04 Desember 2023

Zonasi Vs Zonatif�


Penulis: Cecep Darmawan Satujuang.com- Integritas dunia pendidikan kembali tercoreng. Kini marak kasus kecurangan dalam pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB) 2023 di berbagai daerah menjadi sorotan.


Contoh kasus di Jawa Barat, sebanyak 4.791 calon siswa dibatalkan pendaftarannya karena diduga melakukan praktik ilegal dalam seleksi PPDB. Praktik kecurangan dalam PPDB ini bisa jadi seperti fenomena gunung es yang berpotensi terjadi di sejumlah daerah lainnya, tetapi tidak muncul ke permukaan. 

Bentuk kecurangannya pun beragam mulai praktik ‘zonatif' alias zonasi fiktif melalui manipulasi data dengan cara mengubah domisili di kartu keluarga ataupun melakukan pelanggaran zonasi titipan melalui relasi kuasa dengan oknum-oknum yang memiliki pengaruh kuat. Maraknya kasus pelanggaran hukum dalam PPDB ini harus dievaluasi secara serius dan komprehensif. Pasalnya, praktik-praktik ilegal ini telah menjadi preseden buruk setiap tahunnya dalam pelaksanaan PPDB. 

Penegakan hukum secara sistemis Pendekatan sistemis dari Lawrence M Friedman dan Grant M Hayden (2017) dapat diimplementasikan guna memperkuat penegakan hukum (law enforcement) mencakup struktur, substansi, dan kultur dalam proses PPDB. Aspek pertama, secara struktur atau kelembagaan, proses PPDB dapat melibatkan para penegak hukum. Seperti kepolisian dan Kejaksaan guna melakukan pengawasan sekaligus sosialisasi pencegahan dan penegakan hukum terkait dengan berbagai bentuk potensi pelanggaran dalam seleksi PPDB. Selain itu, dengan melibatkan aparat penegak hukum, berbagai bentuk kecurangan dalam PPDB yang termasuk ranah pidana, dapat ditindak secara responsif. 

Tahun Ini Pasalnya, temuan di lapangan, sering kali bentuk kecurangan yang semestinya masuk kategorisasi pidana, seperti penipuan dan pemalsuan dokumen, hanya diberikan sanksi administratif. Padahal, jika sudah menyangkut delik pidana, sanksinya tidak berhenti pada sanksi administratif, tetapi ada sanksi pidana yang dalam penegakannya perlu melibatkan aparat penegak hukum. Aspek kedua, secara substansi berbagai ketentuan sanksi baik administratif maupun pidana terkait dengan seleksi PPDB perlu dipertegas. Pasalnya, dalam Permendikbud Nomor 1/2021 tentang PPDB pada TK, SD, SMP, SMA, dan SMK, tidak mengatur secara jelas dan tegas terkait dengan sanksi bagi para pelanggar dalam seleksi PPDB. Apalagi, sanksi terhadap pemalsuan kartu keluarga dalam seleksi PPDB tidak diatur dalam Permendikbud Nomor 1/2021. 

Untuk itu, secara substansi peraturan perundang-undangan terkait dengan PPDB perlu mengatur secara komprehensif terkait dengan sanksi, khususnya sanksi administratif. Sanksi administratif dapat diatur dalam peraturan menteri, peraturan gubernur, peraturan bupati/wali kota, tetapi tidak boleh mengatur sanksi pidana. Sanksi pidana sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 12/2011 sebagaimana diubah oleh UU Nomor 13/2022. Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hanya dapat diatur dalam undang-undang, peraturan daerah provinsi, atau peraturan daerah kabupaten/kota. Jika pemerintah ingin memasukkan sanksi pidana dalam PPDB, pengaturan PPDB di daerah harus tercantum dalam peraturan daerah. 

Masalahnya bagaimana kalau sekarang ada perbuatan pidana dalam kasus PPDB, semisal pemalsuan dokumen? Tindakan atau perbuatan pemalsuan dokumen dalam PPDB termasuk perbuatan kriminal murni atau pidana biasa. Merujuk Pasal 263 pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), perbuatan pemalsuan dokumen diancam hukuman penjara selama-lamanya enam tahun. Karena pemalsuan dokumen termasuk delik pidana biasa, perkara tersebut harus dapat diproses tanpa adanya aduan sekali pun. Perlu diketahui bahwa perbuatan atau tindakan pemalsuan dokumen dalam PPDB, walaupun misalnya pihak sekolah telah mencabut laporannya kepada pihak kepolisian, penyidik akan terus melanjutkan proses perkara sampai persidangan. Memperkuat integritas pendidikan Aspek terakhir secara kultur atau budaya hukum, perlu adanya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat secara luas terkait dengan hal ihwal PPDB dan penegakan hukumnya. 

Budaya hukum ini penting guna memperkuat integritas pendidikan. Seluruh elemen masyarakat, bangsa, dan negara perlu memahami bahwa pendidikan memiliki nilai-nilai luhur yang tidak boleh dicederai oleh praktik-praktik ilegal seperti yang terjadi dalam seleksi PPDB. Terlebih PPDB merupakan langkah awal yang menentukan proses penyelenggaraan pendidikan ke depannya secara berintegritas. Jika di hulunya saja sudah tercederai oleh praktik-praktik kecurangan, proses pendidikan guna membangun bangsa yang berintegritas tentu akan jauh dari harapan. 

Di samping itu, guna memperkuat budaya hukum masyarakat agar tidak lagi melakukan pelanggaran dalam seleksi PPDB, pemerintah pun diharapkan terus mengakselerasi upaya standardisasi delapan standar nasional pendidikan. Munculnya pelanggaran dalam seleksi PPDB, bagaimanapun salah satunya disebabkan oleh faktor keinginan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah favorit atau unggulan. Namun, disebabkan keinginan tersebut dibatasi oleh PPDB zonasi sehingga membuat oknum masyarakat menghalalkan berbagai cara instan agar anaknya masuk ke sekolah favorit atau unggulan tersebut. Stigmatisasi masyarakat tentang sekolah favorit bagaimanapun tidak bisa dihilangkan begitu saja. Sebaliknya, pemerintah perlu memperbanyak sekolah favorit tersebut dengan mengoptimalkan pemenuhan delapan standar nasional pendidikan sebagai syarat mutlak dalam seleksi PPDB zonasi. 

Oleh karenanya, perlu adanya road map guna memperbanyak sekolah unggulan secara bertahap dan berkelanjutan. Jika seluruh sekolah telah unggul dan berkualitas, kecurangan dalam PPDB zonasi dapat diminimalkan. Dengan demikian, melalui berbagai upaya penguatan di atas, diharapkan dapat membenahi penegakan hukum secara sistemis guna menindak para oknum yang melakukan praktik ‘zonatif' alias zonasi fiktif ataupun zonasi titipan.(mediaindonesia)   Penulis adalah Guru Besar dan Ketua Prodi Magister dan Doktor Pendidikan Kewarganegaraan FPIPS UPI

Sumber: (https://www.satujuang.com/zonasi-vs-zonatif/) Follow kami di Google News, klik: https://shorturl.at/oHOTX

Prof. Cecep: Politic is Game, Siga rek Maen Bola Lah


VISI.NEWS –
 Guru besar ilmu politik UPI Bandung, Prof. Dr. Cecep Darmawan, S.Pd., S.Ip., M.Si., M.H., mengatakan, politic is the game sehingga orang terjun ke politik, terjun sebagai calon bupati/calon wakil bupati harus penuh perhitungan. Ia bersama timnya harus bisa mengukur potensi kekuatannya sendiri, menghitung kekuatan dan kelemahan lawan, harus terlatih bagaimana memenangkan ‘permainan’ walau sama-sama kuat.

“Jadi, jangan sampai orang bermain politik teh kumaha engke. Harus dilatih dulu seperti juga sepakbola, melihat kesiapan lawan, kelemahan lawan, dimana kekuatan kita, bagaimana permainan walaupun sama-sama kuat, tapi juga ada yang disebut soft skill. Nah dalam politik itu ada soft skill juga. Mungkin selain kefiguran, bisa juga dia seorang ahli dalam bidang agama, mungkin dia seorang hafidz, dia seorang penyanyi, dimainkan potensi itu.” ujar Cecep kepada VISI.NEWS, Jumat (12/6/2020) pagi.

Jadi intinya, kata Cecep, kalau istilah dalam politik itu ada panggung depan dan juga panggung belakang. “Nah ketika dipanggung depan, semua persiapan itu harus sudah paripurna, harus sudah sempurna, menampilkan yang bagus-bagus, kita kelihatan manis, biarkan panggung belakang mah ribut-ribut juga, misalnya kurang uang, jangan sampai tahu masyarakat figur ini kurang uang, karena permainnan, politic is game, ya politik itu permainan. Bisa menang bisa kalah, bukan hanya kekuatan pribadi seseorang, bukan hanya figur, tapi banyak faktor,” tandasnya.

Fokus pada program

Dalam masyarakat yang tradisional, kata Cecep, ngadu program itu harus didukung oleh kefiguran. Selain figur calon yang menyampaikannya, juga harus dirangkul tokoh-tokoh maysrakat yang juga bisa menyampaikan program andalan figur calon itu. “Jadi misalnya, di Kampung A yang lebih dikenal itu si B, nah kalau calon itu tidak begitu dekat dengan masyarakat di kampung itu, tarik si B untuk mensosialisasikan itu, itu akan hebat,” ujarnya.


Disamping kefiguran, Cecep mengatakan yang harus dikedepankan adalah mengadu program, dalam pengertian tidak perlu kita menjelek-jelekan lawan tetapi lihat apa yang diprogramkannya. “Misalnya, keluarga incumben akan melanjutkan program icumbennya, kita ngadu okey seperti apa programnya, kita itu begini nih. Upayanya begini, kebijakannya begini, kalau masyarkat memilih kita. Jadi ngadu program itu jauh lebih baik dan lebih rasional,” katanya.

Dengan mengedepankan program, kata pria kelahiran Subang tahun 1969 ini, keuntungannya ada dua. Pertama, katanya, melakukan pendidikan politik kepada masyarakat dan yang kedua melakukan dukungan kepada yang bersangkutan dengan meyakinkan dulu maysrakat bahwa programnya rasional dalam kontek kampanyenya melibatkan berbagai stakeholder. “Juga program itu tidak ngawang-ngawang, realistis, ada base practisenya, dengan mengadopsi di berbagai daerah, juga dari luar. Dan, juga kalau mau, berbasis program itu yang bersangkutan harus menguasasi sepenuhnya permasalahan yang ada di daerah itu,” tandasnya.

Misalnya, kata Cecep, main problemnya itu apa? Dalam bidang edukasi rata-rata lama sekolah berapa, RLS-nya, bandingkan dengan Jawa Barat, jugaa dengan kabupaten lain, dengan nasional bagaimana, dimaping, dibukukan saja. Belum persoalan-persoalan lain, ekonomi, budaya dan lain-lain. “Nanti ujung-ujungnya itu butuh figur. Sebetulnya persoalan-persoalan yang tadi itu bisa di skor. Nah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan di daerah tersebut butuh figur untuk menyelesaikannya. Figur tersebut berapa persen bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada. Ah menarik politik itu, ada matematika politik.

“Kedua kegagalan-kegagalan daerah itu dari sisi apa? Oh butuh penguatan disana sini, harus ada konsultan politiknya, dan saya siap,” ujarnya tersenyum.

Tapi kata Cecep, dari segi ilmu yang memang harus seperti itu, infrastruktur partai harus diperhitungkan, dukungan finansial juga. “Nah itu harus dihitung, banyak faktor, juga isu-isu nasional yang berhubungan dengan daerah itu sangat berpengaruh,” ujarnya.

Pengamat: Mahasiswa Sebaiknya Tetap Kerjakan Jurnal Ilmiah


Pengamat Kebijakan Pendidikan Cecep Darmawan tidak setuju dengan Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Di dalam beleid itu disebutkan mahasiswa untuk S2 dan S3 bisa dibebaskan dari tugas tesis atau disertasi.


Menurut Cecep, mahasiswa S2 dan S3, terutama jalur akademik, sebaiknya tetap melakukan riset dan tidak mengganti itu dengan penciptaan karya inovatif. “Saya kurang sepakat ketika bicara S3. Kalau saya S3 mestinya tetap harus disertasi. Kecuali kalau S3 terapan. Kan ada doktor terapan dan doktor akademik. Kalau doktor terapan, oke, lah. Itu bisa dipertimbangkan bentuk lain. Namun, Kalau doktor jalur akademik, harusnya wajib. Kalau di Permendikbudristek itu kan doktor dan doktor terapan, jadi dua-duanya bisa nondisertasi. Itu yang saya kurang sepakat. Harusnya doktor terapan saja yang nondisertasi,” kata Cecep kepada Media Indonesia, Kamis (31/8).


Menurutnya, riset wajib dilakukan karena mahasiswa yang menempuh pendidikan S3 di jalur akademik harus bisa menguraikan filosofi keilmuan di bidang mereka. Penguraian filosofi itu hanya bisa dilakukan jika mereka melakukan riset disertasi. Hal serupa sedianya juga berlaku pada jenjang di bawahnya. Pemerintah harus menerangkan secara jelas bidang pendidikan apa yang membutuhkan skripsi dan yang tidak.

“Itu harus dipilah juga. Seperti apa yang tidak harus skripsi? Bentuk lainnya itu apa? Misalnya berbasis proyek, ada prototipe, itu harus diperjelas,” imbuhnya. Cecep juga membantah sejumlah pernyataan yang menyebut skripsi tidak ada fungsinya sama sekali ketika masuk dunia kerja. Menurutnya, ada banyak manfaat yang bisa dieptik dari mengerjakan skripsi. Di situ, lanjutya, ada proses pembelajaran yang didapat seperti bagaimana merumuskan masalah, mencari data, dan melatih kemampuan analisis. “Nilai dari skripsi itu tidak sekadar dari yang dihasilkan riset. Ada banyak manfaatnya, tidak hanya hard skill, tetapi juga menuntut soft skill. Apakah bermanfaat untuk dunia kerja? Tentu sangat bermanfaat. Bagaimana dia ulet, disiplin, rajin, tanggung jawab. Itu bagian dari tanggung jawab yang dibawa ke dunia kerja. Salah juga kalau menafsirkan tidak ada manfaatnya di dunia kerja,” tandas Cecep. (Z-11)

Sumber: https://mediaindonesia.com/humaniora/609453/pengamat-mahasiswa-sebaiknya-tetap-kerjakan-jurnal-ilmiah

Pengamat Kebijakan: Bey Machmudin Harus Ubah Gaya Kepemimpinan di Jawa Barat


KORANMANDALA.COM – Hampir tiga bulan, Provinsi Jawa Barat dipimpin oleh Penjabat (Pj) gubernur bernama Bey Triadi Machmudin.

Bey resmi dilantik pada 5 September 2023 menggantikan Ridwan Kamil yang telah habis masa jabatannya sebagai gubernur definitif.


Pengamat Kebijakan Publik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prof. Cecep Darmawan mengatakan, saat ini Bey belum menunjukkan progres signifikan selama memimpin Jawa Barat.

Dia menyebut, Bey harus responsif harus terjun ke tengha-tengah masyarakat hingga perguruan tinggi untuk menghimpun keresahan.


“Jadi tugas Pj itu jangan hanya landai. Harus responsif,” kata Cecep pada Sabtu, 4 November 2023.


Guru besar UPI itu menilai, sebagai pejabat publik, Bey masih terlalu lembut. Oleh karena itu, Bey mestinya segera menyesuaikan atau mengubah gayanya semasa menjadi Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media, Sekretariat Presiden.


“Kurang greget, terlalu soft. Jadi harus cepat berurusan dengan publik, masyarakat. Harus berubah gayanya. Memang dia bukan politisi, tapi dia harus mengubah gayanya, jangan terlalu birokrat,” ungkapnya.


Menurutnya, Jawa Barat membutuhkan ketegasan dari Bey termasuk melobi ke pemerintah pusat apabila ada persoalan pembangunan yang kurang bisa diselesaikan oleh APBD. Hal itu seharusnya diakselerasi oleh Bey karena di berada di lingkaran istana.


“Coba minta bantuan ke pusat. Kan dia orang pusat, orang istana, harus lebih kelihatan dukungan pusat ke Jabar. Ya mungkin sudah ada tapi kita belum tahu riilnya seperti apa,” tuturnya.


Cecep menambahkan, Bey tidak bisa hanya mengandalkan kepala dinas ketika ada dinamika di lapangan. Jawa Barat memerlukan sosok pemimpin yang responsif terhadap persoalan publik.


https://www.koranmandala.com/daerah/40971/pengamat-kebijakan-bey-machmudin-harus-ubah-gaya-kepemimpinan-di-jawa-barat/

Copyright © Cecep Darmawan | Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia