04 Desember 2023

Mencari Ruh Pancasila dalam Berdemokrasi

Oleh : Cecep Darmawan, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pendidikan Indonesia


REPUBLIKA.CO.ID, Banyak orang menyenangi demokrasi. Tapi jangan paksa semua orang percaya terhadap apa yang dihasilkan dalam praktika demokrasi. Kesejahteraan masih milik kaum elite. Demokrasi memang mudah diucapkan, namun sulit dirasakan. Demokrasi yang membuahkan kesejahteraan rakyat masih jauh panggang dari api.

Menyikap demokrasi, Plato pernah menentangnya. Ia berkeyakinan meskipun demokrasi itu dapat diciptakan tetapi tidak selalu diinginkan.

Demokrasi seakan masih bersarang di alam ide. Jika tidak dapat diwujudkan maka demokrasi hanyalah sebuah utopia belaka. Meski begitu, sebagian orang masih bersimpati kepada demokrasi dan ingin menjalankan sesuai cita-cita dan keinginannya. Kelompok kebanyakan selalu mempertahankan demokrasi, dengan dalih demokrasi merupakan pilihan yang cocok dalam segala keadaan.

Garansi Demokrasi

Demokrasi  belum tentu memberikan garansi apa pun bagi rakyatnya. United States Information Agency atau USIA (1991), menuliskan, “democracy itself guarantees nothing. It offers instead the  opportunity to succed as well as the risk of failure”.  

Merujuk pada pemahaman USIA, demokrasi memang tidak pernah menjamin apa pun dan demokrasi sekedar menawarkan kesempatan untuk berusaha mencapai keberhasilan, atau bisa jadi dalam kenyataannya beresiko gagal. Artinya, demokrasi tidak menjamin apa pun, semuanya tergantung kepada elite atau aktor yang menjalankan demokrasi, sistem politik yang dibangun, komitmen yang mengedepankan prinsip kesejahteraan, dan budaya masyarakat yang mendukungnya.

Sejarah demokrasi di Athena sekali pun, belum cukup memuaskan rakyatnya untuk sejahtera. Praktik pemerintahan yang demokratis di Athena tidak serta merta membawa perubahan iklim demokrasi yang inklusif.

Sejarah mencatat Socrates dihukum mati pemerintahan yang waktu itu memproklamirkan diri sebagai pemerintah demokratis. Socrates dituduh sebagai provokator yang meracuni pikiran kaum muda dan dianggap akan membahayakan stabilitas negara.

Karena itulah murid setia Socrates, Plato tidak menempatkan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan terbaik. Sebab menurut Plato demokrasi memungkinkan orang-orang jahat seperti gerombolan, preman, dan para pembegal demokrasi turut serta mengurus pemerintahan.

Meskipun begitu, pada akhirnya Plato juga menyetujui demokrasi dengan sejumlah catatan kritis. Plato menempatkan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang terbaik dari yang terburuk, sekaligus demokrasi ditempatkan di posisi yang terakhir diantara bentuk pemerintahan yang terbaik. Plato menginginkan negara itu dipimpin oleh seorang filsuf raja yang memiliki pengetahuan yang luas, mencintai segala kebajikan, penuh kearifan, bijaksana, sederhana, sekaligus jadi rujukan model bagi rakyatnya.

Pabottingi (2000) pernah mengungkapkan sejumlah faktor penghambat demokrasi di Indonesia. Di antaranya parahnya distorsi politik, ekonomi, dan hukum, besarnya diskrepansi (ketidaksesuaian, red) antara kuatnya nasionalisme dan lemahnya simpul-simpul nasional kita. Faktor lainnya karena adanya obsesi berlebihan pada ideologi atau aliran budaya di satu sisi dan miskinnya perhatian pada penataan lembaga-lembaga serta mekanisme pemerintahan di sisi lain.

Untuk Indonesia, demokrasi yang dijalani selama ini masih mencari bentuk dan belum sepenuhnya menemukan praktik yang diidealisasikan oleh Pancasila. Yang terjadi justru hanya mengubah-ubah casing pelaksanaan demokrasi tetapi belum secara signifikan sampai pada substansi demokrasi, yakni kesejahteraan rakyat.

Demokrasi hari ini baru sebatas demokrasi prosedural-formal semata. Sosiolog sekaligus Ilmuwan Politik Amerika Serikat, Seymour Martin Lipset pernah menyatakan, semakin kaya suatu bangsa, semakin besar peluang negara tersebut untuk berdemokrasi.

Meski tidak semua orang sepakat dengan pandangan Lipset, kenyataannya sejumlah negara maju penuh dengan kesejahteraan. Namun perlu dikaji lebih lanjut apakah kesejahteraan negara-negara maju itu disebabkan faktor penerapan demokrasi secara baik, ataukah karena faktor lainnya.

Bangsa kita sendiri masih berkutat pada pratika demokrasi langsung yang mahal atau inefisien, untuk tidak menyebut boros dan membebani keuangan negara. Upaya simplifikasi praktik demokrasi terus dilakukan, termasuk rencana pemilu dan pilkada serentak pada 2024.

Dalam praktika demokrasi di banyak negara, kerap muncul benalu demokrasi, yakni hadirnya sekelompok orang yang menanam modal atau saham politik ketika terjadi kontestasi politik dalam pemilu atau pilkada. Disinyalir, mereka adalah kaum pemburu rente politik alias golongan shadow government atau shadow state yang mengendalikan arah dan kebijakan pemerintah melalui remote kontrol politiknya.

Praktik demokrasi seperti itu hakikatnya adalah oligarki yakni demokrasi dikendalikan kaum oligarki. Demokrasi menjadi semu alias “demokrasi salon” yang tampak bagus dalam bentuk penampilan di panggung depan, namun bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Alih-alih demokrasi, justru yang terjadi penguatan institusi oligarki.    

Meski kita yakin demokrasi dan demokratisasi di negara kita akan berkembang seiring komitmen bangsa kita melakukan reformasi demokrasi sesuai dengan falsafah bangsa, Pancasila. Konsepsi demokrasi harus bertransformasi dari demokrasi tekstual semata (knowing democracy) menjadi demokrasi secara substanstif yang menyejahaterakan rakyat (doing democracy).

Ruh Pancasila harus selalu hadir dalam setiap praktika berdemokrasi. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang menjunjung tinggi nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, untuk keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia.

Tujuan demokrasi Pancasila adalah terwujudnya kesejahteraan rakyat dengan penuh keadilan dan kedamaian. Pada tataran itu, terjadi sinergi antara prosedur dengan substansi demokrasi yang deliberatif, inklusif, dan partisipatif. Demokrasi Pancasila sejatinya  menempatkan kedaulatan dan kesejahteraaan rakyat sebagai inti dari energi demokrasi.

Meski begitu, demokrasi Pancasila sebagai sistem politik memerlukan proses penghantaran (delivery process) yang sesuai dengan cita-cita negara dan bangsa Indonesia. Dalam demokrasi Pancasila segala keputusan harus dapat dipertangungjawabkan secara formal kepada rakyat, dan pertangungjawaban moral atas keputusan-keputusan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam momentum Hari Pancasila ini, segenap warga bangsa harus melakukan kontemplasi apakah praktik demokrasi Pancasila langsung selama ini sudah sesuai dengan sila ke-4 Pancasila? Ataukah diperlukan redefinisi konsepsi dan bagaimana implementasi demokrasi Pancasila agar terwujud keberkahan bagi segenap bangsa Indonesia sebagaimana amanat alinea ketiga Pembukaan UUD NRI tahun 1945, yakni berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.

Copyright © Cecep Darmawan | Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia