05 Januari 2023

Rem Darurat Anies Baswedan yang Timbulkan Perdebatan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Cecep Darmawan, Guru Besar Ilmu Politik UPI dan Sekretaris II Persatuan Guru Besar/Profesor Indonesia

Meski mendapat berbagai tekanan, akhirnya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dimulai Senin, 14 September 2020. Anies menekankan pentingnya PSBB di DKI Jakarta.

Kebijakan PSBB jidil II, dikeluarkan Anies sebagai bentuk rem darurat. Anies melihat kondisi tingkat kasus positif dan tingkat kematian akibat covid-19 di DKI Jakarta cenderung meningkat, sementara berbagai fasilitas kesehatan khususnya ketersediaan tempat tidur isolasi dan ICU khusus pasien covid-19 semakin terbatas.

Kebijakan PSBB jilid II atau langkah rem darurat yang dikeluarkan Anies ini, menuai perdebatan berbagai kalangan. Yang menarik kontroversi ini melibatkan elite pemerintahan pusat, elite partai politik, maupun kepala daerah lainnya.

Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, misalnya memberikan pandangan terkait kebijakan PSBB total di DKI Jakarta. Ridwan Kamil bahwa kebijakan di Jakarta akan berdampak tak hanya regional, tetapi juga nasional. Untuk itu, ia menyarankan agar Anies berkonsultasi terlebih dahulu dengan pemerintah pusat.

Sementara, Anies sendiri menyebutkan pemerintah pusat telah mendukung rencana Pemprov DKI terkait rem darurat untuk menerapkan PSBB ketat. Atas silang pendapat ini, publik dibuat bingung.

Kebijakan masa pandemi kerap terkesan seakan akrobat-akrobat kebijakan. Alih-alih mencari solusi, yang terjadi malah kontroversi dan perdebatan yang kurang elok.

Atas diskursus PSBB Jilid II di DKI Jakarta ini, penulis menilai problematika utama dari keputusan PSBB total di DKI Jakarta disebabkan adanya kegamangan fokus kebijakan dari pemerintah. Kegamangan ini terkait ketidakjelasan pilihan mana yang diutamakan dalam menangani pandemi, apakah kebijakan dengan paradigma kesehatan ataupun kebijakan berparadigma ekonomi yang diperhatikan.

Selain itu, langkah kebijakan yang diambil pun seringkali inkonsisten dalam penerapannya. Jika pada awalnya pemerintah pusat menilai kebijakan PSBB merupakan langkah yang tepat dari pada lockdown, justru kini pemerintah pusat menilai bahwa Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM) lebih efektif dalam menghadapi pandemi covid-19. Padahal ditinjau secara aturan, dalam UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan tidak mengenal istilah PSBM tersebut.

UU No. 6 Tahun 2018 hanya mengatur terkait PSBB pada Pasal 59 yang menyebutkan bahwa Ayat (1) Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan bagian dari respons Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Ayat (2) Pembatasan Sosial Berskala Besar bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi antar orang di suatu wilayah tertentu. Ayat (3) Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. peliburan sekolah dan tempat kerja; b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Ayat (4) Penyelenggaraan Pembatasan Sosial Berskala Besar berkoordinasi dan bekerja sama dengan berbagai pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.

Di samping inkonsistensi kebijakan, persoalan utama dalam kebijakan penanganan covid-19 ini ialah komunikasi, koordinasi, sinkronisasi, dan sinergi antarpemerintahan yang kurang baik. Pola komunikasi pemerintahan tidak efektif bahkan terkesan kontradiktif. Seakan-akan tidak ada komunikasi dan koordinasi satu alur yang jelas dari pemerintah.

Sumber: Republika

Meredesain Pendidikan Masa Depan

Oleh: Cecep Darmawan | Guru Besar dan Ketua Prodi Magister dan Doktor Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia 

PENYELENGGARAAN pembangunan akan memasuki babak akhir 2022. Upaya evaluasi sekaligus refleksi atas capaian-capaian pembangunan mesti dilakukan. Termasuk terhadap penyelenggaraan pendidikan, perlu evaluasi komprehensif dan mendalam baik secara makro maupun mikro. Refleksi ini sebagai ikhtiar sejauh mana kemajuan dan kualitas pendidikan di Indonesia telah diraih pada 2022.


Secara makro, indeks pendidikan di Indonesia masih relatif rendah. Kondisi ini ditunjukkan dengan sejumlah indikator yang membangun kerangka indeks pendidikan tersebut. Misalnya, berdasarkan data BPS RI (2022), angka rata-rata lama sekolah (RLS) secara nasional pada 2022 baru sebesar 8,69. Angka RLS ini hanya meningkat 0,15 poin dari 2021, yakni sebesar 8,54 (BPS RI, 2022). Dengan angka RLS ini menunjukkan bahwa jika dirata-ratakan penduduk di Indonesia dalam rentang usia tertentu, hampir lulus dengan SMP. Tentunya kondisi ini masih jauh dari harapan Indonesia Emas 2045.

Selain itu, berdasarkan data BPS RI (2022), angka harapan lama sekolah (HLS) secara nasional pada 2022 masih sebesar 13,10. Angka HLS ini hanya meningkat 0,02 poin dari 2021, yakni sebesar 13,08 (BPS RI, 2022). Kondisi ini menunjukkan bahwa anak-anak di Indonesia yang berusia 7 tahun ke atas hanya memiliki rata-rata peluang untuk menamatkan pendidikan formal setara dengan Diploma 1 (D-1). Aspek lain yang perlu disorot pun ialah terkait dengan angka partisipasi kasar perguruan tinggi (APK PT) di Indonesia berdasarkan data BPS RI 2022, masih begitu rendah, yakni sebesar 31,16. Angka APK PT ini justru menurun 0,03 dari 2021, yakni sebesar 31,19. Oleh karenanya, melihat angka-angka makro pendidikan di atas, menunjukkan jika perkembangan aksesibilitas, mutu, dan kualitas pendidikan di Indonesia masih relatif rendah dan jauh tertinggal dengan bangsa lain.  

Sepanjang 2022 Di samping statistik indeks pendidikan yang relatif rendah, perlu dicermati jika sepanjang 2022 terdapat sejumlah isu-isu terkait dengan pendidikan yang disorot dan menjadi diskursus publik secara luas. Isu tersebut mencakup aspek regulasi, kebijakan, dan program, serta iklim dunia pendidikan yang belum sepenuhnya kondusif. Isu pembentukan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) menjadi salah satu hal yang paling banyak diperbincangkan di ruang publik. Pasalnya, pembentukan RUU ini menimbulkan berbagai problematik dan polemik yang cukup panjang. Diskursus terkait dengan naskah akademik dan materi muatan RUU Sisdiknas dinilai tidak memiliki filosofi yang jelas. Secara fundamental, RUU Sisdiknas masih memiliki sejumlah kelemahan, baik secara materiil maupun formil. Pembentukan RUU Sisdiknas sejak awal kurang melibatkan partisipasi publik secara bermakna (meaningful participation), terkesan terburu-buru, dan kurang transparan. 

Pembentukan RUU Sisdiknas pun belum menjawab persoalan mendasar pendidikan selama ini. Alih-alih melakukan simplifikasi regulasi, justru RUU Sisdiknas justru dinilai ambigu dan tidak mampu melakukan harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan pendidikan. Model mini omnibus law atau unifikasi RUU Sisdiknas ini masih terbatas pada tiga undang-undang, yakni UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, dan UU Pendidikan Tinggi. Kurangnya kemampuan tim penyusun untuk menggabungkan ketiga UU terdampak juga menjadi persoalan fundamental dalam pembentukan RUU Sisdiknas. Banyak pasal atau ketentuan esensial yang seharusnya masuk dan diperkuat dalam draf RUU Sisdiknas, justru dihilangkan dan diubah tanpa argumentasi yang memadai. Konsekuensi logisnya, muncul persoalan terkait dengan jaminan pemenuhan hak-hak, kewajiban, dan akses pendidikan bagi seluruh warga negara baik guru, peserta didik, dosen, mahasiswa, maupun masyarakat secara luas yang tidak diakomodasi dalam RUU Sisdiknas yang lalu. Di samping itu, pembentukan RUU Sisdiknas juga tidak menyelesaikan persoalan ketimpangan atau disparitas kualitas pendidikan antardaerah di Indonesia. RUU Sisdiknas dalam beberapa hal telah mencederai domain desentralisasi pendidikan. 

Persoalan terkait dengan profesi guru pun menjadi salah satu isu yang hangat diperbincangkan. Khususnya terkait dengan isu kesejahteraan para guru dan kurang berpihak kepada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Ketidakjelasan rumusan RUU Sisdiknas menimbulkan multitafsir terkait dengan ketentuan tunjangan profesi guru. Begitu pun isu pengangkatan guru berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang belum berjalan secara optimal. Isu perlindungan guru pun menjadi hal yang harus diperhatikan secara serius. Pasalnya, kerap terjadi tindakan persekusi terhadap guru di berbagai daerah. Pada tataran lain, penciptaan iklim lingkungan pendidikan yang kondusif, aman, nyaman, tenteram, dan damai belum sepenuhnya terwujud. Terkait dengan tiga dosa besar Pendidikan, yakni perundungan, kekerasan seksual, dan intolerasi juga menjadi hal yang masih menyisakan persolan pada 2022. Adanya kasus siswa sekolah dasar di Kabupaten Tasikmalaya yang depresi berat, sakit, dan kemudian meninggal dunia akibat perundungan, menjadi tamparan keras untuk membenahi iklim lingkungan pendidikan yang aman bagi peserta didik. 

Dunia Pendidikan pun menjadi sorotan tajam dan tercoreng akibat adanya kasus operasi tangkap tangan oleh KPK terhadap oknum rektor salah satu PTN di Lampung. Isu ini juga harus menjadi hal yang diperhatikan secara serius bagi dunia pendidikan. Selain, mencederai muruah perguruan tinggi, juga khawatir menjadi preseden buruk perguruan tinggi di Tanah Air. Hasil evaluasi terhadap implementasi Kurikulum Merdeka yang diberlakukan mulai awal ajaran baru 2022/2023 juga harus menjadi bahan renungan bersama. Sejauh mana implementasi Kurikulum Merdeka ini dalam me-recovery dan memperbaiki kondisi pendidikan yang terdampak learning loss akibat pandemi covid-19. Bagaimana akselerasi dilakukan untuk mengatasi dampak learning loss, sekaligus mengejar ketertinggalan pembelajaran selama pandemi ini.   

Terobosan kebijakan 2023 
Berbagai kondisi dan isu-isu pendidikan di atas tentu menjadi refleksi yang serius guna membenahi kualitas sistem pendidikan di Indonesia. Pada tahun mendatang perlu adanya terobosan kebijakan (breakthrough policy) dalam dunia pendidikan yang mampu mengakselerasi kebijakan baik untuk mengejar kualitas maupun kuantitas pendidikan di Indonesia. RUU Sisdiknas perlu direkonstruksi ulang secara komprehensif dengan melibatkan partisipasi dari pakar perguruan tinggi dan berbagai elemen pendidikan secara luas dan bermakna. Upaya rekonstruksi ini dapat dilakukan dengan melakukan pengkajian dan mengidentifikasi mana ketentuan esensial atau yang sudah baik dan perlu dipertahankan. Lalu, ketentuan-ketentuan mana saja yang perlu diubah atau diharmonisasikan sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat pendidikan kita. 

Berbagai masukan dari elemen pendidikan dan elemen masyarakat semestinya telah diakomodasi dalam naskah RUU Sisdiknas, sebelum masuk ke Badan Legislasi DPR RI. Idealnya, naskah yang diusulkan sudah minim dari berbagai permasalahan pengaturan. Bukan sebaliknya, justru draf yang diusulkan memuat daftar panjang inventaris masalah yang signifikan. Bahkan, draf yang diusulkan justru menuai polemik, kritik, dan kecaman dari berbagai elemen pendidikan. RUU Sisdiknas pun selayaknya menjadi road map atau peta jalan pendidikan nasional secara komprehensif. Peta jalan ini selain sebagai kompas atau penunjuk arah juga sebagai pola pembangunan pendidikan jangka. 

Melalui berbagai upaya tersebut, diharapkan dapat menjadi proyeksi ke depan guna memulai pembenahan pembangunan pendidikan di Indonesia secara fundamental. Diharapkan, ke depan tidak ada lagi upaya trial and error kebijakan pendidikan, khususnya terkait dengan RUU Sisdiknas dan kebijakan strategis lainnya. Dengan demikian, adanya regulasi UU Sisdiknas baru dan sekaligus sebagai peta jalan pendidikan dapat mengakselerasi penyelenggaraan sistem pendidikan nasional secara holistis, progresif, dan futuristis bagi kemajuan pendidikan nasional.


Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/546250/meredesain-pendidikan-masa-depan

04 Januari 2023

Menyelamatkan Guru

Oleh: Cecep Darmawan 

Guru Besar dan Kepala Pusat Kebijakan Publik, Inovasi Pendidikan, dan Pendidikan Kedamaian LPPM Universitas Pendidikan Indonesia

DUNIA pendidikan benar benar tengah mengalami disrupsi di era pandemi. Sejumlah regulasi dan praktik pendidikan mengalami adaptasi. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) menjadi alternatif yang tak terhindarkan. PJJ telah berlangsung hampir delapan bulan. Entah sampai kapan, tidak ada yang dapat memastikannya. Namun, efektivitas pembelajaran belum sepenuhnya optimal.


Pemerintah pun berupaya berbenah. Termasuk, menyiapkan sumber daya pendidik, yakni guru sebagai tokoh sentral dalam pengajaran dan pendidikan. Gurulah menjadi ikon dan aktor utama pembelajaran era pandemi ini. Guru pun berperan sebagai lini depan atau ujung tombak dalam proses penyampaian pesan instruksional pembelajaran kepada siswa. Atas segala pengorbanan, perjuang an, dan pengabdian guru selama ini, pemerintah berikhtiar memberikan penghormatan yang tinggi bagi guru. 

Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No 78/1994, menetapkan 25 November sebagai Hari Guru Nasional. Dalam konsideran Keppres No 78/1994, disebutkan guru memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Khususnya, dalam rangka pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Ketentuan tersebut mengisyaratkan pentingnya peranan dan kedudukan guru dalam pembangunan nasional sebagai upaya untuk mencapai salah satu tujuan negara Indonesia, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Meski, secara yuridis, kedudukan dan peranan guru telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya, UU Republik Indonesia No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Akan tetapi, dalam praktiknya masih banyak problematik yang menyangkut persoalan guru. Problematik tersebut terkait dengan persoalan profesi guru, disparitas guru, kualitas guru, sertifi kasi guru, kualitas lembaga profesi guru, jenjang karier guru, perlindungan hukum bagi guru, dan kualitas kesejahteraannya. Bahkan, kerap kita menemukan fakta bahwa masih banyak ironi-ironi kualitas dan kesejahteraan guru di lapangan. Problematik guru Rata-rata nilai uji kompetensi guru (UKG) guru pada jenjang SD, SMP, dan SLTA selama ini masih di bawah 65%. Data itu menunjukkan kondisi masih rendahnya kompetensi yang dimiliki sebagian guru-guru di Indonesia. Padahal, secara imperatif, dalam Pasal 10 ayat (1) UU No 14 Tahun 2005 menyebutkan guru wajib memiliki kompetensi yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Belum lagi, terkait dengan persoalan kualifi kasi pendidik, masih banyak ditemukan pendidik yang belum memiliki kualifi kasi akademik diploma empat atau sarjana. 

Berdasarkan data dari Kemendikbud, dalam Neraca Pendidikan Nasional 2019 menunjukkan, kualifikasi pendidik yang belum D-IV atau S-1 masih sekitar 47,5% di jenjang PAUD, 11,8% di jenjang SD, 5,6% di jenjang SMP, 2,2% di jenjang SMA, dan 4,9% di jenjang SMK. Padahal, secara yuridis, dalam Pasal 9 UU No 14 Tahun 2005 mengharuskan guru memiliki kualifikasi akademik D-IV atau S-1. Banyak guru di Indonesia pun yang masih belum tesertifi kasi. Berdasarkan data dari Kemendikbud dalam Neraca Pendidikan Nasional 2019 menunjukkan masih banyaknya guru yang belum tesertifikasi, dengan jumlah 64,3% di jenjang PAUD, 52,3% di jenjang SD, 51% di jenjang SMP, 51% di jenjang SMA, dan 63,9% di jenjang SMA. Padahal, Pasal 8 UU No 14 Tahun 2005 telah mengamanatkan setiap guru wajib memiliki sertifikat pendidik. Persoalan lainnya ialah masih adanya disparitas guru baik secara kualitas maupun kuantitas di berbagai daerah. Hal ini disebabkan belum dilakukannya pemetaan dan pemerataan guru secara komprehensif di berbagai daerah di Indonesia. Perlu adanya upaya pemetaan kebutuhan guru di daerah sehingga dapat mempermudah untuk melakukan distribusi guru secara merata. Di samping itu, perlu adanya manajemen karier guru secara berjenjang sehingga dapat meningkatkan kinerja guru sesuai dengan jenjang jabatan yang diraihnya. Berdasarkan data dari Kemendikbud, dalam Neraca Pendidikan Nasional 2019 menunjukkan di jenjang SD terdapat kekurangan guru SD negeri sebanyak 14.854 dan kelebihan guru SD swasta sebanyak 10.259. Sementara itu, guru SD PNS yang akan pensiun lima tahun ke depan sebanyak 184.984. Pada jenjang SMP, terdapat kekurangan guru SMP negeri sebanyak 137.002 dan kekurang an guru SMP swasta sebanyak 101.866, sedangkan guru SMP PNS yang akan pensiun lima tahun ke depan sebanyak 59.995. 

Pada jenjang SMA, terdapat kekurangan guru SMA negeri sebanyak 33.202 dan kekurangan guru SMA swasta sebanyak 53.582, sedangkan guru SMA PNS yang akan pensiun lima tahun ke depan sebanyak 23.320. Pada jenjang SMK, terdapat kekurangan guru SMK negeri sebanyak 41.293 dan kekurangan guru SMK swasta sebanyak 148.088, sedangkan guru SMK PNS yang akan pensiun lima tahun ke depan sebanyak 12.047. Data di atas dapat menjadi acuan bagi pemerintah untuk melakukan pemetaan guru secara nasional. Untuk itu, dengan mengacu pada data tersebut, pemerintah harus melakukan akselerasi kebijakan dengan menganalisis dan merencanakan, serta menentukan kebijakan yang tepat untuk mengatasi permasalahan guru. 

Kesejahteraan guru Khususnya terkait dengan kesejahteraan guru, pemerintah segera memberbaiki tunjangan guru secara memadai, khususnya guru di daerah terpencil dan guru-guru honorer. Pasalnya, masih masifnya guru-guru honorer dengan gaji di bawah rata-rata UMR dan bahkan sangat memprihatinkan. Apalagi dihadapkan dengan persoalan kesejahteraan guru di masa pandemi, guru honorer semakin berat beban kehidupannya. Kemendikbud telah melakukan kebijakan dengan memberikan bantuan subsidi upah (BSU) bagi pendidik dan tenaga pendidikan (PTK) non-PNS di lingkungan Kemendikbud. Kebijakan tersebut di satu sisi dapat diterima dan diapresiasi, mengingat kondisi kesejahteraan guru selama pandemi cukup memprihatinkan. 

Banyak guru, khususnya guru honorer yang kerap mendapatkan perlakuan tidak adil, dan bahkan belum menerima gaji selama mengajar di masa pandemi. Akan tetapi, kebijakan tersebut di sisi lain juga dinilai terlalu praktis dan tidak ada dampak untuk menyelesaikan persoalan kesejahteraan guru secara berkelanjutan. Seharusnya, pemerintah membuat peta jalan kebijakan guru secara nasional untuk mengatasi berbagai persoalan guru ini. 

Persoalan utama guru honorer ialah belum adanya kepastian hukum yang mengatur status dan kedudukan guru honorer. Baik dalam UU Guru dan Dosen maupun dalam UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), tidak ditemukan istilah guru honorer. 

Berdasarkan kedua UU itu, baik UUGD maupun UU ASN hanya mengatur status guru sebagai ASN baik PNS maupun PPPK, serta guru tetap yayasan. Dengan demikian, perlu adanya payung hukum yang menjamin perlindungan keadilan dan kesejahteraan bagi guru honorer. 

Itulah berbagai problematik guru yang terjadi pada saat ini. Adanya pe rayaan hari guru harus menjadi perhatian lebih bagi pemerintah, untuk membuat berbagai kebijakan yang berpihak pada peningkatan kualitas guru dan kesejahteraan guru. 

Jangan sampai adanya perayaan hari guru hanya menjadi peringatan formalitas, tanpa adanya signifikansi berbagai perbaikan kebijakan bagi penyelesaian persoalan-persoalan guru di Indonesia. Ingatlah, guru memang pahlawan tanpa tanda jasa, tapi berkat jasa gurulah lahir para pemimpin dan pahlawan di negeri ini.



Kenaikan Tarif Parkir Luar Badan Jalan di Bandung, Pengamat: Jangan Hanya Semangat Menaikkan

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Muhamad Nandri Prilatama


TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Keputusan menaikkan tarif parkir di Kota Bandung diharapkan hasil kajian secara komprehensif melalui riset.


Hal itu diungkapkan pengamat kebijakan publik dari Universitas Pendidikan Indonesia, Cecep Darmawan.


Dalam Keputusan Wali Kota Bandung Nomor 551/Kep.3132-Dishub/2022 tentang Harga Sewa Parkir di Luar Badan Jalan (Off-Street), Pemerintah Kota Bandung melalui Dinas Perhubungan Bandung menaikkan tarif parkir di luar badan jalan, seperti mal, hotel, rumah sakit, dan gedung lainnya.


Cecep mengatakan, kebijakan yang baik itu harus didasarkan pada prinsip evidance based policy.


"Pemerintah sebenarnya jangan selalu semangat menaikkan, tetapi harus bersemangat pula melengkapi fasilitas-fasilitas perparkirannya. Jika pihak swasta menuntut menaikkan tarif dengan  semangat, tapi kenapa giliran fasilitas kerap masih biasa saja. Jadi, harusnya berbarengan semangatnya," kata Cecep saat dihubungi, Rabu (4/1/2023).


Hal yang diperhatikan berikutnya, kata Cecep, uang parkir yang selama ini masuk ke APBD sebenarnya berapa jumlahnya dan mesti dibuka ke publik beserta capaian targetnya.


"Ya, tentu pemerintah harus transparan target-target dari titik-titik mana dan realisasinya selama ini. Lalu, apakah kekurangan APBD ini bisa ditutupi dari hasil parkir? Tentu tidak. Atau ada penghasilan lainnya yang mampu digenjot," ujarnya.


Cecep pun berpendapat bahwa pemerintahan yang efektif, kreatif, dan inovatif ini bukanlah yang mengandalkan pajak dan retribusi, melainkan penghasilannya harus lebih banyak berasal dari hasil inovasi daerah.


Dengan kata lain perlu ada kekuatan dari intelektual kapital agar daerah inovatif.

"Parkir di luar badan jalan kan bisa dikatakan hasilnya masuk ke kas daerah. Nah, itu harus transparan berapa besaran jumlahnya dan bagi hasilnya bagaimana. Memang swasta mesti untung dan pemerintah juga harus untung. Tetapi, harus diingat rakyat pun harus untung," katanya. (*)


Artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul Kenaikan Tarif Parkir Luar Badan Jalan di Bandung, Pengamat: Jangan Hanya Semangat Menaikkan, https://jabar.tribunnews.com/2023/01/04/kenaikan-tarif-parkir-luar-badan-jalan-di-bandung-pengamat-jangan-hanya-semangat-menaikkan.

Penulis: Muhamad Nandri Prilatama | Editor: Giri

Copyright © Cecep Darmawan | Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia