03 Agustus 2020

Cabut Sektor Pendidikan dari RUU Cipta Kerja

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Cecep Darmawan, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia dan Direktur CeQu Darul Hikam Bandung

Kontroversi Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta kerja terus berlanjut. Meski masih masa pandemi covid-19, pemerintah beserta DPR RI terus bersemangat melakukan pembahasan RUU Cipta Kerja. Stamina politik  DPR ternyata cukup kuat untuk segara menuntaskan RUU ini.

RUU Cipta kerja diyakini pemerintah, dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memperbaiki kesejahteraan rakyat, dan membawa negara Indonesia menuju lima besar ekonomi di dunia. Secara materiil, RUU Cipta Kerja memuat 11 klaster yang di dalamnya terdapat kurang lebih 79 undang-undang dan 1.244 pasal terdampak.

Setelah memperoleh berbagai kritik, saran, masukan, dan tekanan publik khususnya kaum buruh, pemerintah akhirnya memutuskan agar klaster ketenagakerajaan ditunda. Selain isu krusial ketenagakerjaan, buruh, dan lingkungan, subklaster pendidikan pun penuh dengan kontroversi. Bahkan muatan materi pada klaster penyederhanaan perizinan, khususnya subklaster atau sektor pendidikan tidak kalah peliknya.

Seperti telah diketahui, di dalam klaster penyederhanaan perizinan terdapat 18 subklaster atau sektor. Subklaster pendidikan sangat krusial untuk dikritisi. Awalnya, sektor pendidikan dalam RUU Cipta Kerja masih belum banyak disoroti dan dikaji secara mendalam oleh para akademisi.

Namun, seiring waktu, banyak pihak keberatan dengan materi muatan subklaster pendidikan ini. Terdapat sejumlah masalah yang dapat mengubah regulasi pendidikan di Indonesia dan menyeret pendidikan ke arah domain komersialisasi.

RUU Cipta Kerja dalam sektor pendidikan akan berdampak pada beberapa ketentuan pasal dari berbagai undang-undang diantaranya Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dan Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Penulis sendiri memberikan beberapa catatan penting terhadap RUU Cipta Kerja khususnya dalam sektor pendidikan.

Dalam pasal-pasal RUU Cipta Kerja seolah-olah pendidikan hanya dianggap sebagai komoditas ekonomi (capital) semata. Alih-alih meningkatkan kualitas pendidikan, yang akan terjadi justru memperlemah sistem pendidikan bangsa kita. Bahkan beberapa regulasi terkait pendidikan dihapuskan dan dianggap membatasi atau menghalangi kemajuan ekonomi. Padahal sejatinya pendidikan merupakan sektor utama yang dapat membawa efek domino (domino effect) bagi sektor-sektor lainnya semakin maju.

Di samping itu, landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam Naskah Akademik RUU Cipta Kerja belum cukup menggambarkan esensi yang menjadi arah dan tujuan RUU Cipta Kerja sektor pendidikan. Lebih jauh,  hakikat pendidikan dalam RUU Cipta Kerja telah direduksi hanya sekedar melatih dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang siap kerja. Pendidikan diposisikan layaknya mesin yang menopang industrialisasi. 

Persoalan pendidikan yang hakikinya terkait dengan watak, kepribadian, peradaban, dan martabat bangsa seakan-akan tenggelam dalam RUU Cipta Kerja tersebut. Padahal pendidikan nasional bangsa Indonesia memiliki tujuan yang luhur sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Secara materiil, terdapat beberapa pasal yang bermasalah dalam RUU Cipta Kerja khususnya yang berkaitan dengan sektor pendidikan. Pertama, hilangnya dasar kebudayaan bangsa Indonesia dalam pengertian pendidikan tinggi. Hal ini terdapat dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang diubah ketentuannya dalam RUU Cipta Kerja.

Ketentuan ini tentunya mengesampingkan budaya bangsa sebagai landasan filosofis dan sosiologis dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Pendidikan tanpa kebudayaan sama artiya tubuh tanpa ruh. Pendidikan akan tercerabut dari budaya bangsa dan akan tercipta pendidikan tanpa karakter kebangsaan. Pendidikan akan mengalami kekosongan jiwa bangsa yang pada akhirnya pendidikan tidak banyak berguna bagi kehidupan.

Copyright © Cecep Darmawan | Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia