04 Januari 2023

Menyelamatkan Guru

Oleh: Cecep Darmawan 

Guru Besar dan Kepala Pusat Kebijakan Publik, Inovasi Pendidikan, dan Pendidikan Kedamaian LPPM Universitas Pendidikan Indonesia

DUNIA pendidikan benar benar tengah mengalami disrupsi di era pandemi. Sejumlah regulasi dan praktik pendidikan mengalami adaptasi. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) menjadi alternatif yang tak terhindarkan. PJJ telah berlangsung hampir delapan bulan. Entah sampai kapan, tidak ada yang dapat memastikannya. Namun, efektivitas pembelajaran belum sepenuhnya optimal.


Pemerintah pun berupaya berbenah. Termasuk, menyiapkan sumber daya pendidik, yakni guru sebagai tokoh sentral dalam pengajaran dan pendidikan. Gurulah menjadi ikon dan aktor utama pembelajaran era pandemi ini. Guru pun berperan sebagai lini depan atau ujung tombak dalam proses penyampaian pesan instruksional pembelajaran kepada siswa. Atas segala pengorbanan, perjuang an, dan pengabdian guru selama ini, pemerintah berikhtiar memberikan penghormatan yang tinggi bagi guru. 

Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No 78/1994, menetapkan 25 November sebagai Hari Guru Nasional. Dalam konsideran Keppres No 78/1994, disebutkan guru memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Khususnya, dalam rangka pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Ketentuan tersebut mengisyaratkan pentingnya peranan dan kedudukan guru dalam pembangunan nasional sebagai upaya untuk mencapai salah satu tujuan negara Indonesia, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Meski, secara yuridis, kedudukan dan peranan guru telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya, UU Republik Indonesia No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Akan tetapi, dalam praktiknya masih banyak problematik yang menyangkut persoalan guru. Problematik tersebut terkait dengan persoalan profesi guru, disparitas guru, kualitas guru, sertifi kasi guru, kualitas lembaga profesi guru, jenjang karier guru, perlindungan hukum bagi guru, dan kualitas kesejahteraannya. Bahkan, kerap kita menemukan fakta bahwa masih banyak ironi-ironi kualitas dan kesejahteraan guru di lapangan. Problematik guru Rata-rata nilai uji kompetensi guru (UKG) guru pada jenjang SD, SMP, dan SLTA selama ini masih di bawah 65%. Data itu menunjukkan kondisi masih rendahnya kompetensi yang dimiliki sebagian guru-guru di Indonesia. Padahal, secara imperatif, dalam Pasal 10 ayat (1) UU No 14 Tahun 2005 menyebutkan guru wajib memiliki kompetensi yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Belum lagi, terkait dengan persoalan kualifi kasi pendidik, masih banyak ditemukan pendidik yang belum memiliki kualifi kasi akademik diploma empat atau sarjana. 

Berdasarkan data dari Kemendikbud, dalam Neraca Pendidikan Nasional 2019 menunjukkan, kualifikasi pendidik yang belum D-IV atau S-1 masih sekitar 47,5% di jenjang PAUD, 11,8% di jenjang SD, 5,6% di jenjang SMP, 2,2% di jenjang SMA, dan 4,9% di jenjang SMK. Padahal, secara yuridis, dalam Pasal 9 UU No 14 Tahun 2005 mengharuskan guru memiliki kualifikasi akademik D-IV atau S-1. Banyak guru di Indonesia pun yang masih belum tesertifi kasi. Berdasarkan data dari Kemendikbud dalam Neraca Pendidikan Nasional 2019 menunjukkan masih banyaknya guru yang belum tesertifikasi, dengan jumlah 64,3% di jenjang PAUD, 52,3% di jenjang SD, 51% di jenjang SMP, 51% di jenjang SMA, dan 63,9% di jenjang SMA. Padahal, Pasal 8 UU No 14 Tahun 2005 telah mengamanatkan setiap guru wajib memiliki sertifikat pendidik. Persoalan lainnya ialah masih adanya disparitas guru baik secara kualitas maupun kuantitas di berbagai daerah. Hal ini disebabkan belum dilakukannya pemetaan dan pemerataan guru secara komprehensif di berbagai daerah di Indonesia. Perlu adanya upaya pemetaan kebutuhan guru di daerah sehingga dapat mempermudah untuk melakukan distribusi guru secara merata. Di samping itu, perlu adanya manajemen karier guru secara berjenjang sehingga dapat meningkatkan kinerja guru sesuai dengan jenjang jabatan yang diraihnya. Berdasarkan data dari Kemendikbud, dalam Neraca Pendidikan Nasional 2019 menunjukkan di jenjang SD terdapat kekurangan guru SD negeri sebanyak 14.854 dan kelebihan guru SD swasta sebanyak 10.259. Sementara itu, guru SD PNS yang akan pensiun lima tahun ke depan sebanyak 184.984. Pada jenjang SMP, terdapat kekurangan guru SMP negeri sebanyak 137.002 dan kekurang an guru SMP swasta sebanyak 101.866, sedangkan guru SMP PNS yang akan pensiun lima tahun ke depan sebanyak 59.995. 

Pada jenjang SMA, terdapat kekurangan guru SMA negeri sebanyak 33.202 dan kekurangan guru SMA swasta sebanyak 53.582, sedangkan guru SMA PNS yang akan pensiun lima tahun ke depan sebanyak 23.320. Pada jenjang SMK, terdapat kekurangan guru SMK negeri sebanyak 41.293 dan kekurangan guru SMK swasta sebanyak 148.088, sedangkan guru SMK PNS yang akan pensiun lima tahun ke depan sebanyak 12.047. Data di atas dapat menjadi acuan bagi pemerintah untuk melakukan pemetaan guru secara nasional. Untuk itu, dengan mengacu pada data tersebut, pemerintah harus melakukan akselerasi kebijakan dengan menganalisis dan merencanakan, serta menentukan kebijakan yang tepat untuk mengatasi permasalahan guru. 

Kesejahteraan guru Khususnya terkait dengan kesejahteraan guru, pemerintah segera memberbaiki tunjangan guru secara memadai, khususnya guru di daerah terpencil dan guru-guru honorer. Pasalnya, masih masifnya guru-guru honorer dengan gaji di bawah rata-rata UMR dan bahkan sangat memprihatinkan. Apalagi dihadapkan dengan persoalan kesejahteraan guru di masa pandemi, guru honorer semakin berat beban kehidupannya. Kemendikbud telah melakukan kebijakan dengan memberikan bantuan subsidi upah (BSU) bagi pendidik dan tenaga pendidikan (PTK) non-PNS di lingkungan Kemendikbud. Kebijakan tersebut di satu sisi dapat diterima dan diapresiasi, mengingat kondisi kesejahteraan guru selama pandemi cukup memprihatinkan. 

Banyak guru, khususnya guru honorer yang kerap mendapatkan perlakuan tidak adil, dan bahkan belum menerima gaji selama mengajar di masa pandemi. Akan tetapi, kebijakan tersebut di sisi lain juga dinilai terlalu praktis dan tidak ada dampak untuk menyelesaikan persoalan kesejahteraan guru secara berkelanjutan. Seharusnya, pemerintah membuat peta jalan kebijakan guru secara nasional untuk mengatasi berbagai persoalan guru ini. 

Persoalan utama guru honorer ialah belum adanya kepastian hukum yang mengatur status dan kedudukan guru honorer. Baik dalam UU Guru dan Dosen maupun dalam UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), tidak ditemukan istilah guru honorer. 

Berdasarkan kedua UU itu, baik UUGD maupun UU ASN hanya mengatur status guru sebagai ASN baik PNS maupun PPPK, serta guru tetap yayasan. Dengan demikian, perlu adanya payung hukum yang menjamin perlindungan keadilan dan kesejahteraan bagi guru honorer. 

Itulah berbagai problematik guru yang terjadi pada saat ini. Adanya pe rayaan hari guru harus menjadi perhatian lebih bagi pemerintah, untuk membuat berbagai kebijakan yang berpihak pada peningkatan kualitas guru dan kesejahteraan guru. 

Jangan sampai adanya perayaan hari guru hanya menjadi peringatan formalitas, tanpa adanya signifikansi berbagai perbaikan kebijakan bagi penyelesaian persoalan-persoalan guru di Indonesia. Ingatlah, guru memang pahlawan tanpa tanda jasa, tapi berkat jasa gurulah lahir para pemimpin dan pahlawan di negeri ini.



Copyright © Cecep Darmawan | Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia