07 September 2025

Kegagalan Tripusat Pendidikan

Oleh : Cecep Darmawan


Kebijakan ”kembali ke barak” (back to barrack) seperti program Barak KDM yang digagas Gubernur Jawa Barat menjadi perhatian publik di tengah fenomena meningkatnya kenakalan remaja.

Perilaku tawuran, geng motor, bullying di sekolah, bolos sekolah, merokok, mengonsumsi obat-obatan terlarang, mabuk-mabukan, dan bentuk kenakalan lain menunjukkan intensitas yang mengkhawatirkan.

Untuk mengatasinya, program Barak KDM hadir sebagai kebijakan terobosan (breakthrough policy) dan shock therapy yang menekankan pada aspek pendidikan dan pembinaan nilai karakter, seperti kedisiplinan, kemandirian, dan mengembalikan jati diri generasi muda sebagai penerus bangsa.

Program seperti ini pada dasarnya bukanlah hal baru. Di negara lain pun, program serupa telah dilaksanakan.

Di Amerika Serikat (AS), sebagaimana dilansir The National Institute of Justice’s Crime Solutions (2013), ada program ”Juvenile Boots Camps” yang bersifat pemasyarakatan, yakni kamp pelatihan yang berfungsi sebagai tempat penampungan bagi remaja yang dinyatakan nakal atau remaja bermasalah.

Secara umum ada tiga jenis model Juvenile Boots Camps ini, yakni gaya pelatihan militer yang berfokus pada disiplin ketat, model rehabilitasi, dan model pendidikan/kejuruan. China, Korea Selatan, dan Selandia Baru menerapkan hal serupa dengan model berbeda-beda.

Meski program ini hasilnya efektif dalam jangka pendek, sebuah riset menunjukkan bahwa sebagian dari peserta ternyata kembali mengulangi perilaku negatifnya dalam dua tahun kemudian.

Sebagai sebuah kebijakan, tentu terdapat pro-kontra di kalangan masyarakat luas. Respons publik pun terbelah. Ada yang menyebutnya sebagai terobosan berani dalam situasi darurat moral. Namun, tak sedikit pula yang mencemaskan pendekatan ini justru berpotensi melanggar hak-hak anak.

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan, kebijakan itu perlu ditinjau ulang karena memberikan pendidikan kepada kalangan sipil bukan merupakan wewenang institusi militer.

Kritik lainnya disampaikan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), yang menegaskan bahwa pendekatan militer tidak seharusnya menjadi satu-satunya cara dalam menangani anak-anak yang menghadapi masalah. Menurut dia, penanganan tersebut perlu dilakukan secara holistik dengan memperhatikan berbagai dimensi perkembangan anak.

Bahkan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak dihentikannya program pengiriman siswa bermasalah ke barak militer itu setelah pihaknya melakukan pengawasan terhadap pelaksanaannya. Menurut KPAI, program itu sarat dengan pelanggaran hak-hak anak, seperti pelabelan anak nakal bagi siswa, yang bisa mengarah pada diskriminasi.

KPAI pun menyoroti sarana dan prasarana serta pelatihan bagi siswa yang tak sesuai prinsip perlindungan anak.

Kendati menuai banyak kritik dari berbagai kalangan, pelaksanaan program ini tetap berjalan. Beberapa peserta yang telah mengikuti pelatihan di barak mengaku memperoleh banyak pelajaran hidup dan nilai disiplin yang sebelumnya belum mereka pahami. Salah satu orangtua memvalidasi, dengan mengatakan ada perubahan signifikan dari sikap dan perilaku anaknya, yakni menjadi lebih disiplin dan mandiri.

Ditinjau dari perspektif teori psikologi, pengalaman yang dialami peserta itu bisa jadi seperti apa yang disebut Ralph Hetherington (1975) dalam bukunya Sense of Glory: Psychological Study of Peak Experiences sebagai sense of glory.  Momen-momen puncak (peak experiences) yang menyentuh sisi terdalam identitas dan harga diri mereka.

Program seperti itu dapat menjadi medium transformasi psikologis yang memunculkan perasaan bangga, makna hidup, dan pencapaian personal yang dapat berdampak pada perubahan perilaku sehari-hari.

 https://www.kompas.id/artikel/kegagalan-tripusat-pendidikan?open_from=Tagar_Page


Copyright © Cecep Darmawan | Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia