18 Desember 2010

Desa Peradaban

Oleh: Cecep Darmawan
Dosen Program Doktor Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

Pada 2010 sebanyak 100 desa yang tersebar di 17 kabupaten di Jawa Barat dijadikan percontohan program Desa Peradaban. Menurut Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Jabar, Desa Peradaban merupakan desa yang maju kehidupan lahir batinnya dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, keamanan dan ketertiban, kedaulatan politik, peran serta masyarakat, lembaga kemasyarakatan, dan kinerja pemerintahan desa.

Selain itu, Desa Peradaban juga memiliki indikator yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas sosial yang memadai, dengan tekad kemandirian dan kehendak untuk maju. Kebijakan seperti ini sejatinya merangsang lahirnya kreativitas pemerintah daerah untuk membangun karakter daerah sesuai dengan potensinya. Berbagai potensi daerah bisa dilihat, baik dari sisi keunikan sumber daya alam, lingkungan geografis, maupun kekayaan budaya daerahnya.

Semua hal itu merupakan modal pembangunan yang harus dimanfaatkan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, sehingga benar-benar menjadi satu kekuatan unik dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Akselerasi pembangunan daerah menjadi penting, tidak saja terkait dengan kebutuhan untuk melakukan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, tetapi juga terkait dengan usaha pemenuhan standar kebutuhan dan kualitas manusia. Indeks pembangunan manusia (IPM) manusia Jabar diharapkan akan dapat meningkatkannya dengan baik, sejalan dengan adanya penguatan daerah. Stagnasi pembangunan

Stagnasi pembangunan kesejahteraan di daerah bisa terjadi pada beberapa tingkat. Pertama, yaitu salah orientasi pembangunan. Daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, akan mengalami kegagalan pembangunan daerah manakala orientasinya tetap mengacu pada program nasional dan mengabaikan kebutuhan daerah.

Di era otonomi daerah ini, agenda pembangunan daerah semestinya merupakan sinergi antara visi pembangunan nasional dan kebutuhan daerah, yang dirumuskan dalam visi pembangunan daerah yang realistis. Kedua, lemahnya kecerdasan daerah dalam melakukan identifikasi, eksplorasi potensi, dan konstruksi kebutuhan daerah. Indikasi adanya pemekaran sebagai "area" pertarungan politik elite daerah merupakan awal dari kegagalan adanya kesadaran daerah untuk membangun daerah. Pemekaran daerah bukan menjadi misi pembangunan, melainkan menjadi "obyek" politik elite daerah. Karena dorongan politik yang berbeda dengan misi kebijakan otonomi daerah, kecerdasan daerah untuk membangun menjadi sesuatu yang minim tampil di berbagai daerah di Jabar.

Hal itu setidaknya bila dikaitkan dengan rendahnya "dinamika" percepatan pembangunan daerah di Jabar. Sejumlah kabupaten/kota yang dianggap ber-PAD tinggi tetap dipegang oleh daerah-daerah yang "dulunya" sudah berhasil melaksanakan pembangunan. Begitu pula sebaliknya, sejumlah daerah yang dianggap "gagal" mengorekasi sumber daya daerahnya tetap berada pada posisi sebagai kabupaten/kota yang peningkatannya lambat.

Terakhir, yaitu tiadanya implementasi visi yang membumi. Bila kita jalan-jalan ke daerah pelosok Jabar, kita akan menemukan sejumlah rumusan visi atau slogan yang diusung pemerintah daerah. Bagi pengusungnya, mungkin itu adalah bentuk visi pembangunan daerah atau penguatan karakter daerah. Hal-hal kritis yang perlu diajukan adalah apakah rumusan itu mengacu pada potensi dan kemampuan daerah atau hanya mengacu pada usaha mencari akronim yang "puitis" tanpa makna filosofis? Apakah rumusan visi itu menjadi acuan dalam merumuskan program atau hanya menjadi slogan belaka?

Terkait dengan persoalan ini, ide Pemerintah Provinsi Jabar mengembangkan Desa Peradaban menjadi sesuatu yang menarik. Menarik bukan saja dari sisi konsep atau visinya, melainkan juga perlu dikontekskan untuk usaha penguatan daerah dalam kerangka implementasi otonomi daerah di Jabar.

Identitas daerah

Otonomi daerah memberikan ruang yang luas untuk melakukan kreasi dan inovasi program pembangunan daerah. Kreasi dan inovasi itu diacukan pada potensi, kemampuan, dan kebutuhan daerah sehingga menjadi identitas daerah.

Kendati demikian, tidak cukup hanya mengidentifikasi sumber daya daerah. Pemerintah daerah harus sampai pada titik mengevaluasi kekuatan sumber daya daerah itu. Itulah yang disebut sebagai kemampuan. Kita memang punya kekayaan alam, tetapi seberapa cukup potensi itu digunakan sebagai sumber ekonomi daerah?

Artinya, ketersediaan sumber daya daerah belumlah dapat digunakan sebagai aset daerah bila daya dukungnya sangat minim. Pada bagian inilah, analisis terhadap kekuatan atau kemampuan sumber daya daerah menjadi bagian penting dalam mengaktualisasi agenda pembangunan daerah.

Sebagai contoh kecil, setiap daerah memiliki lahan kosong untuk pertanian. Tetapi, berapa kompetitif nilai tanah pertanian di Kota Bandung dengan daerah Indramayu atau Subang? Di sinilah perbedaan antara ketersediaan sumber daya daerah dan kemampuan sumber daya daerah. Dengan kata lain, konsepsi kemampuan sumber daya daerah yang kita maksudkan ini mengacu pada kualitas sumber daya alam dalam memainkan peran sebagai potensi pembangunan daerah untuk membantu peningkatan kesejahteraan rakyat.

Tahapan itu kemudian disinergikan dengan kebutuhan daerah. Dalam prinsip demokrasi pembangunan, agenda pembangunan adalah dari kebutuhan rakyat, bersama rakyat, dan untuk kepentingan rakyat. Kebutuhan atau aspirasi rakyat adalah bagian penting dalam meningkatkan partisipasi sekaligus efektivitas agenda pembangunan daerah.

Melalui koridor analisis itulah, diharapkan akan lahir identitas daerah sesuai dengan potensi dan atau karakternya masing-masing. Di Jabar berpotensi lahir daerah-daerah dengan identitas orientasi pembangunan yang beragam. Semisal, ada desa pertanian, desa industri, desa pendidikan, kampung jasa, kampung budaya, dan lain sebagainya.

Semua itu adalah pilihan orientasi pembangunan sesuai dengan potensi masing-masing. Hal yang ingin digarisbawahi, berbagai identitas daerah itu diharapkan merupakan terjemahan langsung dari demokrasi pembangunan, dan bukan sekadar slogan politik yang kehilangan pijakannya.

Pada konteks inilah, usungan konsep Gubernur Jabar untuk membangun Desa Peradaban yang merupakan ijtihad politik daerah diharapkan dapat dikontekskan untuk akselerasi pembangunan. Konsep Desa Peradaban ini mengingatkan kita pada titik awal kebangkitan peradaban, misalnya di Yunani yang berawal dari polis, atau sebuah kota peradaban, atau madinah (kota peradaban nabi). Kebangkitan peradaban besar dunia itu berawal dari muncul dan berkembangnya desa peradaban.

Becermin pada itu pula, semoga akan lahir kabupaten dan provinsi berperadaban dari desa-desa peradaban di Jabar.



Sumber Kompas

Copyright © Cecep Darmawan | Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia