”Pendidikan karakter menjadi tanggung jawab semua pihak, guru, kepala sekolah, orang tua, pemerintah, dan masyarakat,” ungkap Kang Cecep kepada Humas ISPI. Berikut ini hasil wawancara lengkap dengan ayah dari tiga anak itu.
Humas ISPI : menurut bapak, apa pengertian pendidikan karakter itu?
Cecep Darmawan : Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai suatu upaya terencana dan sistematis untuk menanamkan nilai-nilai positif kepada warga negara agar terbentuk karakter pribadi yang berkeadaban mulya. Adapun komponen yang ditanamkan kepada warga negara tersebut meliputi ranah pengetahuan, perasaan, dan tindakan yang berbasis keimanan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berorentasi kepada nilai kemaslahatan bagi kemanusiaan. Intinya karakter warga negara ini haruslah ditopang oleh nilai-nilai Ilahiyah, sehingga prilaku warga negara itu terpancarkan prilaku yang imaniah dan kesholehan sosial. Jika dalam diri warga negara itu tertanam karakter positif tadi, maka nilai-nilai prilaku dirinya akan merasa diawasi oleh Tuhan Yang Maha Esa, sehingga apapun yang dilakukannya mesti menjadi kemaslahatan bagi dirinya, keluarga, orang lain, lingkungan alam,lingkungan sosial, bangsa dan negaranya, dan dunia pada umumnya.
Humas ISPI : apakah perlu adanya pendidikan karakter?
Cecep Darmawan : perdebatan yang akhir-akhir ini menjadi wacana publik terkait soal pendidikan karakter, sebenarnya sudah diamanatkan oleh UU Sisdiknas tadi. Pendidikan inheren di dalamnya pembentukan karakter. Sehingga, pendidikan karakter sejatinya bukalah persoalan baru dan bukan pula sebagai mata pelajaran baru. Kegagalan pendidikan kerap dituding sebagai faktor determinan munculnya berbagai persoalan kemanusian, kebangsaan, dan kenegaraan. Pendidikan dianggap belum berkarakter dan belum mampu melahirkan generasi baru yang memiliki karakter warga negara yang baik dan bermanfaat bagi pembangunan. Betapa negeri ini seolah salah urus pendidikan. Pendidikan hanya diukur oleh utak-atik angka-angka kuatitatif, seperti IPK, UN, dll. Sementara sikap, prilaku, dan moralitas positif perserta didik acap tidak menjadi barometer baik bagi kelulusan seseorang maupun prestasinya. Padahal justru tujuan pendidikan itu sendiri pada hakikatnya, tidak hanya menambah pengetahuan semata, melainkan secara seimbang dan serasi mesti menanamkan karakter positif terhadap sikap, prilaku, dan tindakan seseorang. Hal ini dimaksudkan agar manusia yang berpendidikan itu sehat otaknya sekaligus waras qolbu dan prilakunya. Tanpa keseimbangan itu, pendidikan hanya menghasilkan orang-orang yang pintar secara nalar ilmiah, tetapi miskin nurani Ilahiyah. Itulah sebabnya, tidak mengherankan jika kita menyaksikan orang-orang “pintar” mengabaikan etika dan moraliltas sehingga terjerumus menjadi koruptor. Diyakini, dengan kecanggihan berfikir nalar tadi, seseorang dapat “mengakali” sesuatu sebagai dasar pembenaran tindakannya. Padahal sesungguhnya tindakan tersebut merugikan orang lain, bangsa, dan negaranya sendiri. Mereka yang sejatinya menjadi bagian solusi dari persoalan kemasyarakatan dan kebangsaan, malah menjadi beban sosial yang merugikan lingkungan sekitarnya. Dari dimensi moral, ditenggarai orang-orang yang hanya pintar secara aqliyah jauh lebih berbahaya daripada orang “bodoh”. Orang yang pintar hanya secara aqliyah, dia akan menjadi orang yang egois, pragmatis, hedonis, materialis, dan tak berprikemanusiaan. Persoalannya bagaimana pendidikan yang dituding sebagai sumber masalah ini, dapat menjadi solusinya. Pendidikan mesti kembali kepada “habitat” aslinya yakni menanamkan karakter positif warga negara. Hal ini sesuai dengan fungsi pendidikan sebagimana tersurat dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menjelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bahkan rumusan tujuan pendidikan nasional dinyatakan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Humas ISPI : apa yang melatarbelakangi pentingnya pendidikan karakter?
Cecep Darmawan : Pendidikan karakter sedang hangat diperbincangkan. Kuatnya desakan berbagai pihak terhadap pentingnya pendidikan karakter, mengindikasikan bahwa pendidikan belum berhasil merubah watak bangsa. Hari Pendidikan Nasional tahun ini pun mengangkat tema “Pendidikan Karakter untuk Membangun Peradaban Bangsa”. Tema tersebut diambil, sebagai respon pemerintah terhadap kegelisahan masyarakat terutama maraknya fenomena korupsi, tawuran, geng motor, free sex, narkoba, KDRT, peselingkuhan,praktek money politic, dll. Semakin maraknya penyimpangan sosial yang berkembang di masyarakat semakin dirasakan betapa pentingnya pendidikan karakter bagi bangsa kita.
Humas ISPI : dalam pelajaran agama dan PKn bukannya telah ada pendidikan karakter itu?
Cecep Darmawan : Sekali lagi pendidikan itu hakikatnya menanamkan karakter, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa pendidikan karakter hanya ada dalam mata pelajaran agama dan PKN. Sebagai leading sector adalah pendidikan agama dan Pkn saya setuju, tetapi pendidikan karakter adalah amanat bagi seluruh mata pelajaran. Dengan demikian tidaklah benar anggapan bahwa pendidikan karakter hanya urusannya mata pelajaran PKN atau agama an sich. Pendidikan karakter melekat pada hakikat pendidikan itu sendiri sehingga kewajiban yang harus dilakukan para pendidikan mata pelajaran apapun. Ketidakberesan dalam lingkup pendiidkan tidak semestinya ditudingkan semata-mata kepada kegagalan mata pelajaran pendidikan Agama dan PKn, melainkan kepada semua mata pelajaran yang diajarakan di sekolah, termasuk matamatika, fisika, dll. Bahkan tidak adil jika pendidikan karakter, hanya dibebankan kepada insitusi sekolah semata. Pendidikan karakter mesti ditanamkan dan diawali di rumah, ditopang oleh lingkungan yang sehat dan pemerintah yuang menjadi tauladan.
Humas ISPI : pendidikan bekarakter itu perlu diajarkan secara khusus atau masuk dalam pelajaran yang telah ada?
Cecep Darmawan : Sekali lagi, pendidikan karakter bukan sebagai mata pelajaran . Semua mata pelajaran wajib mengarahkan siswanya menjadi manusia yang berkarakter positif. Secara praktis, pendidikan karekter yang kaitannya dengan pendidikan moral sesunguhnya sudah dicontohkan oleh para nabi dan rosul serta para sahabat dan orang-orang sholeh. Secara teoretik, pendidikan karakter misalnya dapat ditelusuri dari pandangan seorang Jerman yaitu FW Foerster (1869-1966). Bahkan dari sisi pendidikan moral, dikenal J Piaget dan L Kohlberg, yang intens menjelaskan tentang perkembangan kognitif dan moral siswa yang harus menjadi pertimbangan guru dalam proses pembelajaran.
Humas ISPI : bagaimana sebaiknya kurikulum pendidikan karakter?
Cecep Darmawan : Tidak perlu ada kurikulum khusus pendidikan karakter dalam mata pelajaran.
Humas ISPI : siapa yang bertanggung jawab dalam pendidikan karakter?
Cecep Darmawan : semua pihak, guru, kepala sekolah, orang tua, pemerintah, dan masyarakat.
Humas ISPI : bagaimana penerapan pendidikan karakter itu di sekolah dan perguruan tinggi?
Cecep Darmawan : yang terpenting keteladanan dari para pengelola di sekolah dan PT. Selain itu, ada juga resep dari Thomas Lickona (1992), yang memperkenalkan konsep “Smart and Good” citizen melalui “respect and responsibility”. Lickona mengajukan enam elemen yang harus dipertimbangkan dalam pembentukan karakter dan kultur moral di sekolah yakni, kepemimpinan moral kepala sekolah, disiplin, rasa kekeluargaan, suasana demokratis, kerjasama yang harmonis,dan ketersediaan waktu untuk memecahkan masalah-masalah moral di sekolah.
Humas ISPI : apa kendala dan hambatan dalam menerapkan pendidikan karakter?
Cecep Darmawan : Satu, Sistem pendidikan yang hanya menghargai angka-angka kuantitatif prestasi siswa/mhs (UN,IPK). Dua, masih Kurangnya keterladanan dari sebaagian para pengelola sekolah, pemerintah, dan tokoh masyarakat. Tiga, proses pembiasaan dan pembudayaan di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang kurang intens. Empat, sekolah masih lebih menghargai siswa yang IPK nya tinggi dibandingkan siswa yang “berkarakter”.