakil wali kota, bupati/wakil bupati, bahkan menteri dan presiden. Baru-baru ini Mendagri Gamawan Fauzi telah menyetujui, setidaknya 33 gubenur dan 11 wakil gubernur untuk menyetujui izin cuti.
 
Meski sudah ada aturan yang membolehkan seorang pejabat publik melakukan kampanye untuk partainya, tetap saja mengusik etika politik dan nilai kepatutan. Aturan tentang cuti pejabat negara, antara lain mengatur tetang larangan penggunaan fasilitas negara dalam kampannye. Mungkin sekadar untuk tidak menggunakan fasilitas negara, bagi pejabat publik bukanlah sesuatu yang sulit. Soal finansial dan fasilitas untuk berkampanye bagi mereka tidak masalah. Alih-alih menjadi negarawan, mereka malah menampilkan keberpihakan politik. Ketika yang bersangkutan telah menjadi pejabat publik, maka ia sudah milik publik, bukan lagi sekedar milik partai.
 
Cermatilah kalimat bijak ini yang sering diucapkan para pemimpin bangsa di dunia, "My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins." Logika politik mengatakan bahwa, seseorang yang menjadi pejabat publlik dan difasilitasi oleh rakyat, maka selayaknya pikiran, ucapan, dan perbuatannya untuk kepentingan rakyatnya. Tidak lagi sekadar berpikir tentang partai dan golongannya.
 
Memang harus diakui negeri ini penuh dilema. Di satu sisi, ada sejumlah aturan prilaku pejabat publik yang harus mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan kelompok dan dirinya, tetapi ketika berhadapan dengan kepentingan partai, loyalitas mereka kerap terbelah. Terjadilah konflik kepentingan (conflik of interest) yang sulit dihindari. Oleh karenanya, jangan terlalu heran jika dalam masa kampanye pejabat publik yang berasal dari parpol, marak berkampanye. Tujuannya selain menunjukkan loyalitas kepada partainya juga mereka akan dijadikan semacam vote getter (menarik suara) dalam kampanye pemilu. Kondisi ini kian parah manakala, rakyat hanya dijadikan objek politik dalam suasana kampanye yang verbalissimbolik.
 
Banyak alasan dikemukakan oleh jurkam, bahwa pejabat publik berkampanye selama memenuhi peraturan perundang-undanagan tidak dipersalahkan. Secara teknis memang bisa disiasati bahwa mereka selama cuti kampanye tidak mengganggu kinerja di pemerintahannya. Semisal mengambil waktu kampanye di luar hari dinas. Namun, persoalannya adalah telah terjadi  bias personifikasi pejabat milik publik seketika berubah menjadi pejabat milik partai. Perubahan seperti ini, sulit bagi sebagian rakyat untuk memahaminya.  Dan tentu saja pelayanan publik yang semestinya menjadi bagian yang tidak boleh dibaikan oleh pejabat publik, menjadi terhambat.
Berikutnya adalah persoalan, keberpihakan pejabat publik kepada parpolnya akan berbenturan dengan pejabat publik atasannya yang juga berkampanye atas dasar kepentingan  partainya. Misalkan, hari ini seorang presiden, yang cuti dan berkampanye di lokasi tententu yang menyerukan kepada masyarkat untuk memilih partainya, yang kemudian pada hari berikutnya ada seorang menteri yang juga berkampanye untuk kepentingan partainya yang berbeda dengan presiden. Atau seorang gubernur yang cuti untuk berkampanye dan meminta rakyatnya memilih partainya. Sementara besok harinya wakil gubernur  dari partai yang berbeda berkampanye untuk kepentingan partainya, dan mengajak rakyat untuk memilih partainya.
 
Kondisi seperti ini, menjadi tontoan yang rancu dan sedikit lucu, bak komedi politik di dunia sinetron. Padahal presiden dan menteri harus menopang visi misi pembangunan yang mereka rancang. Namun, di lapangan kampanye, seolah-olah mereaka harus berseberangan karena beda kepentingan partainya. Begitu pula kasus kepala daerah dan wakilnya. Mereka menjadi orangorang yang tersandera secara politik oleh parpol. Untuk sekedar mencari dukungan suara, rakyat justru dikorbankan. Kesejahteraaan rakyat dan layanan publik malah tidak begitu diperhatikan.
 
Merujuk pada teori yang dikemukakan Denis F. Thompson (1993) dalam karyanya yang berjudul Political ethics and Public Office, ada sejumlah landasan logis dalam mengembangkan etika politik pejabat publik. Pertama,  etika minimalis. Pandangan ini  menekankan tentang pentingnya membuat aturan-aturan yang menghambat adanya konflik kepentingan finansial. Konsep ini dapat implementasikan bahwa para pejabat publik yang menjadi caleg atau jurkam, dilarang menggunakan fasilitas dinas dan anggaran dinas.
 
Kedua, etika fungsional. Etika ini menekankan   pentingnya puritanisme fungsi dari pejabat publik. Dalam kaitan pejabat publik yang berkampanye sebenarnya telah melanggar etika funsional ini. Sebab, berdasarkan teori ini seorang pejabat publik seyogyanya melakukan tindakan dan sikapnya sesuai dengan fungsi pejabat yang melayani seluruh kepentingan masyarakat tanpa diskriminatif golongan dan warna politik.
 
Ketiga, etika rasional. Thompson mengatakan bahwa etika rasional mendasarkan diri pada nilai-nilai keadilan, kebebasan, atau kebaikan bersama. Pertanyaannya apakah pejabat publik yang melakukan kampanye telah menunjung tinggi nilai keadilan, kebebasan atau kebaikan bersama bagi seluruh rakyatnya. Tentu nurani meraka yang akan menjawabnya, meskipun sulit untuk direalisasikannya.
 
Sebagai penutup, hal yang perlu diperhatikan oleh bangsa ini, yaitu bagaimana etika politik dapat berdampingan dengan perangkat aturan hukum. Ke depan perlu pengaturan etika politik yang dimasukkan ke ranah hukum. Misalnya larangan rangkap jabatan, antara jabatan publik dengan jabatan di parpol. Selain itu, dipertegas juga tentang larangan melakukan kampanye pemilu legislatif maupun pemilukada, bagi pejabat publik khususnya bagi presiden/wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, wali kota/wakil wali kota, dan bupati/wakil bupati. Semoga pemilu 2014 merupakan pemilu terakhir bagi hadirnya parade pejabat publik berkampanye di arena panggung politik bangsa ini. ***
Editor: daf 
 
Sumber: tribun Jabar

Copyright © Cecep Darmawan | Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia