REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Cecep Darmawan, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pendidikan Indonesia dan Sekretaris I Pengurus Harian Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Profesor/Guru Besar Indonesia
Pantas saja jika perguruan tinggi di tanah air kerap kalah bersaing di dunia internasional. Di tengah gencarnya program wacana internasionalisasi, beban dosen di tanah air justru mengalami kontraproduktif. Mulai dari beban kerja berlebih tanpa apresiasi yang memadai. Kini, dosen dituntut dengan sejumlah beban administrasi. Alih-alih menyejahterakan, malah membuat repot para dosen.
Polemik ini ditengarai akibat kebijakan penyesuaian terhadap Penilaian Angka Kredit (PAK) dan Kewajiban Khusus Beban Kerja Dosen (BKD). Kebijakan ini muncul sebagai konsekuensi dari diterbitkannya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Jabatan Fungsional.
Kebijakan Kemenpan-RB mendapat kritikan tajam dari berbagai perguruan tinggi. Bahkan berbagai protes dan petisi penolakan pun dilayangkan kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Pasalnya kebijakan ini mengharuskan dosen untuk mengumpulkan secara manual data kinerja tridharma perguruan tinggi sejak pengangkatan terakhir (TMT) sampai 31 Desember 2022 disertai berbagai bukti dokumentasi. Dengan tenggat waktu yang yang kurang manusiawi, dosen seakan dikejar waktu untuk menginputnya di aplikasi Sistem Jabatan Informasi Akademik (Sijali) dan aplikasi Sistem Informasi Jabatan Fungsional Go Online (Sijago).
Selama ini dosen telah menginput seluruh aspek kinerjanya di aplikasi yang telah ada yakni Sistem Informasi Sumber Daya Terintegrasi (Sister) atau di sistem perguruan tingginya masing-masing. Namun, kini para dosen harus mengulangnya kembali, akibat sistem yang tidak terintegrasi. Jika hal ini tidak dituruti oleh para dosen, tak tanggung-tanggung sanksinya akan menghanguskan seluruh kinerja yang selama ini telah dinilai. Dengan kata lain, seluruh angka kredit tridharma dosen akan hilang dan harus dimulai kembali dariawal. Menjadi tidak adil ketika kelemahan sistem yang tidak terintegrasi, justru para dosen yang menanggung sanksi.
Kondisi ini setidaknya menunjukkan adanya sejumlah problematika yang harus segera dibenahi. Pertama, ditengarai banyak sistem aplikasi di Kemendikbudristek yang kurang terintegrasi satu sama lain menunjukkan gagalnya transformasi digital dalam dunia pendidikan tinggi. Karenanya, perlu adanya standar sistem digitalisasi di perguruan tinggi, termasuk dalam sistem aplikasi kinerja para dosen.
Kedua, iklim perguruan tinggi seperti ini sangat tidak menyenangkan dan kontraproduktif dengan kebebasan akademik. Daya inovasi dan kreativitas dosen akan terkikis dan terdegradasi akibat memikirkan dan mengerjakan beban administrasi yang berjubel. Di tengah upaya internasionalisasi guna mencapai universitas kelas dunia (world class university) dengan keunggulan tridharmanya, anehnya para dosen justru menghabiskan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk mengurusi administrasi.
Padahal menurut Philip G. Altbach (2003) dalam artikelnya yang berjudul “The Costs and Benefits of World-Class Universities” bahwa salah satu karakteristik universitas kelas dunia ialah adanya kebebasan akademik dan suasana intelektual yang menyenangkan. Karenanya, pengelolaan perguruan tinggi semestinya mengedepankan aspek akademik daripada birokrasi atau administrasi.
Ketiga, kebijakan seperti di atas ini menunjukkan lemahnya tata kelola perguruan tinggi yang baik (good university governance). Padahal salah satu prinsip tata kelola universitas yang baik ialah efektivitas dan efisiensi. Bukan sebaliknya, akibat sistem yang tidak terintegrasi membuat tata kelola semakin tidak jelas.
Selain itu, otonomi perguruan tinggi dalam bidang akademik maupun nonakademik belum sepenuhnya terwujud. Otonomi perguruan tinggi masih tersandera oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang terbelah dan parsial.
Terbukti dengan kebijakan di atas yang masih mengacu pada peraturan antar berbagai kementerian. Padahal untuk pendidikan tinggi, Kemendikbudristek semestinya mampu membuat kebijakan atau regulasi yang bersifat lex specialis. Apalagi khusus untuk pendidikan tinggi diatur melalui undang-undang tersendiri yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Bukan sebaliknya justru tersandera oleh kebijakan atau regulasi dari kementerian lain, apalagi setingkat peraturan menteri.
Dosen merupakan jabatan fungsional yang berbeda dengan ASN di kementerian/lembaga lainnya. Boleh saja Kemenpan-RB mengatur jabatan fungsional para ASN, akan tetapi terbatas pada aspek-aspek yang bersifat umum atau prinsipil. Selebihnya biarkan kementerian/lembaga lain membuat pengaturan khusus (lex specialis) masing-masing. Terlebih kementerian/lembaga masing-masinglah yang memahami kondisi di lapangan. Bukan sebaliknya seluruh jabatan fungsional disamaratakan.
Terakhir, para pemangku kepentingan perlu meluruskan paradigma dan memahami kembali fungsi dan peranan perguruan tinggi dan sivitas akademika di dalamnya. Perguruan tinggi semestinya tidak boleh diobok-obok oleh birokrasi. Perguruan tinggi merupakan center of excellence atau pusat keunggulan yang memiliki otonomi tersendiri. Perguruan tinggi memiliki karakteristik yang berbeda dengan birokrasi biasa. Otonomi secara utuh dan luaslah yang harus dikedepankan, bukan sebaliknya terjebak dalam birokratisasi.
Begitu pun dengan dosen memiliki tugas utama mencerdaskan kehidupan bangsa melalui tridharma perguruan tinggi. Bukan sebaliknya dibebani tugas-tugas administrasi yang menguras waktu, pikiran, dan tenaga para dosen. Aspek kesejahteraan para dosen pun perlu diperhatikan agar sebanding dengan kerja-kerja akademiknya.
Untuk itu, ke depan alangkah lebih bijak jika kebijakan terkait penyesuaian terhadap Penilaian Angka Kredit (PAK) dan Kewajiban Khusus Beban Kerja Dosen (BKD) melalui Permenpan-RB No. 1 Tahun 2023 perlu ditinjau ulang. Kalau pun ingin diterapkan maka semestinya harus dilakukan secara inkremental atau bertahap dan diserahkan sepenuhnya kepada kementerian terkait. Bukan sebaliknya justru membuat prahara dan nestapa bagi para dosen. Dengan demikian, sejatinya Kampus Merdeka dapat terwujud manakala seluruh sivitas akademika termasuk para dosennya merdeka.
Sumber: https://news.republika.co.id/berita/rtchv0282/dosen-administratif